9 celsius
Dua hari berikutnya, Taehyun tergerak untuk kembali mengurus penginapan. Ming mengawasinya, membuat Taehyun setengah ragu membiarkan Ming berada di penginapan. Sejujurnya, Taehyun juga tidak ingin berdekatan dengan siapa pun beberapa hari.
"Hei, Tuan."
Taehyun terlonjak singkat dan menatap Kiwoo. "Ya? Apakah ada sesuatu?" tanyanya. Ia jadi panik berlebihan, merasa sangat sensitif tiap ada yang menyentuh entah itu bahu, lengan, atau seringan menyentuh tangannya. "Apakah semua aman?"
Kiwoo mengangguk. "Aman. Aku hanya khawatir, kau sepertinya gelisah beberapa waktu ini."
"Aku... em... baik," jawabnya pelan. Taehyun meminta Kiwoo untuk membawa paket yang menumpuk di dekat koridor, kemudian ia akan berjaga sebentar di balik meja resepsionis. Frekuensi tamu yang keluar-masuk tidak sebanyak kemarin, jadi Taehyun dan Kiwoo sedikit santai. Pelayan J, Sam, dan yang lain bekerja bahu membahu untuk melayani tamu mereka, sedangkan Taehyun terus bertanya-tanya kapan Beomgyu kembali.
Taehyun merapikan buku tamu, membersihkan keyboard, mengganti bunga dalam vas, membersihkan taplak meja dan merapikan kursi. Ia menunggu dan menunggu, tidak ada tanda Beomgyu di mana pun. Apakah dia benar-benar pergi, tanpa menemuiku lagi? Taehyun seperti berutang satu kata "maaf" yang jelas. Jika waktu itu memang salah paham (ada orang jahat di balik semua kekacauan yang menimpanya), Taehyun mau melihat Beomgyu sekali lagi.
Kiwoo muncul lalu merapikan rak kaca berisi kunci. Taehyun bergeser dan meninggalkan bagian depan penginapan, tempat penerimaan tamu. Gundah, bingung, dan merasa kesepian. Taehyun terbiasa dengan kehadiran Beomgyu, sampai setiap detik sepertinya hampa tanpa ada pria itu. Taehyun bertanya-tanya; apakah ini wajar? berharap Beomgyu kembali? apakah ini benar?
Beomgyu vampir. Taehyun mengingatkan dirinya sendiri. Jika vampir bisa berkeliaran, maka keberadaan yang lain akan dipertaruhkan. Jika sampai ada korban di penginapannya, maka kepercayaan masyarakat padanya, atau kepercayaan para turis akan dipertanyakan. Akan membutuhkan banyak waktu untuk menarik para tamu untuk mau menginap dan membayar seperti seharusnya.
Taehyun berjalan lesu, langkahnya terhenti tepat di depan Ming.
"Itu bukan Beomgyu. Siapa pun yang kau lihat di hutan, dan malam kemarin, bukan Beomgyu," katanya tegas. Matanya berkilat penuh kesungguhan.
"Bagaimana kau tahu? Apakah kau..." Taehyun melebarkan matanya.
Ming tidak menjawab, membuat kesunyian merebak di tengah mereka. Pria tinggi itu hanya berdeham dan melewati Taehyun. Taehyun tidak paham mengapa, tapi Ming memancarkan hawa yang membuatnya kurang nyaman dan merinding. Sesuatu seperti terasa ganjil.
*
*
Beomgyu membuka matanya dan merentangkan lengan.
Uh sudah berapa lama ia tertidur di sini? Matahari tidak terlihat, tapi hutan seperti menyimpan cahaya tersendiri hingga ia dapat membuka mata dan tersadar dari tidurnya. Rasa haus terasa, dan jejak yang familier terasa di lidah; darah. Beomgyu tidak tahu bagaimana ia dapat sehaus kemarin, sampai kakinya menyerah untuk bergerak dan seharian ia habiskan untuk berburu hingga jauh ke dalam hutan. Beomgyu samar-samar mendengar suara keokan misterius dari jauh.
Ia bangkit, menepuk bagian belakangnya yang menempel pada salju, kemudian berjalan. Monster. Ia menggertakan gigi. "Berisik."
Sempat terbesit di benaknya untuk pulang, melupakan segala hal tentang manusia, melupakan penginapan dan ... Taehyun. Ia akan terjebak di Alcazar, menjadi pangeran Sergia yang bengal dan sering membuat ayahnya naik pitam. Ia akan mengolok saudara-saudaranya, atau anggota keluarga kerajaan ain. Ia akan minum-minum sampai teler, kemudian memukul penjaganya yang tukang gertak. Pokoknya jauh dari ini. Dan itu lebih baik daripada merasa seperti sampah di hadapan Taehyun.
Beomgyu mendongak, memusatkan pikirannya. Ayah akan senang melihat Beomgyu secara sukarela kembali. Ayah akan membuatnya merasa di Alcazarlah seharusnya ia tinggal.
Beomgyu meremas dadanya. Tidak ada detak jantung. Tidak bisa merasakan sakit. Tapi mengapa terasa berat untuk pergi? Ia berharap, jika bisa, sekali saja merasakan menjadi manusia. Ia akan tukar dengan apa pun; hartanya, posisinya, keabadiannya, bahkan segenap jiwanya.
If my heart ever beats, it is only for you.
Taehyun.
Penghinaan, rasa rendah diri, mual semua menumpuk di perut Beomgyu. Ia merasa bisa muntah kapan saja, dan merasa tidak pernah cukup. Kakinya dipaksa bergerak.
*
*
Taehyun membuka tangannya dan menangkap salju yang berjatuhan. Matanya panas, hatinya terasa sesak dan ia terus menatap jauh seolah orang itu akan kembali. Seolah Beomgyu benar-benar mendatanginya lagi. Tapi, tidak ada. Beomgyu seperti bayangan yang lenyap, seiring waktu tidak ada yang membicarakannya atau menyebut namanya.
Seolah dia hanya mimpi singkat, seolah dia tidak pernah ada di sini, seolah dia bagian dari sejarah usang yang terhapus waktu.
Taehyun meremas salju tadi. Ia merasa menggigil tapi tidak betah tetap di dalam dan menanti saja. Ia ingin melihat Beomgyu. Ming sudah menunjukan rekaman di hari kejadian, dan Taehyun sangat merasa bersalah pada Beomgyu. Jika saja dia mau mendengarkan, bersabar sedikit agar Beomgyu mengatakan yang sebenarnya, mungkin saja Beomgyu tetap di sini.
Ming muncul dan berdiri di sebelahnya. Taehyun menoleh kecil. "Jadi dia sudah pergi? Apakah dia kembali ke tempat kalian berasal?"
"Aku belum bisa memastikan. Tapi, aku tidak dapat merasakan keberadaannya di dekat sini."
"Benarkah?"
Ming mengangguk.
"Jadi dia pergi meninggalkanku?" Taehyun terpukul. Ia tidak pernah terbiasa dengan kehilangan; ayahnya, ibunya, semuanya. Ia bahkan hampir kehilangan tempat ini dan stafnya. Dan Beomgyu. "Mungkin itu keputusannya."
"Kau peduli padanya?"
"Aku... tentu saja."
Ming meneguk ludahnya. "Kau... menyukainya?" Intonasi suaranya berubah serius. "Karena itu bisa berarti banyak hal." Ming tidak ingin menakuti-nakuti terlebih Taehyun belum benar-benar pulih.
"Mungkin."
"Kau harus yakin dengan perasaanmu sendiri, kau tahu."
Taehyun tidak menjawab, membiarkan Ming terus meneliti ekspresi wajahnya. Suka? Terlalu sederhana untuk diucapkan. Gabungan perasaan yang mengembang ini sulit dijelaskan agar Ming paham. "Mungkin ya."
"Aku tidak pernah paham dengan manusia yang terus meragu. Maksudku, waktu kalian untuk hidup itu singkat, jadi mengapa terus mengulur waktu? Apakah kau mati dengan penuh penyesalan?" Suaranya merdu, mengalun sopan. Kontras dengan isi kalimatnya yang tajam dan menusuk.
"Kau pikir kalau aku menyukainya, aku harus mengatakan padanya?"
"Ya." Pria itu setuju. "Atau tidak sama sekali. Itu tetap pilihanmu." Ming berbalik, tanpa meneruskan maksud ucapannya. Taehyun termenung beberapa detik yang terasa lama. Jika Beomgyu bukan vampir, jika ada kisah lain yang lebih indah untuk mereka, jika pertemuan mereka bukan suatu "kecelakaan", apakah Taehyun tetap meragu seperti ini? Taehyun terdiam.
Hidup itu singkat. Kau mau mati penuh penyesalan?
Ayah Taehyun membesarkannya penuh didikan baik. Ibu menyayanginya sehingga ia mengasihi yang lain. Taehyun jarang mempertanyakan isi perasaan atau instingnya sendiri. Semasa sekolah, ia terus jadi juara kelas dan menjadi idola guru-guru. Pendapatnya didengarkan, nilainya memuaskan dan kerap ditunjuk sebagai juru debat dalam banyak forum diskusi. Taehyun tidak pernah sekalipun memperdebatkan isi hatinya.
Jika ini adalah keputusannya, seharusnya ia yakin, kan? Taehyun mendongak ke langit. Sekarang atau tidak sama sekali.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
WHEN A COLD HITS US | beomtae ✔
FanfictionBeratus-ratus tahun silam, kaum vampir dan manusia hidup berdampingan dengan rukun. Hingga bencana datang, kedua kaum itu mulai berselisih dan memicu perang. Manusia yang selamat membangun peradaban baru. Hidup dalam kelompok dan prinsip mereka. Di...