Bab 10. Gangguan pertama

88 5 0
                                    

"Jaga diri baik-baik, ya, Ra." 

Arawinda segera mengangguk mendengar pesan yang ibunya ucapkan. "Ara bakalan sering pulang. Mamah tenang saja. Minggu besok juga Ara, kan, ada janji sama Tamara."

Atikah tampak sedikit berat melepas Arawinda untuk pergi. Jika bisa sebenarnya dia ingin melarang. Namun jika mengingat kembali apa sebenarnya tujuan asli dari pekerjaan yang hanya dijadikan kedok ini, Atikah juga sedikit bersyukur. Setidaknya dia bisa menyelamatkan masa depan anaknya. 

Wanita itu tahu menikah bukan sesuatu yang bisa menjamin kebahagiaan seseorang. Namun dia hanya ingin melihat putri kesayangannya tidak kesepian di hari tuanya nanti. Membangun rumah tangga dengan laki-laki baik. Berharap tidak berakhir seperti dirinya. 

"Mamah jangan sedih gitu dong. Ara, bukannya mau kerja ke luar negri loh." Ara berusaha menyunggingkan senyuman.

Atikah mengangguk, lalu membantu Ara untuk memasukkan beberapa potong baju ke dalam tas. 

"Cuman bawa segini bajunya?"

"Iya. Ara, kan, sudah bilang bakalan sering pulang nanti." 

Fokus keduanya teralih sejenak saat terdengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. 

Atikah yang memutuskan untuk keluar, dan terkejut saat mendapati Eyang Widya turun dari mobil tersebut. Ada laki-laki muda juga di mobil itu, tetapi tidak ikut turun. 

"Loh, Eyang?" Arawinda juga tidak kalah terkejut. Apalagi saat melihat Nares juga ikut. Tidak ikut turun, laki-laki itu masih duduk di mobil dengan wajah ditekuk. 

"Sudah siap?" tanya Eyang Widya. "Maaf Nares ndak ikut turun. Kakinya lagi sakit katanya," lanjut wanita itu dengan raut wajah tidak enak. 

"Iya, nggak papa, Bu. Ini mau jemput Ara?" Atikah yang berinisiatif mengajukan pertanyaan. 

"Iya, tadi kebetulan ada perlu, jadi sekalian saja soalnya lewat." 

"Jadi ngerepotin, Yang." Ara meringis canggung saat mengatakan itu. Apalagi jika mengingat sikap Nares yang kurang baik. Sepertinya setelah ini laki-laki itu akan terus memusuhinya. 

"Ndak repot sama sekali. Ara sudah siap, Nduk?"

Arawinda mengangguk, mengangkat tas yang sejak tadi dia jinjing. Lalu pamit kepada ibunya sebelum mengikuti langkah Eyang Widya untuk masuk ke dalam mobil. 

Nares sempat melempar senyum pada ibu Arawinda, tetapi tidak mengindahkan kehadiran gadis yang kini duduk di bangku belakang. Arawinda yang masih bingung dengan sikap Nares memilih untuk tidak ambil pusing. Tujuannya adalah bekerja, dan urusannya dengan Eyang Widya. Jadi tidak perlu memikirkan Nares. 

*

Mobil melaju membelah kepadatan jalanan Kota Jakarta. Hening sempat tercipta hingga akhirnya Eyang Widya yang membangun topik obrolan terlebih dulu. Itu pun hanya didominasi oleh Arawinda dan eyang. Sementara Nares diam seribu bahasa. Malah bersikap seolah-olah tidak ada orang lain di sekitarnya. 

"Besok kalau ke kampus bareng Nares saja." Sampai ide itu muncul dan laki-laki itu baru bereaksi dengan tatapan tidak terima. 

"Eyang jangan semena-mena dong." Nares tampak kesal, tetapi nada bicaranya masih lembut. Hal yang sebenarnya membuat Arawinda kagum. Jika Satrio mungkin sudah meledak-ledak amarahnya. 

"Semena-mena bagaimana?" 

Nares terlihat berkali-kali mengambil dan mengembus napas, menahan emosi. 

"Nggak papa, Yang. Ara bisa jalan sendiri. Lagian jam ngampusnya juga beda." Arawinda merasa canggung berada di tengah perdebatan eyang dan cucu ini. 

Beruntung mobil yang Nares kendarai sudah masuk ke pelataran rumah. Jadi perdebatan yang berlangsung pun bisa terhenti. 

Jodoh Untuk Pak Dosen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang