Bab 2 : RHEU

12K 887 8
                                    

Rudolf, omega itu menciumi Louis dengan mesra di depanku sesaat sebelum Louis berangkat ke kantor. Aku melirik mereka takut-takut sembari mengusap darah di ujung bibirku. Sesaat kemudian Rudolf tersenyum dan menggandeng tangan Louis, ia lalu mengantarkan suaminya sampai ke teras depan, melambaikan tangannya pada mobil Ferari merah itu melaju meninggalkan kediaman Axelsen. Rudolf masuk kembali ke rumah dan bergegas menuju lantai dua, membangunkan anak laki-lakinya bernama Rheu yang berusia tiga tahun.

Rudolf kemudian memanggil manajernya yang sudah menunggunya di ruang tamu untuk mempersiapkan kelengkapan untuk syuting di lokasi yang kebetulan mulai memasuki musim dingin. Ya, Rudolf merupakan seorang aktor sekaligus penyanyi solo yang terkenal. Aku sering melihat di layar iklan yang dipasang di pinggir jalan, terpampang wajahnya yang indah dan menawan sambil memegang botol parfum atau kosmetik yang ditawarkan.

Aku kemudian lekas bangkit berdiri, membenahi kacamataku. Aku bersyukur kacamata pemberian ayah terakhir kalinya sebelum beliau meninggal dunia ini tidak rusak atau retak. Aku kemudian beranjak dari meja makan itu menuju ke dapur, mengikatkan appron berwarna hijau lusuh, bergambar bunga matahari kecil-kecil itu di belakang punggungku. Pertama-tama aku mempersiapkan susu formula yang aku taruh di dalam dot besar untuk Rheu. Aku mengambil beberapa sendok susu sesuai takaran, memasukkannya kedalam dot lalu diberi air hangat, dan dikocok. Tidak lupa setelah itu, dengan cekatan aku mengambil satu set cangkir dan teko antik dari porselen berwarna biru tua serta bunga chamomile organik untuk diseduh. Setelah minum siap, aku mulai mengambil telur dan beberapa lembar roti tawar. Ku lubangi roti itu, lalu kumasukkan telur dan di goreng menggunakan mentega hingga membentuk roti dan telur mata sapi yang matang dengan sempurna. Setelah itu, aku menaruhnya kedalam piring dan segera menempatkannya di meja makan. Rheu sering makan bubur tim di pagi hari, maka dari itu aku langung bergegas mengambil sayur-mayur di dalam kulkas yang dibutuhkan untuk membuat bubur tim dan beberapa potong daging ayam. Ketika semua bahan telah tercincang dengan halus, aku buru-buru memasukkannya ke panci membumbuinya lalu menunggunya hingga masak hingga teksturnya menjadi lembut.

Ketika aku sibuk mengaduk bubur, aku mendengar bunyi beberapa langkah kaki hingga aku pun menengok ke belakang sebentar. Terlihat dari kejauhan Rudolf dan putranya. Rheu berjalan menuju meja makan dengan riang gembira menunggu masakan sederhanaku.

"Pe....Pe Eu au maam (Pe, Rheu mau makan)," ucap Rheu yang girang ketika sudah bertemu denganku.

Aku tersenyum, kemudian meninggalkan panci sebentar lalu mengambil susu dan menyodorkan dot susu itu kepadanya.

"Peii, bulbul Eu mana? (Pei, bubur Rheu mana?)" ucap Rheu yang cemberut ketika ku berikan satu botol dot itu. Ia ternyata meminta bubur tim.

"Sebentar ya Rheu, buburnya hampir matang," kataku bergegas menuju ke panci dan mulai mengaduk kembali. Aku melirik Rudolf yang masih sibuk menelepon seseorang dengan serius sehingga mengabaikan anaknya.

Pagi ini, Rudolf terlihat sangat marah di telepon. Ia beberapa kali berteriak dan memarahi orang di seberang telepon yang sepertinya seorang asisten sutradara. Manajer yang datang sangat pagi-pagi di kediaman Axelsen kewalahan menangani aktornya itu.

"Dasar bodoh! Cuaca sudah turun dan aku harus syuting adegan kolam renang? Apa kau gila?"

Manajernya memegangi pundak Rudolf mencoba menenangkannya, "Iya...iya tapi itu kemauan sutradara, kau harus profesional. Kami juga sudah menyiapkan tempat onsen dan beberapa obat-obatan jika memang di perlukan."

Rudolf mendengus kesal kemudian membanting ponselnya ke lantai, "Aku tidak mau! Suruh pemeran penggati saja gampang." Ia kemudian segera mengambil tempat duduk di meja makan, kemudian duduk disamping putranya.

"Maa.... Eu mau endong? (Ma, Rheu mau gendong)" Mata Rheu berkaca-kaca meminta perhatian dari ibunya.

Rudolf berdecak kesal, dan tetap sibuk sendiri. Ia menyuruh manajernya mengambil lagi ponselnya. Ia mengetuk-etuk ponsel itu hingga menyala lalu sibuk lagi dengan benda kotak itu.

"Maaa....Eu mau endong! " ujar Rheu yang merengek-rengek dan menangis sambil menarik-narik lengan ibunya.

Amarah Rudolf memuncak ia kemudian menepis nya dan menjewer kuping putranya.

"Berisik Nak, tolong mengertilah ibumu sedang banyak pekerjaan!"

Bibir Rheu melengkung menahan sakit, sedetik kemudian ia menangis sejadi-jadinya hingga memenuhi ruangan.

Aku buru-buru menaruh bubur tim matang yang masih panas itu kedalam mangkuk yang biasanya untuk Rheu makan, kemudian bergegas menuju ke meja makan.

"Pembantu! Ah sialan, tolong urusi anak itu. Aku akan pergi setelah menyelesaikan minum tehku." Rudolf seakan tidak peduli, ia mengambil cangkir dan menyodorkannya ke arahku. Aku buru-buru menuangkan teh chamomile itu kedalamnya.

Rudolf, omega itu bisa-bisanya minum dengan anggun tanpa mempedulikan anaknya yang rewel.

"Maa.... Eu mau Maa.." ucap Rheu kepadaku sambil membuang botol dot susu yang sudah kubuat dengan susah payah.

"Rheu dengan Pei saja ya, nanti Pei suapi." Aku mencoba menenangkan Rheu, namun Rheu ternyata menginginkan perhatian dari ibunya. Ia benar-benar menolakku. Rheu beranjak dari kursinya, turun perlahan-lahan karena kakinya yang masih pendek dan tubuhnya yang gempal tidak dapat menjangkau lantai. Ia kemudian menarik-narik celana yang dikenakan Rudolf.

Rudolf memutar matanya kesal, akhirnya ia menggendong putranya itu. Rheu tampak sangat senang dan memeluk ibunya dengan erat. Aku menggegam mangkuk yang berisi bubur tim itu kemudian berjalan di belakang Rudolf. Ada rasa tidak nyaman di hatiku entah kenapa. Buru-buru ku tepis perasaan itu, kemudian mengaduk bubur tim di mangkok yang ku bawa.

"Rheu, ayo makan, aaa...." Aku menyedokkan bubur tim yang sambil ku tiup agar tidak panas.

Akhirnya, Rheu mau melahap bubur timku dengan sedikit belepotan. Raut wajahnya riang menatapku dengan cerah, membuatku yang selalu terlihat menyedihkan merasa sedikit senang. Tiba-tiba Rudolf menurunkan putranya kemudian menatap ke arahku, "Pembantu, tolong jaga dia. Aku segera pergi ke tempat kerja." singkat Rudolf kemudian bergegas pergi dengan manajernya.

"Ba...baik Tuan Rudolf," kataku sambil mengangguk canggung.

Mata Rheu mulai berkaca-kaca lagi, ia kemudian berlari menyusul ibunya sampai ke ruang tamu kemudian hendak keluar menuju mobil yang sudah siap di depan. Aku langsung menghentikan langkah bocah itu.

"Rheu, kita makan dulu yuk di belakang sambil jalan-jalan dan bermain dengan Meo," ucapku sambil memegangi salah satu tangannya.

"Meo?" Rheu memiringkan kepalanya, kemudian matanya kembali cerah.

Aku mengangguk. Ku tuntun ia kebelakang rumah mewah milik keluarga Axelsen. Rheu berjingkrak kegirangan hingga lupa dengan keinginannya untuk ikut dengan ibunya.

****

[BL ABO] All The Lonely HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang