Refreshing

7.6K 328 4
                                    


     Kehilangan memang menyakitkan, apalagi kehilangan anak. Itulah yang kini dialami oleh Arinda. Sudah satu bulan berlalu sejak ia mengalami keguguran, namun wajahnya masih belum berbinar. Duka masih menyelimutinya dan ia jadi sering melamun.

     "Sayang."

     Elang memasuki kamar lalu mendapati Arinda sedang duduk dengan tatapan kosong di samping Sansa yang sudah tertidur. Ia prihatin dengan kondisi istrinya pasca keguguran. Ia kehilangan sosok Arinda yang ceria dan periang.

     "Lagi ngelamunin apa?" Elang bertanya seraya duduk di dekat Arinda.

     Perempuan itu menjawab pertanyaan sang suami dengan gelengan disertai senyuman datar. Ia tahu Elang hanya berbasa-basi. Sebenarnya lelaki itu sudah pasti mengetahui apa yang tadi ia lamunkan.

     "Aku mau ambil minum ya, Kak."

     Arinda bangkit, lalu saat akan melangkah, Elang meraih pergelangan tangannya. Ia menoleh kemudian beradu tatap dengan suaminya.

     "By, Kakak kangen kamu."

     Tentu saja ucapan Elang itu membuat Arinda mengerutkan kening. "Kita tinggal serumah dan sekarang lagi bareng-bareng, terus Kakak bilang kangen?"

     "Kakak kangen kamu yang manja, ceria, riang, kadang ngeselin .... Kakak kehilangan kamu yang dulu."

     Arinda hanya bisa diam.

     "By, kayaknya kamu butuh liburan, refreshing."

     Arinda masih diam.

     "Kakak udah ambil cuti. Kita ke Lembang, ya, ke rumah Arya. Katanya, di sana tempatnya bagus. Kamu mau, ya?" Elang tersenyum. "Kita berdua aja, sekalian bulan madu kedua," lanjutnya.

     Jika sedang dalam keadaan normal, Arinda pasti jingkrak-jingkrak seperti anak kecil. Namun, kali ini ia menanggapi ajakan Elang dengan ekspresi biasa saja. "Sansa, gimana?" tanyanya.

     "Tenang aja, Sansa nanti dititipin di Mama. Mama pasti senang kalo dititipin cucu, soalnya nggak kesepian."

     "Kalo nanti dia rewel, gimana?"

     "Ada Arya. Dia bisa gantiin Kakak."

     Arinda diam lagi. Elang benar, ia butuh berlibur untuk menenangkan dan menghibur diri setelah melewati kejadian menyedihkan itu. Namun ia agak keberatan jika Sansa tidak diajak. Pergi liburan berdua memang akan terasa romantis, tapi ia pasti akan terus memikirkan Sansa. Lagipula, ia tak ingin merepotkan orang lain meski orang tuanya, mertua, dan Arya tidak keberatan.

     "Sansa bakal baik-baik aja." Elang tahu apa yang ada dalam pikiran Arinda. "Kita nggak lama, kok, cuma tiga hari. Mau, ya? Kakak nggak mau kamu sedih terus."

     Setelah sekali lagi berpikir, akhirnya Arinda mengangguk sambil tersenyum samar.

***

     "Piiiii."

     Sansa tersenyum senang saat melihat Arya datang, lalu berlari kecil ke arah lelaki kembaran papinya itu sambil membawa dot berisi susu. Sebelum berangkat ke Lembang pagi tadi, Elang dan Arinda membawa Sansa ke rumah Rahma untuk dititipkan. Anak itu anteng. Ia rewel hanya jika sedang merasa lapar.

     "Halo, Sansa, anak Papi yang cantik." Arya segera menghampiri sang keponakan lalu menggendongnya. "Udah mandi belum?"

     "Udah, dong." Rahma yang menjawab.

     "Pantas aja udah wangi." Arya mencium gemas pipi Sansa, setelah itu ia mencium punggung tangan Rahma. "Apa kabar, Ma?"

     "Alhamdulillah, Mama baik dan senang soalnya rumah jadi rame ada bayi ini." Rahma mengusap lembut kepala Sansa. "Semoga aja Elang dan Arinda nggak cuma tiga hari liburannya. Semoga mereka berubah pikiran dan nambah jadi seminggu, biar Sansa lama di sini nemenin Mama."

     Arya tertawa. "Nikah lagi aja, Ma, biar ada yang nemenin."

     "Ah, udah lewat. Mama udah males," balas Rahma lantas melangkah ke dapur untuk membuat teh hangat.

     Sementara itu Arya membawa Sansa ke sofa. Ia duduk di sana sambil memangku Sansa yang masih minum susu. Dari kantor ia sengaja datang ke sini atas permintaan Elang. Saudara kembarnya itu ingin Sansa selalu merasakan kehadirannya.

     "Papi mana?" Arya mengajak berbicara Sansa setelah bayi itu selesai menyusu.

     Sansa menunjuk wajah Arya dengan jari telunjuknya yang mungil.

     "Anak pintar," puji Arya lalu membawa Sansa dalam pelukan.

     Rahma kembali dari dapur dengan membawa secangkir teh hangat. Kemudian ia bergabung duduk bersama Arya. Sambil bermain bersama Sansa, mereka berbincang santai.

     Usai shalat maghrib, Arya pamit pulang. Saat ia melangkah pergi, Sansa menangis sambil merentangkan kedua tangan. Arya tak tega melihatnya. Akhirnya ia menggendong Sansa.

     "Ma, Sansa aku bawa pulang aja, ya."

     "Jangan. Udah, biarin aja Sansa di sini. Khawatir ngerepotin Sammy, apalagi Sammy lagi hamil."

     "Mama juga ikut ke sana biar makin rame."

     "Mmm ... ya udah, deh."

     Rahma berkemas kemudian pergi bersama Arya dan Sansa. Malam ini ia akan menginap di rumah anaknya itu.

     Tiba di sana, Rahma dan Sansa disambut hangat oleh Sammy. Rumah berlantai dua yang nyaman itu bertambah ramai dengan kehadiran satu lagi balita. Suara tangis dan tawa Syamsa juga Sansa membuat hidup suasana. Sansa dan Syamsa juga sama-sama senang sebab ada teman bermain, namun Sansa berubah menjadi galak saat Syamsa duduk di pangkuan Arya. Tiba-tiba saja Sansa menyerang dengan mendorong tubuh sepupunya itu.

     "Duh, Sansa cemburu ya, Nak? Yuk, Sansa sama Mami aja." Sammy yang paham Sansa menganggap Arya adalah Elang mencoba untuk mengangkat tubuh anak itu tapi gagal. Sansa tidak mau.

     Setelah didorong, Syamsa  menangis sambil mengeratkan pelukan pada papinya. Melihat itu membuat Sansa kembali menyerang Syamsa. Kali ini putri pertama Elang itu menggigit lengan Syamsa dengan gigi-giginya yang sudah berjumlah enam biji. Sontak tangisan Syamsa semakin histeris.

     Rahma segera turun tangan. Ia menggendong paksa Sansa yang juga ikut menangis histeris sebab melihat Arya sedang menenangkan Syamsa.

     "Piiiii." Sansa berteriak di gendongan Rahma.

     "Iya, Sayang," sahut Arya. "Nanti Papi gendong kamu. Gantian. Sekarang kakak Syamsa dulu."

     Arya berusaha menenangkan Syamsa agar berhenti menangis. Setelah berhasil ia memberikan anaknya itu pada Sammy, lalu ganti menggendong Sansa. Melihat hal itu, Syamsa kembali menangis. Arya menepuk dahi.

     "Sabar ya, Ya," goda Rahma.

     "Udah biasa, Ma. Dari dulu aku emang sering jadi rebutan."

     Rahma tertawa, sedangkan Sammy memutar mata.

***

    

    

    

    

    

    

    



    

    

    

    

    

    

    

    

   



    

    

Family GoalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang