Bab 7. Kejutan

67 8 0
                                    

Gadis dengan rambut mengembang sepanjang punggung itu memejamkan mata sembari menyandarkan kepala pada batang pohon di belakangnya. Di tengah terik Kota Jakarta, pohon mangga di depan rumahnya ini cukup menjadi penolong. Setidaknya ada sedikit semilir angin yang membuat cuaca gerah bisa berkurang. 

'Ke mana lagi gue harus cari uang?' Satu baris kalimat tanya itulah yang sekarang sedang terpikir di benak Arawinda. Uang tabungan untuk membayar semester bulan ini harus berkurang karena biaya service sepeda motornya ternyata mahal. Banyak bagian yang harus diganti karena dirusak oleh Satrio. Kata orang bengkel, banyak onderdil asli yang diganti dengan barang KW. 

Bulan ini sepertinya Satrio sering sekali membuat ulah. Arawinda menebak pasti onderdil sepeda motornya dijual. Entah mengapa uang yang Satrio hasilkan dengan bekerja di bengkel seperti tidak pernah cukup. Apa yang sebenarnya laki-laki itu lakukan di luaran sana?

"Ra!" Teriakan sang ibu membuat Arawinda sedikit tersentak. Gadis yang mengenakan kacamata minus berbingkai kotak itu langsung mengubah posisi nyamannya. 

"Ara!" teriak ibunya lagi. 

"Kenapa, sih, Mah? Ara di sini!" Dari atas pohon tempatnya merenung, Ara juga ikut berteriak. Gadis itu memang memiliki kebiasaan yang sedikit aneh. Senang sekali nangkring di atas pohon jika dalam kondisi galau seperti saat ini. 

"Udah mau magrib masih aja nangkring disitu lu. Udah mana itu rambut kagak disisir. Entar orang pada lewat dikira demit lu, Ra! Turun!"

Ara malah cengengesan. Sehabis mandi dan keramas tadi dia memang tidak langsung menyisir rambut. Atau bisa dibilang dia memang tidak terlalu suka menyisir rambut. Apalagi jika tidak pergi ke mana-mana. 

Arawinda turun dari atas pohon dan segera menghampiri ibunya. "Kenapa?"

"Tadi si Tamara nyariin lu. Hari Minggu suruh ke sono." 

Mata Arawinda langsung melebar. Doanya diijabah dengan cepat oleh Tuhan. Jika Tamara sudah memanggilnya, itu berarti ada peluang cuan. Jangan bayangkan Tamara ini sosok gadis cantik. Tamara adalah nama lain dari Tama, waria pemilik salon di seberang komplek. 

"Eh sama satu lagi, Ra!" Ara menunggu ibunya melanjutkan kalimat. "Tadi Eyang Widya ke sini."

"Oh, nyariin Ara, apa memang mau ketemu Mamah?" Sahabat neneknya itu biasa Ara temui di pemakaman jika mereka sedang ziarah bersama di makam nenek. Di mata Ara dan keluarga, Eyang Widya adalah sosok baik. Jauh dari kata sombong meski bisa dibilang orang berada. Tidak pernah melupakan persahabatan yang pernah terjalin dengan mendiang nenek Ara dulu. 

"Mampir aja katanya, sama …." Atikah menjawab sembari berpikir. 

Apakah perlu menceritakan hal yang mereka bahas tadi? Ini soal janji yang pernah Eyang Widya buat dengan ibunya. Kedua sahabat karib itu membuat janji untuk menyatukan keluarga mereka dengan perjodohan. Karena sama-sama memiliki anak perempuan yang tidak mungkin dijodohkan, maka janji itu jatuh ke cucu. Yang tidak lain adalah Arawinda karena cucu Eyang Widya laki-laki.

"Sama?" Ara menyelidik wajah ibunya yang entah mengapa terlihat seperti menyembunyikan sesuatu.

"Iya, beliau sama nawarin kerjaan buat lu!" Wanita dengan dua anak itu memutuskan untuk tidak membahas perihal perjodohan. Takut hal tersebut akan menjadi beban pikiran bagi Ara yang sudah memutuskan untuk tidak menikah seumur hidup. Sejak mengetahui ayahnya selingkuh, dan melihat abangnya bergonta ganti pacar begitu mudah, Ara memang memiliki trauma pada sebuah hubungan. 

"Kerjaan?" Senyum Ara kembali terbit. Kabar bagus ini datang bertubi-tubi. Tuhan tidak pernah meninggalkannya, itu yang Ara yakini. Selalu ada pertolongan di setiap kesulitan yang dihadapinya. 

Jodoh Untuk Pak Dosen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang