Arawinda yang sudah keluar sampai teras kembali masuk rumah. Gadis yang hari ini mengikat rambutnya menjadi satu ke belakang itu lalu mengintip dari balik tirai transparan jendela rumah Eyang Widya. Di kejauhan sana, tepatnya di gerbang masuk rumah, terlihat seorang laki-laki tengah berbicara dengan Pak Parjo.
"Ada apa?" Nares yang baru saja turun dari lantai dua ikut mengintip dari balik jendela. Berdiri tepat di belakang tubuh Arawinda.
"Itu–" Kalimat jawaban Arawinda tertahan saat sadar posisi Nares berdiri tidak ramah untuk jantungnya. Menghidu aroma parfum laki-laki ini saja perasaan Arawinda sudah tidak keruan. Apalagi ditambah dengan posisi mereka yang terlalu dekat.
Nares mengangkat alis sembari menunduk. Lalu saat sadar jika posisi mereka membuat gadis di depannya tidak nyaman, laki-laki itu lantas menggeser tubuh. Kembali melihat ke arah pintu gerbang.
"Kamu kenal?"
Ara mendongak untuk melihat wajah Nares, lalu gadis itu mengangguk.
"Teman kamu?"
Kali ini Arawinda tidak langsung menjawab. Entah mengapa harus merasa gugup dengan jawaban yang sudah ada di ujung lidahnya.
"Orang yang nggak pengin saya temui," jawab Arawinda lirih. Namun Nares masih bisa mendengarnya. Terlihat dari cara laki-laki itu yang langsung menunduk untuk melihat ekspresi Arawinda.
"Mantan kamu?" Tebakan yang sudah sangat jelas kebenarannya. Arawinda hanya meringis tipis mendengar tebakan tepat sasaran yang Nares ucapkan. Lalu gadis itu mengangguk pelan.
Nares hanya mengangguk-anggukan kepalanya. "Dia gangguin kamu?"
Lagi, Arawinda hanya menjawab dengan anggukan.
"Kalau begitu biar saya yang urus." Nares sudah bergegas keluar sebelum Arawinda merespon kalimatnya.
Arawinda memutuskan untuk berdiri di tempat sama, kali ini memerhatikan langkah Nares yang berjalan tegap ke arah gerbang. Di mana Agam dan Pak Parjo tampak sedang beradu mulut. Laki-laki itu pasti memaksa masuk.
*
"Kalau kayak gini jadi ngerepotin Bapak. Saya yang nggak enak," ujar Arawinda sembari duduk dengan gerakan ragu di mobil Nares.
Sementara Nares yang sudah duduk di belakang kemudi, malah memberikan senyuman. Tidak terlihat keberatan dengan Arawinda yang duduk di sampingnya kini. Kondisinya sungguh berbeda jauh dari saat mereka masih bermusuhan.
"Nggak papa, saya khawatir laki-laki tadi gangguin kamu."
Nares memang berhasil mengusir mantan Arawinda tadi. Namun terlihat jelas obsesi yang laki-laki itu tunjukkan. Nares yakin jika laki-laki yang diketahuinya bernama Agam itu pasti masih akan terus mengganggu Arawinda.
"Lagian saya masih punya hutang sama kamu." Nares mengatakan hal tersebut sembari melajukan kendaraan roda empatnya.
"Hutang?" Arawinda mengernyitkan dahi bingung. Hutang apa yang Nares maksudkan?
Nares mengangguk. Sembari fokus menyetir, laki-laki itu sesekali melirik ke arah samping di mana Arawinda duduk.
"Bukannya kamu yang minta imbalan kalau sampai bisa bantu saya jadian sama Nadira?"
Jujur saja Arawinda malah melupakan kalimat yang diucapkannya itu. Gadis itu meringis sembari berujar, "Saya malah udah lupa, Pak."
Nares menunjukkan senyuman. Mata sipitnya terlihat seperti garis lurus saat seperti ini. "Kalau saya nggak akan lupa. Apalagi saya juga setuju dan berjanji sama kamu."
Arawinda ikut tersenyum, menoleh ke arah Nares. Mengamati wajah tampan itu untuk sesaat. Sebelum akhirnya melempar pandang ke arah lain saat Nares meliriknya.
"Kalau begitu saya nggak akan sungkan nebeng sama Bapak," ujar Arawinda. Kembali menoleh ke arah Nares dengan senyuman manis. Kali ini tidak melempar pandang ke arah lain saat Nares membalas tatapannya.
Pandangan keduanya sempat bersirobok di udara untuk sekian detik. Sampai Nares yang lebih dulu memutus pandang, memilih fokus pada jalanan padat di depannya. Juga karena ada debar aneh yang ikut menyusup. Perasaan apa ini?
*
"Nanti pulangnya nunggu saya aja kalau bisa." Kalimat yang Nares ucapkan sebelum Arawinda turun. Gadis itu memaksa untuk turun di halte bus dekat kampus. Tidak mau turun di parkiran kampus atau akan kembali mendapat tatapan tidak menyenangkan dari fans Nares.
"Sebenarnya nggak masalah juga, sih, Pak, kalau saya naik ojek online." Meski Nares tidak terlihat keberatan, tetapi Arawinda yang merasa tidak enak. Apalagi kini status laki-laki itu adalah kekasih seseorang.
"Saya yang nggak tenang kalau kamu pulang sendiri." Nares tidak berusaha menutupi kekhawatiran yang kini tersorot jelas dari matanya. Tidak sadar jika hal tersebut membuat gadis di sampingnya sedikit salah tingkah.
"Tapi…."
"Tapi kalau nunggu saya kayaknya kelamaan. Sebentar, saya telpon eyang dulu." Nares langsung mengeluarkan ponselnya, bergegas menghubungi nomor eyang. Meminta supir eyang untuk mengantar ke mana pun Arawinda pergi. Tidak lupa laki-laki itu juga membeberkan apa yang terjadi hari ini.
Sementara Arawinda yang berniat menolak rencana Nares hanya bisa membuka dan menutup mulut. Nares sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk membantah.
"Eyang sudah setuju," ujar Nares setelah memutus sambungan telepon.
Arawinda tidak terkejut jika eyang memberikan persetujuan. Karena wanita itu sangat menyayanginya. Arawinda merasa semakin tidak enak dengan perlakuan baik yang diterimanya. Kebaikan Eyang Widya saja tidak akan bisa Arawinda balas. Kini malah Nares juga ikut menjadi sosok yang harus membuatnya berutang budi.
"Udah nggak papa, santai aja," ujar Nares saat menyadari arti tatapan tidak nyaman yang kini Arawinda tunjukkan.
"Kamu tinggal di rumah eyang. Itu artinya kami harus memastikan keselamatan kamu," imbuh Nares. Kali ini senyum menawan tercetak jelas di bibir laki-laki bermata sipit itu.
Arawinda ikut tersenyum, sembari membetulkan kacamata yang bertengger di pangkal hidung, gadis itu membuka pintu mobil.
"Ya sudah kalau gitu terima kasih, ya, Pak. Saya turun." Arawinda turun begitu mendapat anggukan kepala dari Nares.
Arawinda pikir Nares akan pergi begitu dirinya turun. Namun yang terjadi, laki-laki itu malah mengendarai mobilnya dengan begitu pelan. Mengikuti di belakangnya.
Ara pun memutuskan untuk berhenti, lalu menundukkan kepala saat Nares membuka kaca mobil.
"Bapak ngapain?" tanya gadis itu bingung.
"Udah kamu jalan saja, saya ikutin kamu dari belakang." Nares lagi dan lagi tersenyum saat mengatakan itu. "Saya cuman mau pastiin kamu sampai kampus dengan selamat. Tadi eyang khawatir soalnya," imbuh Nares. Tidak sepenuhnya berbohong soal eyang. Namun untuk mengikuti Arawinda tentu saja atas inisiatifnya sendiri. Nares belum sadar jika perlakuan manisnya membuat Arawinda kewalahan dengan perasaannya.
"Nggak perlu segitunya, Pak. Ini tempat rame. Aman." Arawinda merasakan sesuatu semakin menggeliat di hatinya. Perasaan seperti ini seharusnya tidak pernah muncul. Untuk siapapun itu.
"Udah nggak papa. Jalan lagi, gih!" Nares malah tersenyum dan mengisyaratkan Arawinda untuk kembali berjalan.
"Cepetan!" Kali ini Nares tertawa kecil karena gadis yang masih menundukkan kepala demi melihatnya itu hanya diam.
Arawinda akhirnya memberikan senyuman tipis. Mencoba mengendalikan perasaannya yang semakin tidak keruan. Jika terus seperti ini, bagaimana bisa dia menahan perasaan untuk Nares yang sepertinya memiliki arti lebih?
***
Di Karyakarsa novel ini sudah tamat. Yang nggak sabar nunggu update di WP bisa meluncur ke sana, ya. Tengkiu. Lup, Aya
IG-dunia.aya
Akun KK - ayaarini236
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Pak Dosen
RomanceNares menolak saat eyang menunjuk Arawinda sebagai gadis yang akan menjadi jodohnya. Ara jauh dari kriteria wanita idaman bagi Nares yang memiliki kriteria tinggi dalam memilih calon istri. Lagipula Ara adalah mahasiswa yang sering membuat ulah di k...