Ara yang jarang sekali merasa canggung saat diperhatikan oleh laki-laki. Kali ini merasakan sebuah kecanggungan yang tidak menyenangkan. Tatapan yang Nares lesatkan padanya saat ini, bukan hanya sekadar menilai. Laki-laki itu, dengan mata sipitnya malah terkesan meremehkan penampilannya.
"Jadi kamu bakalan tinggal di sini?" tanya Nares setelah diam beberapa waktu. Meski pertanyaan itu bernada tidak bersahabat, tetapi Ara merasa ini lebih baik dari pada hanya diam dan terus diperhatikan.
Arawinda mengangguk, sebelum menjawab, "Iya, Pak. Kenapa memangnya?"
"Nggak ngerasa nggak pantes?" Nares menanyakan hal tersebut sedikit pelan. Takut eyang yang sedang pamit menerima telepon mendengar.
Mata Ara mengerjap, tidak paham dengan maksud pertanyaan Nares. "Saya, kan, kerja. Jadi apanya yang nggak pantes?" tanyanya dengan wajah polos.
"Kamu tinggal seatap dengan laki-laki yang bukan muhrim kamu. Apa itu bisa dikatakan pantas?" Nares mengernyit bingung karena Ara tidak terpikirkan hal seperti ini. Apalagi saat gelengan kepala gadis itu berikan sebagai jawaban.
"Yang pertama, saya bekerja di sini. Bukan tinggal dengan alasan yang tidak jelas," ujar Arawinda mengutarakan pemikirannya. Dalam benak gadis itu untuk saat ini hanyalah cuan. Jangan sampai Nares menggagalkan rezeki yang sudah ada di depa mata.
"Dan yang kedua, saya nggak tinggal berdua sama Bapak saja. Tapi ada Eyang Widya, dan bukannya di rumah ini juga ada ART? Apa yang Bapak khawatirin? Atau jangan-jangan…." Sengaja menggantung kalimatnya, Ara enggan menjelaskan saat Nares menuntutnya melanjutkan kalimat.
"Kamu–"
"Serius sekali ini ngobrolnya?" Suara Eyang Widya mengurungkan Nares untuk melanjutkan kalimat yang sudah ada di ujung lidahnya.
"Eyang sangat yakin mau memperkerjakan dia?" tanya Nares berharap eyangnya masih memiliki sedikit keraguan, dan akan membatalkan rencana konyol ini. Nares yakin penyakit yang eyang bicarakan itu hanyalah sebagian dari rencana perjodohan.
"Sangat yakin! Memangnya kenapa?"
"Eyang nggak takut kita jadi omongan?" Nares bingung saat eyang malah tertawa mendengar pertanyaannya.
"Kamu yakin bakalan ada yang peduli?" Eyang Widya mengatakan hal tersebut bukan tanpa alasan. Mereka tinggal di komplek perumahan, di mana para tentangga tidak terlalu saling mengenal.
Nares diam karena tidak memiliki sanggahan. "Tapi kayaknya nggak pantes aja, Yang. Apalagi Ara ini mahasiswa Nares. Kalau sampai ada yang tahu gimana nanti?"
"Ya tinggal kamu bilang saja kalau Ara ini calon istri kamu. Itu saja kok repot, Res," ujar Eyang Widya santai. Berbeda jauh dengan tanggapan dua anak muda di samping dan juga depannya. Nares dan Ara sama-sama terkejut mendengar penuturan tersebut.
"Emm, Eyang. Maaf, tapi Ara kayaknya harus pamit buat ke kampus." Arawinda ingin menyudahi perdebatan yang sepertinya akan Nares bangun. Sekali lagi, jangan sampai laki-laki ini membatalkan jalan rezekinya yang sudah ada di depan mata. Dan untuk perkataan eyang tadi, Ara yakin itu hanya bentuk candaan tanpa arti.
"Ara naik apa, Sayang?" tanya Eyang Widya dengan nada lembut. Seolah-olah Arawinda sudah menjadi bagian dari keluarganya. Wanita berusia 70 tahun itu memiliki keyakinan penuh jika rencana perjodohan ini akan berjalan sesuai rencananya.
"Paling pesen ojol, Yang," jawab Arawinda sembari bangkit.
"Eh, jangan!" Eyang Widya ikut berdiri, lalu menoleh ke arah cucunya yang langsung memasang ekspresi waspada.
"Res, kamu kasih Ara tumpangan. Kalian, kan, satu kampus."
"Yang–"
"Ndak mau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Pak Dosen
RomanceNares menolak saat eyang menunjuk Arawinda sebagai gadis yang akan menjadi jodohnya. Ara jauh dari kriteria wanita idaman bagi Nares yang memiliki kriteria tinggi dalam memilih calon istri. Lagipula Ara adalah mahasiswa yang sering membuat ulah di k...