Welcome to the World, Baby Boy

581 36 0
                                    

     Sejak siang Arinda sudah merasa mulas. Lantaran ini pengalaman kedua, jadi ia lebih santai dan tenang. Ajakan Elang untuk ke rumah sakit ia tolak. Nanti saja, katanya. Intensitas mulasnya masih jarang. Ia masih bisa menahan. Barulah selepas magrib, saat rasa mulasnya meningkat dan sering, ia mengajak Elang ke rumah sakit. Sansa mereka titipkan pada Dedi dan Yulia. Untuk persiapan persalinan Arinda, seminggu sebelumnya Elang setuju mereka tinggal di rumah mertuanya. Dekat juga dengan orang tuanya.

     Tiba di rumah sakit, Arinda diperiksa. Ternyata sudah pembukaan tiga. Tujuh lagi, pikirnya. Ia berdo'a semoga pembukaannya segera lengkap. Baginya waktu berjalan sangat lambat. Tiap detik sakit yang mendera kian bertambah. Di saat seperti itu, ia tak mau Elang jauh darinya. Ia ingin Elang ada di sisinya untuk menguatkannya.

     "Kak ...."

     "Ya, Sayang. Kenapa? Mau apa?"

     "Sakit banget," lirih Arinda sambil meringis.

     "Sabar ya, By." Elang mengecup kening Arinda. Sedari tadi tangannya tak berhenti mengusap-usap punggung sang istri.

     Dari persalinan anak pertama, Elang selalu mendampingi Arinda. Ia menjadi saksi bahwa perjuangan seorang ibu melahirkan anaknya amatlah berat. Sebenarnya ia tidak tega melihat istrinya kesakitan. Namun baginya memiliki Sansa saja tidak cukup. Ia ingin menambah momongan. Maka ketika Arinda menyatakan siap untuk mengandung lagi, ia sangat bahagia. Apalagi saat tahu bahwa calon anak keduanya berjenis kelamin laki-laki, kebahagiaannya bertambah. Setelah ini ia berencana akan berhenti memiliki momongan lagi. Dua anak, sepasang perempuan dan laki-laki. Itu sudah cukup.

     Malam sudah larut, bahkan mendekati dini hari. Di atas pembaringan Arinda semakin gelisah. Hadap kanan, hadap kiri, telentang. Begitu terus, tapi tak mengurangi sakit yang mendera, malah semakin bertambah. Elang masih di sisinya. Begitu juga Rahma. Mertuanya itu ikut menemaninya di rumah sakit.

     Akhirnya ketika jam melewati angka dua belas, pembukaan Arinda lengkap. Proses persalinan dimulai. Elang berdiri di dekat kepala Arinda menyemangati. Lelaki itu pasrah satu tangannya diremas kuat oleh sang istri.

     "Kakak, aku enggak kuat. Aku ngantuk," keluh Arinda setelah beberapa kali mengejan, tapi bayi belum berhasil keluar.

     Sebenarnya Elang panik mendengar itu, tapi ia sembunyikan kepanikannya. "Kamu kuat, By. Kamu pasti bisa. Jangan tidur dulu. Sebentar lagi si baby keluar. Ya kan, Dok?"

     "Iya," sahut dokter perempuan itu. "Ayo, Bu, dicoba lagi. Itu kepala si baby udah kelihatan," lanjutnya, kemudian memberi instruksi pada Arinda untuk mengejan.

     Dengan sisa-sisa tenaganya dan memaksakan mata untuk tetap terbuka, Arinda mengejan lagi. Ia merasa ada yang keluar dari tubuhnya. Tiba-tiba rasa sakit itu hilang berganti kelegaan yang luar biasa. Air matanya jatuh kala mendengar suara tangisan bayi.

     Alhamdulillah

     "By, kamu berhasil. Terima kasih, Sayang." Elang menghadiahi sebuah kecupan di kening Arinda.

     Sambil tersenyum Arinda mengangguk. Dalam kondisi seperti itu ia masih bisa mengingat sesuatu. "Happy birthday, Kak."

     Persalinan sang istri membuat Elang tidak ingat bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya. Ucapan Arinda yang mengingatkannya. Tiba-tiba kebahagiaan menyerangnya bertubi-tubi. Tepat di hari ulang tahunnya ia mendapat kado yang sangat istimewa yaitu seorang bayi. Ini kado terbaik yang ia dapat selama hidupnya. Tak terasa kedua matanya basah.

     "Silakan, Pak, kalau mau diazani."

     Seorang perawat menggendong bayi yang masih merah berbalut selimut putih. Dengan sangat hati-hati Elang mengambil bayinya dari tangan si perawat. Kini bayi itu berpindah ke buaiannya. Sebelum melantunkan azan, ia pandangi sejenak bayi mungil itu sambil menggumamkan sebait do'a. Menit berikutnya ia melantunkan azan dengan suara pelan dan merdu di dekat telinga putranya. Setelah itu bayinya dibawa oleh perawat untuk dibersihkan.

     Keesokan hari Arinda sudah diperbolehkan pulang. Elang membawanya pulang ke rumah mereka. Tiba di sana, Arinda melihat sedan putih dengan pita merah muda besar terparkir di halaman. Ia menoleh ke arah suaminya yang sedang melepas seat belt. Di pikirannya sedan itu kado untuk Elang entah dari siapa sebab masih dalam momen ulang tahun.

     "Mobil dari siapa, Kak? Dari Mama Papa, ya?" Arinda menebak sedan itu pemberian mertuanya.

     "Itu dari Kakak," jawab Elang sambil tersenyum.

     "Oh. Sesekali ngado buat diri sendiri emang perlu."

     Elang mendekati Arinda, kemudian berbisik, "Mobil itu buat kamu."

     Reaksi Arinda hanya mengucapkan 'oh'. Ia senang tentu saja, tapi ia tidak memerlukan sedan mewah itu. Menurutnya Elang berlebihan.

     "Terima kasih udah melahirkan putra kita," lanjut Elang, lalu mengecup pipi Arinda.

     Arinda mengangguk seraya tersenyum. Rona merah menghiasi pipi putihnya. Baginya kedekatan dan perlakuan manis sang suami lebih membahagiakannya dibanding sedan putih mewah berpita itu.

***
    

    
    
    
    
   
    

Family GoalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang