Lega

9.9K 357 4
                                    


     Setelah kemarin batal, hari ini Elang baru bisa pulang ke Jakarta. Tiba di rumah ia langsung disambut oleh dua perempuan yang sangat disayanginya. Mereka adalah istri dan anaknya yang mampu merekahkan seulas senyuman di wajah lelahnya.

     "Kakak."

     Arinda langsung menghambur ke dalam pelukannya sementara Sansa yang sedang berada dalam stroller merentangkan kedua tangan. Tanda bahwa bayi itu ingin digendong. Dengan sang istri yang bergelayut di lengan, Elang melangkah menghampiri buah hatinya.

     "Sayang, Papi pulang."

     Elang menggendong Sansa yang terlihat bahagia lalu mencium kedua pipinya. "Kangen Papi, nggak?"

     "Kangen banget, Papi." Arinda yang menjawab dengan nada manja sambil memeluk Elang dari samping dan menyandarkan kepala di bahu lelaki itu.

     Elang tersenyum. Ah, ia juga kangen tingkah manja Arinda yang seperti ini.

     "Ditinggal Kakak kurang dari seminggu aja aku udah nggak sanggup nahan kangen, apalagi kalo ...."

     "Kalo apa?"

     Tiba-tiba Arinda menangis. Sambil sesunggukan ia melanjutkan, "... apalagi kalo misal kemarin Kakak naik pesawat itu dan menjadi salah satu korban."

     Tangis Arinda semakin berderai. Ia teringat tentang para penumpang pesawat tersebut, tidak ada yang selamat. Jika saja cincin pernikahan Elang tidak tertinggal, maka mungkin suaminya itu tak ada lagi di sisinya sekarang. Ditinggal kurang dari seminggu saja ia sudah rindu berat pada Elang, entah bagaimana jika lelaki itu pergi untuk selamanya.

     "By, udah, jangan nangis. Kakak kan, udah di sini dalam keadaan sehat dan utuh. Lagian malu, tuh, dilihatin Sansa."

     Bayi berambut ikal seperti sang mami itu menatap Arinda dengan mata jernih dan polosnya. Ia terlihat kebingungan lalu bibir mulai bergetar disusul kemudian suara tangisnya pecah.

     "Lho, kok, Sansa ikutan nangis? Mami nggak papa, Sayang. Cep, cep, cep ...."

     Kini Elang kewalahan menenangkan kedua perempuan yang menangis dalam dekapannya. Namun meski begitu, ia bersyukur masih bisa mendengar suara tangis   mereka mengingat apa yang terjadi kemarin. Semua memang sudah ditakdirkan tapi ia tetap merasa seperti mendapat sebuah keajaiban.

***

     Sansa sudah tidur sementara Arinda dan Elang sedang saling mengobati rindu setelah lima hari tak bertemu. Mereka duduk berdua di sofa sambil menyaksikan acara televisi yang sesekali diselingi canda tawa. Awalnya mereka berencana kencan ke luar, apalagi ini malam Minggu tapi cuaca sedang tak bersahabat, angin bertiup cukup kencang. Jadi pasangan suami istri itu memilih untuk tetap di rumah.

     "O iya, By, gimana persiapan buat acara launching butik tas kamu?" Elang bertanya saat acara tivi berganti iklan.

     "Hampir done, tinggal nyari catering yang bisa bikin tumpeng."

     "Di catering Sarah aja."

     "Siapa?"

     "Sarah."

     Posisi duduk Arinda yang semula berdempetan dengan Elang, kini berangsur menjauh. Dengan mata berapi-api ia menatap sang suami.

     "Jadi Kakak belum ngelupain dia?" Suara Arinda tenang namun menusuk.

     Elang heran. Mengapa Arinda berubah marah begitu. "Maksud kamu apa? Kakak cuma ngerekomendasiin aja, biar sekalian bantu dia juga. Sarah bikin usaha catering buat ngenafkahi anak-anaknya."

     "Kalo mau bantu, kenapa nggak Kakak nikahi aja dia?"

     "By, kamu ngomong apa sih? Ngaco!"

     "Kakak tuh, yang ngaco. Masih aja kegoda sama si mantan. Aku sebal, kesal. Kayaknya sampe kapan pun nama perempuan itu nggak bakal hilang dari hati Kakak."

     Arinda terus ngedumel sedangkan Elang malah diam saja memperhatikan sambil tersenyum. Istrinya itu tidak terlihat seram jika sedang marah, malah sebaliknya. Lucu.

     "Kakak sengaja ngerekomendasiin dia biar Kakak ada alasan buta berkomunikasi lagi sama di-"

     Arinda diam seketika sebab Elang menyumpal mulutnya dengan ciuman. Tak berhenti di situ, setelah selesai Elang langsung membopong sang istri lalu melangkah meninggalkan ruang tengah.

     "Erlangga, turunin aku!"

     Elang tak menggubris teriakan Arinda dan pukulan-pukulan istrinya itu di dadanya.

     "Aku mau dibawa ke mana? Turunin!"

     Mulut Elang tetap bungkam dan bibirnya tersenyum samar. Ia tak goyah dengan pemberontakan yang Arinda lakukan. Langkahnya tak berhenti hingga tempat tujuan : kamar.

     "Nah, udah sampe."

     Elang menurunkan Arinda di tempat tidur lalu segera mengunci pintu.

     "Erlangga! Mau ngapain kamu?"

     Arinda hendak turun dari tempat tidur tapi Elang mencegahnya dan membuat perempuan itu terbaring kembali.

     "Mau bikin kamu berhenti ngedumel."

     Lagi, Elang mempertemukan bibir mereka. Sementara Arinda sudah tak berdaya.

***

    

   



    

    

    

Family GoalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang