Bab 8. Jodoh pilihan Eyang

71 6 2
                                    

Nares yang sedang menyeduh kopi hitam di rumahnya, sesekali menoleh ke arah sofa ruang tengah. Di mana eyang kini tengah sibuk dengan buku resep masakan yang baru saja dibelinya. Ada tatapan curiga yang terus terpancar di mata sipit laki-laki itu.

Bagaimana tidak aneh? Eyangnya yang hampir satu minggu ini gencar membicarakan perjodohan, mendadak senyap. Tidak menyebutkan kata keramat itu lagi sejak kemarin. Padahal Nares sudah siap untuk memberikan jawaban jika eyangnya masih memaksa. Namun karena wanita yang telah merawatnya sejak sang ibu meninggal itu tetap diam, maka Nares pun tidak memancing. 

Hanya saja Nares tidak bisa tenang. Karena terlalu mustahil jika eyang tiba-tiba melupakan rencana perjodohan. Yang Nares takutkan sedang ada sebuah rencana besar yang eyangnya susun. Sesuatu yang sepertinya akan sangat mengejutkannya. 

"Loh, kok belum jalan?" tanya Eyang Widya saat melihat Nares duduk di sofa seberangnya sembari meletakkan cangkir kopi. 

"Bentar lagi." Nares menjawab setelah melongok jam yang melingkar di pergelangan tangannya. 

"Kamu itu sudah sering dibilangin, jangan minum kopi kalau perut kosong!" 

Nares tidak menanggapi karena pikirannya masih menebak-nebak apa yang kiranya sedang eyang rencanakan. 

"Kamu itu denger ndak, sih, kalau Eyang ngomong?" Eyang Widya menurunkan kacamata bacanya demi bisa menatap Nares dengan mata bulatnya.

"Iya, Eyang. Tadi Nares udah makan roti," jawab laki-laki itu pada akhirnya. 

"Eyang tumben nggak ada kegiatan dua hari ini." Nares berusaha menutupi nada curiga di kalimat yang baru saja diucapkan. Menutupi gelagat anehnya dengan menyeruput kopi.

"Kamu tahu dari mana kalau eyang ndak ada kegiatan?" Eyang Widya menatap curiga sang cucu yang terlihat tergeragap. Namun laki-laki itu langsung menetralkan ekspresinya. Menyeruput kopi di cangkir untuk menutupi kegugupan yang muncul. 

"Nares cuman nebak. Memangnya bener Eyang nggak ke mana-mana dua hari ini?" 

"Kepo sekali kamu itu." Eyang Widya kembali pada keasyikannya membaca resep masakan. Memiliki usaha katering yang masih berjalan sampai sekarang, hobi Eyang Widya memanglah mencoba masakan dengan resep baru. 

Nares yang mendapat jawaban seperti itu hanya berdecak halus tanpa suara. Baru saja ingin berdiri, bel di pintu luar berdenting. 

"Coba kamu yang buka, Res!" Eyang Widya menyembunyikan senyum saat mengatakan hal tersebut. Satu kejanggalan yang tidak terlalu Nares sadari. Laki-laki itu tanpa membantah langsung mengayunkan kaki menuju pintu depan. Dan… sangat terkejut saat melihat gadis dengan rambut mengembang itu berdiri di sana. 

"Pak Nares ngapain di sini?" Arawinda juga tidak kalah terkejut. Bahkan gadis itu sampai melongok nomor rumah yang tertempel di dinding. Lalu seperti menyamakannya dengan kertas kecil yang dipegang. 

"Harusnya saya yang tanya. Kamu ngapain pagi-pagi buta ada di rumah saya?" Nares bersedekap sembari menyandarkan tubuh ke kusen. Mengamati penampilan Ara yang sedikit rapi dari terakhir mereka bertemu. Rambut panjang bergelombang itu juga tampak rapi. Menambah kadar manis di wajah Ara yang sebenarnya cukup enak dipandang. 

Arawinda kembali melebarkan mata. Lalu sekali lagi memastikan jika alamat rumah yang dicarinya tidak salah. 

"Ini bener rumahnya Eyang Widya, kan?" tanyanya saat yakin tidak salah rumah. 

"Betul, itu eyang saya. Kamu ada perlu ap–" Kalimat Nares terhenti saat eyangnya tiba-tiba muncul dari belakang.  

"Eh, Ara, sudah datang kamu!" ujar wanita itu penuh dengan semangat. Memancing kerutan dalam muncul di dahi Nares saat itu juga.

Jodoh Untuk Pak Dosen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang