Arawinda mencoba untuk tidak menyimpan dendam pada Nares yang sudah mengerjainya. Tidak yakin jika alasan yang eyang berikan adalah betul sebagai penyebab Nares tidak menyukainya. Ara yakin ada alasan lebih masuk akal lainnya, tetapi dia tidak bisa menebak.
Apa ini berhubungan dengan pembahasan membingungkan di jalan hari itu? Namun semakin dipikirkan Ara semakin bingung dengan penolakan yang Nares maksud.
"Kamu mau pergi, Ra?" tanya Eyang Widya pada Ara yang baru saja turun dari lantai dua.
Arawinda yang melihat eyang sedang sibuk di dapur segera mendekati. "Iya, Ara ada kerjaan, Yang."
"Tadi pas bangun Eyang cari kamu ndak ada."
Ara tersenyum sebelum menjawab, "Ara memang biasa bangun pagi buat bantuin mamah." Sekarang tidak ada yang membantu ibunya. Wanita yang melahirkannya itu pasti kerepotan membuka warung nasi uduk sendirian.
"Kamu ini memang anak rajin. Duduk dulu! Eyang lagi siapin sarapan." Eyang Widya kembali sibuk di depan kompor.
"Ada yang bisa Ara bantu, Yang?" tanya Arawinda basa-basi. Sebenarnya dia dikejar waktu karena harus mengambil sepeda motornya di bengkel. Lalu setelah itu ada undangan menyanyi di pesta pernikahan. Sorenya dia harus ke Romantic Kafe. Menjadi pengisi live music yang diadakan setiap malam minggu.
"Ndak perlu. Kamu duduk saja. Ini Eyang sudah mau selesai." Eyang Widya sedikit mendorong bahu Arawinda agar gadis itu duduk di salah satu kursi meja makan.
Arawinda yang sebenarnya tidak enak hati memilih patuh. Lagipula dia juga tidak bisa masak. Biasanya saat membantu ibu di rumah yang Ara lakukan hanya memotong bahan untuk membuat gorengan. Semua hasil akhir ada di tangan sang ibu.
"Res, sarapan. Jangan minum kopi dulu!" ujar Eyang Widya tegas saat melihat sang cucu yang baru saja turun dari lantai dua melangkah ke arah rak penyimpanan kopi.
"Kalau ndak nurut nanti semua stok kopi Eyang buang, ya." Eyang Widya menggertak seolah-oleh Nares ini anak kecil. Biasanya Nares tidak terlalu peduli, tetapi saat melihat ada sosok lain di meja makan, laki-laki itu merasa malu dengan perlakuan eyang.
"Nares bukan anak kecil lagi, Yang," protes laki-laki itu dengan nada merajuk. Tanpa sadar malah bersikap seperti anak kecil.
Arawinda yang melihat interaksi eyang dan cucunya ini merasa sedikit lucu. Jangan-jangan, alasan yang eyang beri untuk sikap Nares ini benar. Jika ya, kepribadian Nares sangatlah unik. Bisa bersikap kekanakan dan juga berwibawa menyesuaikan tempat. Siapa yang menyangka jika dosen idola di kampus memiliki temperamen seperti ini?
"Ngapain senyum-senyum?" tegur Nares pada Arawinda yang tengah menahan senyum geli.
Mendapat teguran semacam itu Arawinda langsung menetralkan ekspresinya. Gadis itu lalu menggeleng dan pura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Sudah, ndak perlu ribut. Sekarang ayo pada sarapan!" Eyang Widya sengaja memasak sendiri, meminta ART-nya untuk tidak membantu. Semenjak Arawinda pindah ke rumah, wanita berkepala tujuh itu merasakan energinya meningkat. Mungkin karena merasa senang.
"Nares belum laper," gumam Nares berniat untuk bangkit.
"Kamu libur, kan?" Eyang Widya mengabaikan perkataan Nares sebelumnya.
Nares tidak langsung menjawab, laki-laki itu tengah waspada dengan kelanjutan kalimat eyang.
"Bisa antar–"
"Nggak bisa, Yang. Nares hari ini ada acara," potong laki-laki itu cepat sebelum eyang menyelesaikan perintahnya. Tahu betul apa lanjutan dari kalimat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Pak Dosen
RomanceNares menolak saat eyang menunjuk Arawinda sebagai gadis yang akan menjadi jodohnya. Ara jauh dari kriteria wanita idaman bagi Nares yang memiliki kriteria tinggi dalam memilih calon istri. Lagipula Ara adalah mahasiswa yang sering membuat ulah di k...