Saat Elang Pergi

8.5K 343 63
                                    


     Elang dan Arinda menginap hanya sehari semalam di hotel. Meski  demikian, itu sangat berkesan, terutama bagi Arinda. Malah ia ingin memperpanjang 'bulan madu' mereka tapi apa daya pekerjaan Elang tak dapat ditinggal lebih lama. Jadi mereka tetap pulang di Senin sore dengan sebelumnya menjemput Sansa di rumah orang tua Arinda.

     Di hari berikutnya, mereka beraktivitas seperti biasa. Elang kembali bekerja. Sebelum berangkat ke kantor, sudah lumrah bahkan wajib baginya mencium anak dan istrinya. Kadang ia menggendong Sansa sampai depan pintu. Namun kali ini ada yang berbeda. Ia mendekap Arinda dan Sansa cukup lama bahkan disertai ungkapan sayang.

     "I love you."

     Tentu saja itu membuat Arinda senang. Ia berpikir bahwa mungkin Elang melakukannya untuk meningkatkan keharmonisan rumah tangga mereka pasca merayakan hari jadi pernikahan kemarin.

     "I love you, too." Arinda membalas kemudian mengajari Sansa untuk mengatakan kalimat itu juga.

     "Love you too, Papi."

     "Pinter banget sih, anak Papi."

     Elang semakin gemas pada Sansa lalu menciuminya lagi. "Sansa, jangan nakal, ya. Harus nurut sama Mami."

     Sansa mengangguk-angguk.

     "Oke, Papi berangkat." Elang menyodorkan tangan kanannya pada Sansa, lalu anak itu menciumnya.

     "By, baik-baik di rumah, ya. Jaga Sansa."

     "Iya, Kak."

     Arinda mencium punggung tangan Elang lantas mengantar sang suami sampai pintu gerbang. Ojek online yang dipesan sudah menunggu di luar. Elang memang tak selalu berangkat ke tempat kerja menggunakan mobil. Kadang ia mengendarai motor sendiri, kadang menumpang transportasi massa. Ia melakukannya untuk membantu mengurangi kemacetan ibu kota.

     Motor matic yang dikendarai oleh lelaki berjaket hijau itu bergerak pergi. Elang dan Arinda, juga Sansa saling melambaikan tangan. Arinda pandangi suaminya sampai menjauh lalu hilang. Barulah setelah itu ia kembali masuk ke rumah.

     Sekitar satu jam dari keberangkatan Elang, ponsel Arinda berdering. Saat Arinda lihat, ternyata dari nomor tak dikenal. Penasaran, ia menerimanya.

     "Halo."

     "Halo. Maaf, apa benar ini dengan istri dari Pak Shahreza Erlangga Sunarso?"

     Tiba-tiba perasaan Arinda jadi tak enak. Jantungnya mulai berdetak cepat. "Ya, benar. Ada apa, ya?"

     "Saya Ruli dari kepolisian. Suami Ibu mengalami kecelakaan. Sekarang sudah berada di rumah sakit ...."

     Tubuh Arinda lemas dan gemetar seketika. Untuk bicara pun mulut terasa kaku. Air mata langsung keluar dan turun membasahi pipi. "Di rumah sakit mana, Pak?" tanyanya dengan suara lemah dan terbata-bata.

     Pak Polisi menyebutkan nama sebuah rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan.

     Setelah perbincangan di telepon berakhir, Arinda bergegas menuju kamar untuk berganti pakaian. Sebelum pergi, ia menitipkan Sansa pada Bi Marni.

     Arinda ke rumah sakit dengan Pak Karman, sopir pribadinya. Saat tiba di sana ia tergesa-gesa menuju meja resepsionis. Ia bertanya suaminya ada di ruangan apa.

     Resepsionis mengecek data di komputer lalu ia meminta rekannya untuk mengantar Arinda ke ruangan di mana Elang berada.

     "Mbak, ruangannya mana? Kok, nggak nyampe-nyampe?" Arinda bertanya sambil berjalan cepat menyusuri koridor panjang.

     "Sebentar lagi sampai, Bu."

     Akhirnya langkah mereka berhenti pada sebuah ruangan yang terletak di bagian belakang gedung rumah sakit. Di pintunya tertulis nama ruangan tersebut : kamar jenazah. Arinda mematung, dadanya sesak, lalu tubuhnya ambruk ke lantai. Ia tak sadarkan diri.

     Ketika siuman, Arinda mendengar suara orang-orang sedang membaca ayat-ayat Alqur'an. Ia mengenali tempatnya berbaring sekarang saat kedua matanya terbuka lebar ; kamarnya dan Elang. Di sampingnya ada Yulia, sang mama yang mengusap-usap kepalanya sambil terisak. Semula ia masih kebingungan, tapi kala kesadarannya sudah benar-benar kembali, ia ingat tentang Elang yang mengalami kecelakaan dan kamar jenazah itu. Tiba-tiba ia menangis seraya bangkit dari tempat tidur.

     "Kak Elang di mana, Ma?"

     "Ada di ruang tengah." Yulia menjawab sambil membantu Arinda berdiri.

     "Ma, aku lagi mimpi, 'kan?"

     Yulia tak kuasa menjawab. Sebagai gantinya, ia memeluk erat putri tunggalnya itu dan berusaha menguatkan.

     Tubuh lemah Arinda dituntun Yulia menuju ruang tengah. Sampai di sana, ia luruh kala melihat sang suami tercinta berbaring kaku dengan ditutupi kain jarik. Ia menangis tanpa suara. Di dalam dada seperti ada yang mengganjal, membuatnya sesak. Tenggorokannya tercekat. Ia tak bisa mengeluarkan kata-kata. Mama dan papanya membantu ia berdiri lalu mendudukkannya. Orang-orang mulai mengerubunginya.

     "Yang tabah, ya."

     "Yang kuat, ya."

     Arinda tak merespon. Pikirannya kosong. Ia hanya bisa menangis dan menangis. Air matanya semakin deras ketika melihat Sansa yang sedang duduk di dekat kepala Elang. Anaknya itu membawa boneka Tedy Bear dan tidak menangis, malah mengajak bicara sang papi. Sansa masih terlalu kecil dan belum mengerti kematian.

     Di dekat Sansa ada Arya yang tak malu untuk menangisi separuh dirinya. Sammy terlihat sedang menguatkannya. Rahma tak henti-henti menyeka air mata, sedangkan Gunawan terlihat tegar di dekat jenazah sang anak.

     "Kakak."

     "By, By."

     Arinda terbangun, kedua matanya terbuka lalu mendapati Elang di hadapannya. Sontak ia menghambur mendekap sang suami dan menangis.

     "By, kamu kenapa? Kamu mimpi buruk?"

     Arinda mengangguk. "Aku mimpi Kakak meninggal. Itu kayak nyata banget, Kak."

     "Itu artinya Kakak bakal panjang umur." Elang menghibur sambil mengusap-usap punggung Arinda.

     "Aamiiin."

     "Ya udah, sekarang kita lanjut tidur lagi, yuk."

     Arinda melepaskan pelukannya. "Kakak duluan aja. Aku mau ke kamar mandi."

     Arinda berwudu lalu mendirikan salat malam untuk menenangkan hatinya. Ia menyadari mimpi buruknya terjadi akibat seharian tadi membaca berita suami artis Bunga Citra Lestari meninggal dunia yang berseliweran di media sosial. Ia sempat merenung dan membayangkan bagaimana jika ia yang berada pada posisi Bunga Citra Lestari? Ia tidak tahu apakah ia akan kuat atau tidak mengingat ia sangat mencintai Elang.

     Usai salat, Arinda menengadahkan kedua tangan. Ia meminta pada sang pemilik hidup agar selalu bisa terus bersama Elang di dunia ini sampai nanti di akhirat kelak.

***

    

    

     

    

    

    

    

Family GoalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang