Nares itu seperti bunglon. Bisa berubah seperti apa saja sesuai tempat laki-laki itu berada. Juga tergantung dengan siapa Nares berbicara.
Saat berada di rumah, terutama ketika berbicara dengannya, laki-laki itu bisa sangat menyebalkan. Bahkan memiliki sisi kekanakan yang sampai sekarang masih Arawinda anggap aneh. Akan tetapi lihatlah saat berada di kampus, apalagi saat sedang mengajar. Wibawa yang Nares tunjukkan sungguh luar biasa.
Laki-laki itu juga bisa bersikap biasa saja terhadap Arawinda yang beberapa waktu lalu mampu membuatnya kesal. Bahkan saat melihat Ara tertidur di bangkunya, yang Nares lakukan hanya mengetuk meja gadis itu. Namun karena terkejut, Ara terjatuh dari kursinya. Berakhir memancing tawa seisi kelas.
"Cuci muka!" perintah Nares dengan wajah ramah. Tidak terlihat tengah menahan kesal sama sekali. Senyum tipis juga terlihat tersungging.
Ara yang mendengar perintah tersebut langsung bangun sembari mengusap bokongnya yang sakit karena terantuk lantai. Lalu segera pergi ke luar untuk mencuci muka. Sesekali melirik ke arah Nares yang sudah kembali serius membahas materi kuliah. Apa Nares benar-benar tidak marah padanya? Padahal Ara merasa bersalah karena tidak sengaja tertidur.
*
"Kumpulkan tugasnya di Arawinda," ujar Nares saat kelasnya sudah berakhir. "Tolong bawakan ke ruangan saya," lanjutnya pada gadis berkaca mata itu.
Arawinda hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu segera mengumpulkan tugas yang dimaksud. Tidak merasa curiga sama sekali dengan perintah Nares ini. Setelah semua tugas terkumpul, gadis itu segera melangkah ke ruangan Nares berada. Namun, laki-laki itu malah tengah berdiri di bawah anak tangga. Menunggunya?
"Pak!" panggil Arawinda pelan. Nares yang mendengar langsung menoleh, memberikan senyuman tipis. Namun senyuman itu terlihat berbeda. Arawinda seketika merinding.
"Kamu bosan sekali, ya, melihat muka saya?" tanya Nares dengan senyuman yang masih terpatri. Jika dilihat dari kejauhan, senyuman itu mungkin akan terlihat menawan. Namun saat dilihat dari jarak sedekat ini, Ara tahu Nares tengah memendam emosi.
"Maksudnya, Pak?" Ara meringis guna menutupi kegelisahannya. Ternyata Nares memang pandai berakting.
"Atau, menurut kamu materi yang saya ajarkan tadi mirip dengan lagu nina bobo?"
Nares mengangkat alis, senyuman tadi berganti dengan wajah kesal.
Arawinda kembali menunjukkan ringisan. "Maaf, Pak."
"Maaf, maaf. Kamu itu niat kuliah atau tidak?"
"Niatlah, Pak. Saya kerja banting tulang buat biaya kuliah," jawab Ara pelan.
"Nah itu kamu tahu nyari uang itu susah! Kenapa malah kayak nggak niat?"
Ara kali ini tidak menjawab. Sebenarnya dia tahu salah, dan merasa rugi saat tertidur di kelas tadi. Namun beberapa hari ini dia memang tidak cukup tidur karena belum terlalu terbiasa dengan tempat baru. Ara sengaja tidak menjabarkan alasan ini karena takut Nares akan menjadikannya alat untuk mengusirnya dari rumah.
"Atau perlu saya taruh segepok uang dulu di meja kamu biar kamu bisa melek saat kelas saya?"
Ara masih diam. Sebenarnya agak bingung juga kenapa Nares harus marah-marah di waktu yang tidak tepat. Bukankan seharusnya tadi saja dia dimarahi? Kenapa tadi harus bersikap sok baik, dan sekarang malah baru meluapkan emosinya?
"Apa, nggak terima ditegur?"
"Bapak itu ada dendam apa, sih, sebenarnya sama saya?" Ara tidak tahan lagi untuk memendam pertanyaan ini. Entah mengapa Nares seperti senang sekali membuat masalah dengannya. Oke, dia akui tadi salah karena tertidur di kelas. Namun cara menegur Nares ini sangat aneh di mata Arawinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Pak Dosen
RomanceNares menolak saat eyang menunjuk Arawinda sebagai gadis yang akan menjadi jodohnya. Ara jauh dari kriteria wanita idaman bagi Nares yang memiliki kriteria tinggi dalam memilih calon istri. Lagipula Ara adalah mahasiswa yang sering membuat ulah di k...