Bab 24. Debar aneh

58 6 0
                                    

"Gimana penjualan bazar tadi?" Pertanyaan itu Nares lontarkan pada Arawinda yang sedang melepas helmnya. Keduanya memutuskan untuk mencari kado di mall terdekat. Dan di sinilah mereka kini berada, datang dengan menggunakan kendaraan masing-masing.

"Alhamdulillah cuman sisa beberapa, Pak. Itu juga sudah laku sama tetangga saya." Ara mengambil ransel yang tergantung di sepeda motornya, lalu mengikuti langkah Nares.

"Kamu kayaknya ada bakat dagang. Kenapa nggak coba jualan aja? Fokus ke satu bidang biar nggak usah megang banyak pekerjaan." Nares memelankan langkah saat sadar kaki kecil Ara sedikit kesusahan mengimbanginya. 

Ara mendongak guna melihat wajah Nares yang kini menghadap ke arahnya. "Saya nyambi jualan juga kok. Jualan apa aja, tapi kerjaan lain tetep jalan."

Nares yang sudah menarik pandangnya untuk menghadap ke depan kembali menoleh. Ada tatapan prihatin yang tersorot dari mata sipit laki-laki itu. 

"Tapi saya seneng ngejalaninnya, jadi nggak berasa capek." Arawinda tersenyum ceria saat mengatakan hal tersebut. Dia benar-benar tidak suka saat Nares memberikan tatapan penuh kasihan seperti itu. 

Nares yang paham jika Arawinda tidak menyukai caranya menatap gadis itu segera melempar senyum. "Jadi, kamu ada ide saya harus ngasih kado apa ke Nadira?" Lebih baik mengalihkan topik. Dan lagi tujuan mereka ke tempat ini memang untuk mencari hadiah.

Ara langsung mengangguk. Namun sebelum menjawab gadis itu lebih dulu bertanya. "Bapak sudah lama, ya, suka Kak Nadira?"

Nares menunjukkan senyuman bahagia sembari memberikan anggukan sebagai jawaban. "Dulu dia senior saya waktu di kampus."

"Dan dari dulu Bapak nggak berani deketin?" Pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu jawaban karena sudah terlihat dari gerak-gerik Nares. Laki-laki itu mengangguk sembari memberikan ringisan tipis. 

"Bapak yakin kalau Kak Nadira sekarang single?" Lama kelamaan Arawinda terdengar seperti reporter yang sedang mewawancarai publik figur. 

Nares mengangguk meski mulai kesal karena Arawinda tidak juga menjawab pertanyaannya tadi. 

"Kalau, langsung nembak, Bapak berani?" 

Pertanyaan kali ini tidak langsung Nares jawab karena hatinya masih ragu. Takut ditolak dan tidak lagi bisa dekat dengan Nadira menjadi hal yang paling dia jadikan pertimbangan. 

Arawinda yang paham dengan kecemasan Nares lantas berujar, "Bapak kenal dia sudah lama. Suka sama dia juga sudah lama. Dan saya rasa Kak Nadira juga menyadari hal itu. Jadi, menurut saya, mending Bapak langsung jujur aja soal perasaan Bapak."

Nares tampak diam, bahkan memelankan langkah, lalu berhenti untuk sekadar berpikir.

"Apa nggak terlalu terburu-buru? Kalau nanti ditolak, gimana?" 

Arawinda malah tertawa kecil melihat kecemasan yang Nares tunjukkan di wajahnya. Jika seperti ini, Nares sungguh terlihat seperti remaja labil yang baru saja mengenal cinta. 

"Jangan-jangan, Bapak belum pernah pacaran, ya?" tebak Arawinda. Dan langsung merasa kalimatnya tepat sasaran saat tanggapan Nares hanya diam. Laki-laki itu malah terlihat salah tingkah. 

"Ya ampun, beneran? Bapak belum pernah pacaran?" Arawinda tergelak. Merasa lucu karena tidak menyangka orang sekeren Nares belum pernah berpacaran. 

"Heh diem kamu!" Nares berusaha membungkam mulut Arawinda, tetapi gadis itu dengan sigap menghindar. 

"Nggak pernah pacaran, bukan berarti nggak pernah deket sama cewek. Saya itu orangnya nggak gampang jadiin orang pacar."

Arawinda mengangguk-anggukan kepalanya. Paham jika Nares memang tipe perfeksionis. Terlalu berpikir lama untuk mengambil keputusan. Setidaknya itu yang dia tangkap setelah mengenal laki-laki ini beberapa waktu. 

Jodoh Untuk Pak Dosen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang