Bab 18. Emosi di ujung tanduk

69 8 0
                                    

Nares terpaksa mencuci sendiri mobilnya yang baru kemarin dicuci di tempat pencucian mobil. Memang hanya kaca depan yang Arawinda kotori dengan noda lipstik, tetapi Nares merasa tidak puas jika tidak mencuci semua bagian. 

Laki-laki itu melirik ke arah Arawinda yang sedang naik ke atas pohon. Rasa takjub dan ngeri berbaur menjadi satu melihat gadis itu dengan lincah menapaki satu dahan ke dahan lain.

"Duh, Mbak, harusnya Bapak saja yang naik!" teriak Pak Parjo dengan tampang khawatir. Padahal Arawinda tidak terlihat ketakutan sama sekali.

"Nggak papa, Pak. Santai aja, kalau cuman naik pohon mah, saya sudah biasa." Arawinda menjawab sembari menunjukkan senyuman lebar karena berhasil meraih sepatu yang Nares gantung di dahan pohon.

"Tanggung banget nyantolinnya, Pak!" Teriakan itu ditujukan untuk Nares yang langsung menoleh dengan tatapan kesal. 

"Kalau cuman segini mah cemen buat saya!" teriak gadis itu lagi. Kali ini sembari melompat dari dahan pohon yang lumayan tinggi. Pak Parjo yang melihatnya sampai ngeri sendiri, takut kaki Arawinda terkilir. Namun nyatanya gadis itu baik-baik saja. 

Sementara Nares tidak menanggapi kalimat yang Arawinda teriakkan tadi. Memilih untuk menuntaskan kegiatannya mencuci mobil. Namun langsung bersikap waspada saat Arawinda melangkah mendekatinya. 

"Kira-kira, kalau sepatu Bapak yang saya gantung–"

"Jangan aneh-aneh, kamu, ya!" potong Nares cepat. Keahlian memanjat pohon Arawinda jauh diatasnya. Nares tidak mau mengambil risiko jika sampai gadis ini nekad menggantung sepatunya di dahan paling tinggi. 

Arawinda malah tertawa geli mendengar ucapan Nares. Lalu duduk di ubin teras untuk memakai sepatunya. 

"Saya harus menyamakan sekor, Pak. Jadi tunggu saja tanggal mainnya." Setelah mengucapkan kalimat tersebut Arawinda langsung melesat pergi menuju sepeda motornya terparkir.

Nares hanya diam tanpa menanggapi, tetapi dalam kepala mencoba menebak apa rencana gadis itu selanjutnya. Tidak bisa tinggal diam, dia juga harus memikirkan cara untuk mengerjai Arawinda lagi. Coba lihat saja siapa yang akan bertahan dan menang di sini. Saat yakin dirinya yang akan bertahan, Nares menyunggingkan senyuman tipis. 

*

Hari ini Nares bertemu dengan Arawinda di kelas. Meski terlihat profesional, tetapi di dalam hati laki-laki itu terus saja waspada. Apalagi Arawinda tumben sekali mau duduk di depan. Biasanya gadis itu selalu memilih bangku tengah, kalau tidak di pojok belakang. Nares curiga Arawinda sedang menyusun rencana untuk mengerjainya. 

Sepanjang pembahasan materi yang Nares bangun, laki-laki itu terus saja melirik ke arah Arawinda. Sementara yang diwaspadai malah bersikap biasa saja. Membuat pikiran buruk Nares semakin menjadi. 

Kelas berakhir, dan semua mahasiswa berhamburan keluar. Namun Nares sengaja menahan Arawinda karena ingin berbicara dengan gadis itu. 

"Kenapa, Pak?" tanya Arawinda saat semua temannya sudah keluar dari kelas. Berdiri menjaga jarak dengan Nares yang duduk di kursinya. 

"Saya mau membuat kesepakatan sama kamu," ujar Nares dengan wajah serius. 

Arawinda hanya mengangguk sebagai jawaban, menunggu Nares menjelaskan kesepakatan yang dimaksud. 

"Kita nggak boleh bawa-bawa urusan rumah sampai di kampus. Kalau di sini, kita real hanya dosen dan mahasiswa." Nares mencoba menjelaskan, tetapi Arawinda malah tersenyum geli menanggapi ucapannya. 

"Memangnya kalau di rumah kita apa, Pak? Bukannya sama saja?" 

Nares tergeragap mendengar pertanyaan yang Arawinda ajukan. "Ya, begitulah. Pokoknya kamu nggak boleh ngerjain saya di kampus."

Jodoh Untuk Pak Dosen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang