Bab 19. Kesepakatan

91 8 0
                                    

Arawinda mengikuti mobil Nares dari belakang menggunakan sepeda motornya. Dalam benak menebak-nebak, hal serius apa yang kiranya ingin laki-laki itu bicarakan. Ara ikut membelokkan sepeda motor ke sebuah kedai kopi, saat mobil Nares juga berbelok ke tempat yang biasa digunakan untuk nongkrong itu. 

Arawinda segera memarkir sepeda motor, dan mengikuti langkah cepat Nares yang sudah terlebih dulu masuk. Aroma kopi langsung terhidu saat pintu kaca itu Arawinda dorong. Suasana kedai dengan nuansa klasik itu tampak sepi, hanya ada tiga pelanggan yang terlihat sibuk dengan kegiatan masing-masing. 

"Kamu mau pesen apa?" tanya Nares yang sudah berdiri di depan bar untuk memesan. 

"Es kopi aja, Pak!" Ara sebenarnya ingin menolak, tetapi urung karena merasa haus. Dan air mineral di botolnya juga 3 sudah habis. Jadi, ya sudah, bersikap masa bodoh sajalah. 

Ara memilih bangku di sisi jendela. Dari tempatnya duduk terlihat jalanan Kota Jakarta yang tidak pernah ada kata lengang. 

"Langsung saja ke topik!" 

Arawinda mengalihkan fokus pada Nares saat laki-laki itu meletakkan minuman pesanan ke arahnya. Mengucapkan terima kasih, mata berbingkai kaca itu lantas menatap serius ke arah Nares yang sudah duduk di seberangnya.

"Jadi apa yang mau Bapak bicarain?" tanya gadis itu lebih dulu. Sangat penasaran dengan topik pembicaraan serius yang ingin Nares bahas. 

"Saya mau nanya sesuatu, tapi kamu jawab jujur " Nares mengucapkan kalimat tersebut dengan nada menuntut. Ara yang mendengarnya hanya menjawab dengan anggukan. 

"Kamu tahu soal perjanjian yang eyang buat dengan nenek kamu?" 

Hal ini lagi. Meskipun jengah, Ara tetap menjawab. "Kalau saya jawab nggak tahu, Bapak percaya?" 

Nares tidak langsung menjawab. Laki-laki itu malah menelisik wajah Arawinda. Seolah-olah tengah mencari kebenaran. 

Ara yang ditatap seperti itu mendesah kecil. "Pak, saya beneran nggak tahu!"

"Kamu yakin nggak lagi bohong?"

"Sumpah demi apa pun, saya nggak tahu!" Arawinda jadi penasaran perjanjian apa yang neneknya buat dengan Eyang Widya. Sampai Nares harus merasa terganggu seperti ini.

"Beneran?" 

Ara hanya berdecak malas, meminum es kopinya. Tidak berniat menjawab karena percuma saja jika Nares tidak percaya. 

"Oke saya percaya," ujar Nares pada akhirnya. 

Ara kembali menatap Nares, lalu bertanya, "Jadi perjanjiannya itu apa?"

Nares malah terlihat ragu untuk menjawab. Ada rasa malu yang mencuat begitu saja. Apalagi saat sadar Arawinda tidak berbohong. Gadis ini memang tidak tahu menahu soal perjanjian perjodohan konyol itu. 

"Apa, Pak?" tanya Arawinda tidak sabar. 

"Nenek kamu sama eyang janji mau jodohin kita." Nares menjawab dengan suara lirih, tetapi mampu membuat Arawinda melebarkan mata. 

"Apa? Jodohin?" Arawinda takut ada yang salah dengan pendengarannya. Namun anggukan yang Nares beri meruntuhkan keraguannya. 

"Kamu beneran nggak tahu?" Nares bukannya tidak percaya, hanya merasa heran kenapa gadis ini sampai tidak tahu. 

"Beneran nggak tahu, Pak. Kalau tahu saya juga bakalan nolak!" ujar Arawinda tegas. 

Nares yang mendengar kalimat terus terang itu malah merasa tersinggung. Juga malu karena ternyata Ara memiliki pemikiran sama dengannya. Jika tahu seperti ini, maka dia tidak perlu berbuat kekanakan seperti kemarin. 

Jodoh Untuk Pak Dosen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang