Daddy-Daughter Date

549 31 0
                                    

     Tidak ada yang mampu mengalahkan cinta seorang ayah pada anak perempuannya. Seperti cinta Elang pada putrinya, Sansa. Ia mencintai dan menyayangi gadis kecil berusia empat tahun itu dengan tak terbatas dan tak membutuhkan balas. Kehadiran Sansa menjadikannya seorang ayah dan baginya itu sangat luar biasa. Sansa membuatnya terus belajar bagaimana menjadi ayah yang baik, orang tua yang baik.

     Sebagai ayah yang baik, Elang berusaha untuk selalu ada saat sang anak membutuhkannya. Bahkan kadang ia membuat jadwal untuk jalan berdua saja dengan Sansa di akhir pekan. Seperti Sabtu ini. Ia mengajak Sansa ke taman kota. Di sana Sansa bisa bermain dengan anak-anak lain dan gadis kecil itu terlihat antusias, juga senang. Itu poinnya. Elang ingin putrinya belajar bersosialisasi.

     Usai puas bermain di taman kota, Elang mengajak Sansa ke kedai es krim. Tentu saja Sansa dua kali lebih semangat dan senang. Apalagi Elang memberinya kebebasan untuk memilih varian es krim yang akan dinikmati. Sengaja ia melakukannya karena sudah lama Sansa tak diizinkan makan es krim.

     "Makasih, Papi, udah bolehin Sansa makan es kim," ucap Sansa yang masih belum bisa menyebut huruf 'R'.

     Elang tersenyum. Tangannya mengusap lembut kepala Sansa. "Sama-sama, Sayang." Kemudian ia membersihkan sekitar bibir putrinya yang belepotan es krim.

     "Papi."

     "Ya, Nak."

     "Sansa boleh beli es kim lagi?"

     Baru saja Elang akan menjawab, tapi gadis kecil itu segera melanjutkan, "Buat Mami."

     "Beneran buat Mami?" Elang curiga.

     "Nanti Sansa minta dikiiiiiiit ke Mami."

     Sontak Elang tertawa, kemudian mencium gemas kedua pipi Sansa. Cerdas sekali anaknya itu. Namun ia tetap tak mengabulkan permintaan si gadis kecil.

     Untuk tempat terakhir, Elang membawa Sansa ke toko buku. Sansa selalu suka saat ia membacakan buku cerita. Jadi ia ingin beli beberapa buku cerita lagi. Sama seperti tadi, ia membebaskan sang putri memilih buku cerita yang diinginkan. Selain buku cerita, Sansa juga meminta dibelikan buku mewarnai.

     Ayah dan anak itu berjalan sambil saling menggenggam tangan. Mereka menyusuri rak-rak yang memamerkan berbagai buku. Tak hanya buku untuk Sansa, Elang pun ingin membeli buku untuk dirinya sendiri. Ia memang gemar membaca. Ketika sampai di ujung lorong rak, mereka berpapasan dengan seseorang. Perempuan berkerudung hitam.

     "Sarah."

     Perempuan itu menoleh. "Er."

     Mereka mendekat, lalu saling berbasa-basi bertanya mengenai kabar dan sebagainya. Dari basa-basi itu Elang mendapat informasi bahwa Sarah masih mengajar sebagai dosen dan sedang menyusun disertasi. Mantan kekasihnya itu pun menanyakan kabar Arinda. Ia menjawab istrinya baik dan tengah mengandung.

     "Ini ceritanya saya lagi kencan sama dia," jelas Elang sambil tersenyum, kemudian melirik Sansa di sampingnya. "Jadi berdua aja. Maminya enggak diajak," sambungnya, lantas menyuruh Sansa untuk salim pada Sarah. Sansa menurut.

     Dengan senang hati Sarah memberikan tangan kanannya pada putri kecil sang mantan untuk dicium. Setelahnya ia berjongkok untuk menyejajari tinggi Sansa. "Hai, Cantik," sapanya ramah dan tak lupa memamerkan senyuman tulus. "Namamu siapa, Sayang?"

     "Sansa Ava Elangga." Anak itu selalu menyebutkan nama lengkapnya tiap kali ada yang menanyakan namanya. "Nama Tante siapa?"

     "Nama Tante Sarah."

     "Tante Saah."

     "Iya. Tante temen papi Sansa. Temen mami Sansa juga."

     Sansa mengangguk-angguk. Sementara Sarah tak tahan ingin mencium pipi putih kemerahan itu. Menggemaskan. "Sansa mau punya adik, ya?"

     "Iya, tapi masih ada di peut Mami."

     "Sayang, Tante boleh cium pipi Sansa?"

     Sansa tak langsung menjawab. Ia mendongak, melihat Elang untuk meminta pendapat. Elang mengangguk.

     "Boleh, Tante."

     Senyum Sarah semakin merekah. Tanpa menyia-nyiakan waktu dan kesempatan, ia daratkan bibirnya di pipi kanan dan kiri Sansa. Kemudian ia mengusap lembut pipi kanan gadis cilik itu. "Makasih, Sayang," ucapnya.

     "Sama-sama, Tante."

     Akhirnya mereka berpisah. Tak lupa sebelumnya Sarah menitipkan salam untuk Arinda pada Elang. Sarah lanjut mencari buku referensi untuk disertasinya, sementara Elang asyik melihat-lihat buku-buku tentang parenting Islam. Setelah mendapat buku yang menarik, Elang dan Sansa menuju kasir, kemudian pulang.

     "Mamiiiiii."

     Keluar dari mobil, Sansa berlari menuju Arinda yang tengah berdiri di teras menyambut kedatangan suami dan anaknya. Baru beberapa jam ditinggal jalan-jalan Sansa, ibu hamil itu sudah rindu pada si anak sulung.

     "Sayaaaaang." Arinda memeluk putrinya. "Abis jalan-jalan ke mana aja, nih, anak Mami?"

     Sansa berceloteh riang menceritakan tempat-tempat yang dikunjungi serta melakukan apa saja saat jalan-jalan tadi. Ia pun bercerita pertemuannya dengan Sarah.

     "Tante Sarah?" ulang Arinda. Matanya melirik tajam pada Elang yang baru bergabung bersama mereka. "Sarah yang itu? Your ex?" ketusnya untuk memastikan.

     "Iya. Dia titip salam buat kamu," Elang menjawab, lantas segera masuk. Ia menduga sesuatu yang buruk bakal terjadi padanya. Bersiaplah.

     "Senangnya yang abis ketemu mantan."

     Nah, kan. Sesuai prediksi.

     Elang mengabaikan. Ia tetap melanjutkan melepas kaus berkerah yang tadi dipakai jalan-jalan. Kini ia sudah berada di dalam kamar.

     "... apalagi sampai ciuman. Seneng banget pasti."

     "Apa? Astaghfirullah."

     Kali ini Elang tidak abai. Ia terkejut dan heran dengan ucapan Arinda. Ciuman? Kenapa istrinya bisa berpikir seperti itu? Ia dekati Arinda.

     "Iya, Sansa bilang tadi Kak Sarah cium pipinya. Sedangkan sebelumnya pipi Sansa abis dicium Kakak."

     "Astaga! Gara-gara itu?" Elang tak habis pikir.

     Tiba-tiba air mata Arinda mengalir begitu saja. Elang segera mendekati sang istri, lantas membawanya dalam dekapan.

     "Kakak jahat. Kakak tega." Arinda sesenggukan. Tangannya mencubit-cubit kecil punggung Elang yang terbuka.

     Elang diam saja. Ia pasrah dituduh dan disakiti punggungnya. Percuma memberi penjelasan. Lebih baik ia menenangkan Arinda dengan cara mengusap-usap punggung perempuan berperut buncit itu.

     "Kakak, kok diem aja? Berarti Kakak mengiyakan kalo Kakak ciuman sama Kak Sarah. Kenapa sih, Kakak harus ketemu sama Kak Sarah? Pasti kalian CLBK ...."

     Arinda semakin melantur. Saatnya Elang beraksi. Lelaki itu melelaskan dekapannya, kemudian menatap mata sang istri sambil tangannya membersihkan sisa air mata di pipi.

     "Yang kamu bilang itu bukan ciuman, Sayang," ujar Elang lembut. "Ciuman itu gini ...."

     Selanjutnya bibir mereka saling menyentuh.

***
    
    
    
    
    
    
    
    
   
    
    
    
    
    
    
    

    

Family GoalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang