"Tiga hari cukup?"
Arawinda baru saja memasukkan buku ke dalam ransel saat Nares menanyakan hal tersebut.
"Apanya, Pak?" tanya gadis itu linglung. Tidak paham maksud ucapan tiba-tiba Nares. Mereka masih berada di kafe, dan Ara sudah menulis ulang buku catatan Nares yang pudar.
"Dua hari saja kalau begitu." Nares bangkit terlebih dulu dari kursinya. Langit sudah berubah warna menjadi hitam. Dan sejak tadi ponselnya terus berdering dengan nama eyang sebagai pemanggilnya.
"Wah, iya, iya, mau, Pak tiga hari!" Arawinda ikut bangkit dan sedikit berlari untuk menyamakan langkahnya dengan Nares. Baru menyadari jika waktu tiga hari adalah keringanan yang Nares beri sebagai hukuman.
Nares tidak menjawab, melainkan melirik sebal Arawinda yang cengengesan.
"Tiga hari, ya! Bapak ternyata baik banget," puji Ara tidak ditanggapi oleh Nares. Laki-laki itu melanjutkan langkah, tetapi kembali berhenti dan memutar tubuh.
"Eh saya nggak ngikutin Bapak, loh, ya!" ujar gadis itu cepat sebelum dituduh yang tidak-tidak.
Mengabaikan pembelaan dari Arawinda, Nares malah bertanya, "Kamu pulang naik apa?"
"Naik angkot, Pak. Kalau masih ada." Ara meringis sembari melihat jam di ponselnya. Sepertinya dia harus memesan ojek daring karena angkutan umum ke rumahnya entah masih ada atau tidak.
"Rumah kamu di mana?"
Arawinda menyebutkan alamat rumahnya sembari membuka aplikasi ojek daring.
"Saya antar!"
Ara langsung tertegun mendengar dua kata itu.
"Buruan! Saya nggak ada waktu nungguin orang bengong!" Nares mengayunkan kaki panjangnya.
"Memang searah, Pak?" Arawinda merasa senang, tetapi tidak enak hati kalau sampai tujuan mereka tidak sama. Nares hanya menjawab dengan anggukan.
*
Sepanjang perjalanan keduanya tidak berbicara. Nares sibuk bergumam menyenandungkan lagu yang sengaja dia putar. Sementara Arawinda memilih melempar pandang ke luar jendela. Memperhatikan apa saja yang bisa dilihat.
"Pak! Boleh berhenti sebentar, nggak?"
Nares mengangkat alis bingung, tetapi segera menepikan mobil. Ara turun tanpa menjelaskan apapun. Dari kaca mobil, bisa Nares lihat gadis itu tengah mendekati seorang penjual sapu yang duduk di pinggir jalan. Tidak lama Arawinda kembali dengan dua buah sapu di tangan.
"Ganggu nggak, Pak?" tanya Arawinda sebelum masuk ke mobil. "Kalau ganggu saya kasih orang aja."
Nares tentu saja bingung mendengar kalimat terakhir Arawinda. "Bisa, sini."
Arawinda pun masuk ke dalam mobil setelah dua sapu itu Nares letakkan di jok belakang.
"Kamu ini aneh apa gimana? Beli tapi mau dikasih orang."
Arawinda yang sudah duduk manis di tempatnya, mengenakan sabuk pengaman sembari menjawab, "Sapu di rumah sebenarnya masih banyak."
"Terus untuk apa beli? Itu namanya pemborosan." Nares mulai melajukan kendaraan roda empatnya.
"Emm, gimana, ya, jawabnya. Jangan dianggap sombong, atau sok kaya, ya, Pak. Saya cuman kasihan sama yang jual. Kakek-kakek udah tuaa banget."
Jawaban itu mau tidak mau membuat Nares tertegun. Dia tidak berpikir sampai ke situ tadi. Padahal dia sadar kalau penjual sapu itu memang seorang lansia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Pak Dosen
RomanceNares menolak saat eyang menunjuk Arawinda sebagai gadis yang akan menjadi jodohnya. Ara jauh dari kriteria wanita idaman bagi Nares yang memiliki kriteria tinggi dalam memilih calon istri. Lagipula Ara adalah mahasiswa yang sering membuat ulah di k...