15 CELSIUS

461 85 8
                                    

15 celsius

Pak Kang terbangun seraya mengeryitkan dahinya. Di luar badai mengamuk kencang, namun pintu depan terketuk keras. Istrinya sedang hamil besar dan ikut terbangun. "Sebaiknya aku lihat dahulu," katanya. Penginapan tutup pukul delapan malam dan ini sangat larut. Apakah ada tamu?

Istrinya menatap risau. "Tetap di sini saja."

"Suaranya tidak berhenti."

"Bagaimana kalau itu orang jahat?" tebaknya sinis. Ada banyak orang aneh dekat sini sejak badai terus melanda. Apalagi, banyak pengemis dan gelandangan yang hanya ingin makan enak dan menumpang gratis. Penginapan mereka masih kecil dan belum terkenal. Biaya operasionalnya tidak murah, terlebih banyak keluhan dari tamu yang katanya kurang nyaman karena beberapa fasilitas yang tidak tersedia. Jika sampai ada yang hendak berbuat jahat, tamatlah hidup mereka. Istri Pak Kang menatap lesu. Ia mengelus perut bulatnya pelan. "Tetap di sini."

"Hanya sebentar," kata Pak Kang lantas bangkit. Derit lantai terdengar seiring langkahnya lebar-lebar. Di atas lampu berkedip-kedip pelan, seraya ia mendekati pintu depan penginapan. "Apa yang...."

Satu orang bertudung menunduk. "Tuan Murah Hati, beri saya makanan dan tempat tinggal sementara. Badai sangat parah di luar sini." Ia terlihat tidak punya apa-apa dan menunduk lemah. "Tuan, saya tidak tahu harus ke mana lagi."

"Ada banyak orang susah di luar sana, mengapa aku harus menampungmu?"

"Aku benar-benar tidak sanggup bertahan di luar lebih lama."

Tidak lama, istri Pak Kang muncul dan merangkul lengan suaminya bingung. "Ada apa ini?" katanya lalu memandang wajah suaminya. "Apa yang dia inginkan?"

"Cih, pergilah sana! Cari tempat lain! Ini bukan tempat penampungan. Orang kumuh sepertimu tidak patut di sini!" katanya kasar. Pak Kang jarang sekali marah, tapi ini sangat larut dan besok pagi dia harus mengangkut barang dari kota justru jam tidur berharganya diganggu oleh gelandangan tersebut. Wajahnya berubah keras. "Pergi saja."

Istri Pak Kang hanya diam.

Gelandangan itu menyikap tudungnya dan mendongak. Separuh wajahnya rusak sedangkan bibirnya terlihat tajam nan sinis. Ia tersenyum misterius. "Kalian semua memang sampah. Manusia tidak berguna," katanya lalu mundur perlahan. Pak Kang merinding sampai ke tulang dan istrinya hanya menarik diri lantas bersembunyi saat sumpah serampah dari orang itu terdengar. Mata gelandangan itu turun ke perut si istri, membuat Pak Kang langsung melotot. "Aku pastikan anakmu akan tumbuh menderita tanpa kalian."

"Kau! Keparat! Pergi!"

Gelandangan itu berbalik seraya mendengus kasar. Ia mengenakan tudungnya lagi seraya menembus badai. Udara dingin tidak pernah mengganggunya tapi harum manis dari manusia mengundangnya hingga mendekati penginapan kecil yang malang itu. Ia mendengar riak suara dari sana, merasakan betapa lezatnya manusia di sana.

*

*

Taehyun membuka pintu.

"Kau pulang!" pekik Kiwoo dengan senyum secerah matahari musim panas. Ia berhambur mendekap Taehyun yang masih lemas karena sehabis perjalanan panjang. Kiwoo menatapnya lama. "Tuan, aku menunggumu. Akhirnya kau kembali, bagaimana di sana? Bagaimana dengan..." Tidak lama, Beomgyu muncul seraya tersenyum. Kiwoo balas tersenyum. "Kau kembali."

Beomgyu mengangguk, ia merasa aneh berada di sini lagi dan Kiwoo terus memperhatikannya tanpa berkedip. Suasananya jadi kaku. "Aku akan bergabung nanti," katanya dan berlalu pergi. Taehyun menoleh ke arah Kiwoo dan menanyakan bagaimana penginapan.

"Jadi kalian sudah akur lagi? Beomgyu akan tinggal di sini lagi?" tanyanya cepat.

"Dia hanya mengantarku saja, sebentar lagi ia harus pergi."

"Ke mana?"

Taehyun hendak menjawab, namun Pelayan J dan yang lain sudah mengerumuni, menyambutnya. Taehyun senang semua berkumpul dan mengatakan penginapan ramai serta terjaga selama Taehyun pergi. Mereka baru akan makan-makan siang ini. Memesan daging, memanggangnya dan minum bir. Taehyun memberi saran agar mereka menutup penginapan lebih cepat supaya mereka bisa bersenang-senang semalaman; menonton, berkaraoke di mini bar atau sekadar duduk dan menyesap bir. Pokoknya, berhenti bekerja sejenak untuk malam ini. Beomgyu bergabung, menyapa semuanya dan nampak akrab.

Kiwoo mendekati Taehyun dan berbisik, "Nanti kita bicara, ya."

"Uh? Apa yang ingin kau bicarakan? Sekarang saja."

"Um, lebih baik berdua saja."

Taehyun mengeryit namun akhirnya mengiyakan. Mereka lanjut mengobrol sementara Beomgyu bergantian mendekatinya dan mengatakan dia harus pergi mengejar kereta lagi. "Sekarang? Kau janji akan tinggal lebih lama."

"Ayahku akan membunuhku kalau aku tidak muncul. Kami sudah berjanji akan membicarakan sesuatu," katanya tegas. Ia mengecup kening Taehyun lembut dan mengelus pipi Taehyun sekilas. Ia pamit pada yang lain lalu bilang akan kembali secepat mungkin dan jangan khawatir. Taehyun bisa saja percaya, namun melihat Beomgyu menjauh rasanya menyakitkan juga. Beomgyu baru bersamanya begitu singkat dan dia harus melihat Beomgyu pergi lagi? "Hanya sebentar, Sayang."

"Kalau kau pergi lagi, aku akan menyeretmu kemari."

Beomgyu tertawa ringan. "Ya, ya."

Dua jam berikutnya, semua orang sibuk dengan obrolan masing-masing. Tamu muncul dan pergi untuk meminta handuk tambahan, makanan pencuci mulut atau sekadar ingin dinyalakan pemanas shower. Kiwoo berjalan bersama Taehyun. Mereka duduk dekat jendela penginapan dan Kiwoo tersenyum ringan. "Aku senang sekali bekerja di sini. Kalian menerimaku dengan baik."

Taehyun memandangnya. "Jangan bilang...."

"Apa? Aku hanya ingin berterima kasih saja," jawabnya enteng. Kiwoo tertawa ringan. "Sekarang atau dulu, tidak banyak yang berubah di sini." Kiwoo selalu membawa aura positif ke penginapan, siapa pun tahu betapa supel dan ramahnya Kiwoo. Mendadak dia bicara serius begini, Taehyun belum mau kehilangan satu pegawai teladannya. "Aku terkesan."

"Apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan?"

"Kau tumbuh dengan baik, ya," kata Kiwoo seperti setengah meringis. Kiwoo tertawa canggung sedangkan Taehyun menatapnya setengah bingung. Kiwoo seperti berbicara seolah orang tua yang sudah melihat Taehyun sejak kecil, takayal itu membuatnya makin tidak mengerti. Kiwoo memalingkan wajahnya. "Sangat disayangkan," katanya dengan makna tersirat. Taehyun hanya terdiam dan ikut memandang keluar jendela, ke pelataran depan penuh salju, ke barisan mobil yang datang dan pergi, ke orang-orang berjaket tebal dan nyaris tergelincir. Kiwoo memandang leher Taehyun yang terbuka lantas menyeringai.

"Apakah sebelum ini kita pernah kenal, Kiwoo? Kau mengenalku?"

Kiwoo tidak menjawab, hanya memandang lurus.

[]

WHEN A COLD HITS US | beomtae ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang