Bab 4. Hukuman

74 5 0
                                    

Sepanjang kelas berlangsung konsentrasi Arawinda sama sekali tidak berada di tempat. Gadis itu terus saja sibuk menyembunyikan wajah agar tidak terlihat oleh Nares. Tidak sadar jika tingkahnya ini malah memancing kecurigaan dosen muda di depan sana.

Saat kelas usai dan Nares sudah keluar dari ruangan, Ara langsung meninggalkan kelas. Akan tetapi sial karena laki-laki itu malah masih berdiri di depan kelas. Sedang sibuk dengan ponselnya. Entah benar-benar sedang menelpon atau–

"Hei! Kamu tunggu!" Langkah Ara sempat tertahan sebentar, sebelum akhirnya kaki jauh dari kata jenjang itu nekat kembali melangkah. Pura-pura tidak tahu jika dirinya yang dipanggil. 

"Kamu yang pakai kacamata!" Kali ini Arawinda menoleh ke kanan dan kiri, saat menemukan satu mahasiswa lain di dekatnya mengenakan kacamata, Ara memutuskan untuk tetap berpura-pura bodoh. 

"Yang pakai jaket kuning!" Kepala gadis itu kembali bergerak ke kanan dan kiri. Akan tetapi tidak menemukan orang yang mengenakan jaket kuning selain dirinya. 

Ara tetap berlagak bodoh dengan terus melangkah. Namun geraknya tertahan saat tas abu-abunya ditarik dari belakang. Siapa lagi pelakunya jika bukan Bapak Dosen Tampan, Nareswara Pradipta. Dengan ekspresi takut Ara memutar tubuh, lalu menundukkan kepala saat tatapan tidak bersahabat dia dapat. 

"Saya perlu bantuan, tolong kamu ikut saya." Mendengar kalimat itu, Ara sempat mengerjap bingung. Namun segera sadar jika kalimat itu sengaja Nares ucapkan untuk menjawab tatapan penasaran dari sekeliling mereka.

"Kalau kamu kabur lagi, saya akan lapor polisi." Bisikan itu terdengar seperti nyanyian mistis yang membuat bulu kuduk Ara meremang. Kata polisi sungguh tidak terdengar bagus di telinganya. 

"Ta-tapi, Pak, saya beneran nggak sengaja tadi." Mencoba bernegosiasi, siapa tahu Nares akan memberi belas kasihan padanya. Lagipula tadi memang dia tidak sengaja. Yah, walaupun memang aksi kaburnya tidak bisa dibenarkan. 

"Ikut saya, jangan bahas di sini." Nares melangkah terlebih dulu.  Ara pun mengekor dengan sedikit kepayahan. 

"Saya harus ganti rugi berapa, Pak?" Ara memberanikan diri untuk bertanya saat mereka sudah berada di tempat sepi. Nares menghentikan langkah dan memutar tubuh untuk menghadap ke arah Arawinda. Jika boleh meminta, Ara ingin Nares tetap membelakanginya saja. Daripada berhadapan seperti ini, menambah kegugupannya saja.

"Saya belum tahu karena belum memeriksa kerusakan yang kamu buat."

"Tolong jangan mahal-mahal, ya, Pak," ujar Ara memohon. Dia tidak bisa memperkirakan berapa total kerugian yang Nares alami. Mungkin gajinya selama satu bulan bekerja part time ke sana sini tidak akan cukup.  

Nares tidak langsung menjawab, laki-laki itu mengedikkan dagu ke arah bangku koridor. Ara yang paham dengan perintah tidak terucap itu langsung duduk. Dalam posisi sama-sama berdiri saja, Nares terlihat menjulang di depannya. Apalagi dengan posisi saat ini. Nares yang memiliki tinggi 180 cm, terlihat seperti tiang listrik. Memaksa Ara untuk mendongak. Belum lagi aura mengintimidasi yang sepertinya sengaja laki-laki itu lesatkan. 

"Siapa nama kamu?" 

"Arawinda, Pak. Arawinda Falisha." Posisi yang tidak menguntungkan ini membuat kegugupan Ara semakin menjadi. Berkali-kali gadis itu membetulkan kacamata berbingkai kotaknya. Padahal benda itu sama sekali tidak merosot dari pangkal hidungnya. 

 "Kamu tahu kesalahan kamu apa?"

Ara segera memberikan anggukan pelan. Memilih untuk menundukkan wajah. 

"Coba sebutkan dengan jelas," dikte Nares. Ara merasa seperti  berhadapan dengan orang dewasa yang sedang berbicara dengan balita. 

"Kabur setelah melakukan kesalahan," jawab Ara pelan. Masih menundukkan wajah karena tidak mau terlalu terintimidasi. Lagipula, lehernya juga pegal jika harus terus mendongak.

"Andai saja kamu tidak kabur, mungkin saya tidak akan meminta ganti rugi." Saat kalimat itu terdengar, Arawinda langsung mendongakkan wajah. Benarkah? Kalau begitu seharusnya tadi dia tidak kabur. Seketika Ara sangat menyesal.

"Tapi karena kamu malah kabur, juga bertindak tidak sopan dengan mengepulkan asap knalpot!"

"Itu saya beneran nggak sengaja, Pak," ujar Ara cepat. Berusaha membela diri karena memang dia tidak sengaja. "Saya nggak tahu kalau knalpotnya bisa ngebul." Kekesalannya pada Satrio seketika muncul kembali.

"Saya bener-bener minta maaf, Pak. Kalau memang harus ganti rugi, boleh nggak kalau jangan pakai uang?" ujar Ara lagi saat Nares hanya diam. Hanya menatapnya dari ujung kepala sampai kaki, seperti tengah menilai. 

"Lalu dengan apa?"

"Saya bersedia jadi asisten Bapak. Bapak boleh menyuruh saya ngelakuin apapun!" jawab Arawinda bersemangat. Akan tetapi langsung terdiam saat sadar kalimatnya tidak benar. Bagaimana kalau Nares menyuruhnya untuk melakukan hal-hal aneh?

"Kamu benar-benar menyesal?" Ara mengangguk cepat, berharap kalimat ini adalah awal dari sesuatu yang bagus. Nares terlihat seperti ingin menyudahi pembahasan ini dengan cepat. 

"Janji nggak bakalan ulangin perbuatan seperti itu lagi?" Ara kembali mengangguk dengan semangat penuh. Wajah Nares sudah kembali ke aura penuh keramahan. Apakah semudah ini bernegosiasi dengan Nares? Jika, ya, Ara sungguh menyesal karena tadi kabur. 

"Oke, saya kasih kamu keringanan kali ini."

Dengan senyum sangat lebar Arawinda bertanya  "Jadi saya nggak harus ganti rugi?"

"Yah, untungnya saya masih punya hati nurani." 

Arawinda nyaris melompat karena terlalu senang. "Makasih, ya, Pak. Ternyata Bapak tidak hanya ganteng tapi juga baik hati!" ujarnya sembari berdiri. Namun sesuatu yang berlebihan memang tidak akan berakhir baik. Seperti Ara yang terlalu semangat saat mendengar kabar baik itu. Satu kesalahan yang baru saja selesai, harus diganti dengan kesalahan baru yang bisa dikatakan cukup fatal. 

Mata Arawinda melebar saat melihat benda yang tanpa sengaja tersenggol tangannya barusan adalah ponsel dan juga buku. Dan parahnya, kedua benda itu meluncur bebas ke selokan yang berair. 

"Arawinda Falisha!" 

Mendengar geraman itu kaki Ara otomatis langsung berlari menjauh. "Ampun, Pak!" teriaknya.

*

Apakah Arawinda berhasil kabur? Jawabannya tentu saja tidak. Karena Nares kali ini lebih sigap. Laki-laki itu langsung mengejar Ara dan menarik ransel gadis itu. Memaksa Ara untuk mengambil dua barangnya yang berada di selokan. Dan kini, keduanya tengah berada di ruangan dosen. 

"Kamu beruntung karena ponsel saya masih menyala." Nares terlihat sekali tengah menahan emosi saat ini. Sepuluh menit lagi kelas berikutnya harus dimulai. Dan dia malah harus bertahan dengan mahasiswanya yang benar-benar menyebalkan ini. 

"Maaf, Pak," bisik Ara takut-takut. Tidak berani menatap wajah Nares. Sekarang dia benar-benar pasrah jika harus ganti  rugi. 

Nares menghela napas lelah. "Saya harus apakan kamu ini?"

Ara diam sembari menundukkan wajah. 

"Begini saja, kamu tulis buku agenda ini dengan yang baru. Semuanya harus sama dan tulisannya harus rapi." Setelah mengatakan itu Nares langsung menyuruh Arawinda keluar. Tidak menerima protes yang akan muncul dari bibir gadis itu. 

"Besok sudah harus ada di tangan saya," ujar laki-laki itu lagi membuat Ara yang baru saja berdiri dari kursinya menganga. 

"Bapak serius?" Arawinda melihat buku agenda di depannya bergantian dengan wajah pemiliknya. Buku itu tidak bisa dikatakan tipis, dan setelah dibuka isinya penuh. Mana sempat ditulis semalaman?

"Beribu-ribu, rius! Silakan keluar!"

"Beribu-ribu, rius! Silakan keluar!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jodoh Untuk Pak Dosen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang