Bab 13. Tidak semenarik uang

67 8 0
                                    

Kondisi sedikit tenang selama beberapa hari. Setelah percakapan hari itu, di mana Ara tersinggung oleh kalimat yang Nares lontarkan, laki-laki itu seperti sangat menyesal. Sengaja menghindari pertemuan dengan Arawinda sampai Senin pagi. Keduanya kembali di pertemukan di meja makan untuk sarapan. 

Nares sedikit terkejut oleh perubahan yang terjadi pada rambut Arawinda. Rambut mengembang gadis itu yang kemarin berwarna hitam, kini berubah menjadi cokelat kekuningan. Sebenarnya warna itu lumayan cocok untuk kulit putih Arawinda, tetapi entah mengapa Nares kurang menyukainya. 

"Hari ini kalian sama-sama ada kelas pagi, kan?" tanya Eyang Widya menyentak fokus dua anak muda yang sejak tadi hanya diam meski kini duduk berseberangan. 

Nares hanya menghela napas pelan, memilih untuk tidak menjawab. Arawinda yang mulai paham dengan reaksi Nares langsung merespon sebelum Eyang Widya mengucapkan kata-kata keramat. Kehidupannya di rumah ini selama dua hari sudah tenang, jangan sampai Nares kembali berulah jika kembali dibangkitkan rasa kesalnya. 

"Ara udah terbiasa naik motor, Yang. Nggak macet," ujar gadis itu sembari tersenyum pada Eyang Widya. Sedikit mencuri pandang ke arah Nares yang tidak menunjukkan ekspresi apa pun kali ini.

"Motor kamu dipinjem Pak Parjo sebentar, Eyang lupa bilang," ujar Eyang Widya menyebut security rumah. Mendengar itu Arawinda sempat melongo karena tidak dimintai izin sebelum ini. 

"Eyang itu, kan, suka ngajarin Nares buat ngomong kalau minjem barang orang? Kenapa malah Eyang seenaknya gini?" Nares tahu ini adalah cara eyang untuk membuat Ara bisa semobil dengannya. Sungguh eyangnya ini punya banyak sekali cara untuk membuat mereka dekat. Keinginan Nares untuk mengusir Arawinda dari rumah kembali mencuat setelah terpendam selama dua hari karena rasa bersalah. 

"Nggak papa, kok. Lagian motornya juga bukan motor bagus. Tapi Pak Parjo nggak lama, kan, Yang?" Arawinda menimpali cepat. Hal yang membuat kecurigaan Nares muncul. Di mata laki-laki itu Ara seperti tengah bekerja sama dengan eyangnya. Padahal Ara mengatakan kalimat tersebut karena tidak mau ikut menyalahkan eyang yang meminjam barang tanpa izin.

"Pak Parjo lagi pulang ke rumahnya sebentar. Anaknya sakit. Jadi kayaknya siang baru balik lagi." Penjelasan Eyang Widya membuat Arawinda kembali tersudut. Gadis itu melirik Nares yang sudah menunjukkan wajah kesal. 

"Ara bisa naik ojol–"

"Mobil Nares kosong. Jadwal kalian sama, kenapa memangnya kalau Ara nebeng?" Pertanyaan itu diajukan untuk Nares yang terlihat ingin memprotes. Namun sengaja laki-laki itu tahan karena tahu akan percuma.

"Tapi–" Arawinda sudah ingin membantah, tetapi lagi-lagi Eyang Widya memotong. 

"Kamu ndak keberatan, kan, Res?" tanya Eyang Widya pada cucunya. 

Nares sebenarnya tidak keberatan jika saja tidak ada rencana apa-apa di balik semua ini. Namun menolak pun percuma karena eyang akan terus mendesak. Nares sungguh bosan dengan topik yang sepertinya akan berlangsung setiap hari ini. Laki-laki itu memilih mengangguk, niat untuk membuat Arawinda tidak betah di rumah kembali membayang di benak laki-laki itu. 

Arawinda yang merasa tidak enak hati terpaksa hanya diam. Mulai paham dengan sifat eyang yang tidak bisa dibantah jika sudah bertitah. 

*

Kondisi canggung ini sudah sering sekali Arawinda alami. Dan sepertinya akan terus dia rasakan selama masih tinggal di rumah eyang. Namun tidak mungkin karena semua ini, dia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan menjaga eyang. 

Uang semesternya masih kurang dan bisa terbayar jika mendapat gaji dari Eyang Widya. Semalam dia sudah memberanikan diri untuk meminta gaji secara mingguan bukan bulanan. Dan Eyang Widya menyetujuinya tanpa banyak bertanya. 

Jodoh Untuk Pak Dosen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang