Bab 13 : Akhirnya Pergi

11.4K 846 9
                                    

"Badai salju kemungkinan akan turun kembali di Centraltown. Harap para pengemudi kendaraan waspada, karena jarak pandang yang pendek dan licin. Selalu patuhi aturan berlalu lintas agar selamat sampai tujuan. Sekian informasi dari Radio New. "

Ku usap jendela kaca mobil itu dengan tanganku. Hujan salju mulai turun semakin lebat memenuhi jalanan kota. Ku lirik Ben dengan mataku yang buram.

"Kau lapar Maple?" Ben tiba-tiba berkata kepadaku.

"Tidak, a...aku hanya ingin kita segera sampai tujuan."

"Oh," Terlihat Ben mengangguk diikuti seringainya diam-diam sambil memandangi spion dalam mobil itu. Ia memang sengaja mengarahkannya tepat ke kursi milik Maple agar ia dapat melihat adik iparnya itu dengan puas.

🦋🍁🦋

Mobil Porsche abu-abu itu akhirnya tiba di kediaman Louis yang cukup besar dan megah itu. Hati Maple berdegup kencang, karena ia tahu hubungan kakak beradik bukan kandung ini cukup rumit dan tidak akur. Ia takut akan terjadi pertengkaran hebat nantinya hingga tak sadar ia melamun cukup lama. Tiba-tiba tangan Ben yang hangat menyentuh wajah Maple yang dingin dan halus. Maple terkejut kemudian menepis tangan Ben.

"Sudah sampai adik ipar," ucap Ben seraya membuka mobil. Ia turun terlebih dahulu kemudian membukakan pintu untuk Maple.

Suara bunyi bel pintu di pencet beberapa kali, hingga muncul sosok asisten Louis dari balik pintu tinggi itu. Ia cukup terkejut melihat  Maple dan Ben berdiri di depan sudah pintu rumah. Asisten itu dengan setengah berlari menuju lantai dua untuk menemui Louis.

"Tuan Louis, a..anu ada tamu!"

Di kamar dengan tembok lukisan bunga-bunga itu, Louis dan Rudolf bersender pada dipan sambil bercengkrama. Mereka berdua terlihat beberapa kali tertawa.
Louis yang sedang membelai rambut Rudolf itu tampak terkejut, karena asistennya datang terengah-engah ke kamar Rudolf tanpa mengetuknya terlebih dahulu.

"Tamu?" kata Louis berbalik dan memandangi asisten itu sambil menaikkan salah satu alisnya.

"Ia bersama Tuan Maple!" ucap asisten Louis sembari mengusap peluhnya.

Louis bergegas menyibak selimutnya. Ia kemudian buru-buru mengenakan mantelnya dan turun dari lantai dua mengikuti asistennya. Namun disi lain Rudolf tampak kesal karena ditinggal suaminya begitu saja.

🦋🍁🦋

"Hello brother," ucap Ben seraya memasukkan tangannya ke dalam mantel kulitnya. Ia menyeringai kepada Louis.

Wajah Louis seketika menjadi pucat, ia terlihat beberapa kali menelan ludahnya dan memalingkan wajahnya, enggan menatap Ben. Louis tidak kalah terkejut, dan membeku ketika melihat Maple bersama kakak asuhnya.

"Maple! Kau, kenapa bisa bersama orang ini, hah!" Tegas Louis, ia menggoncangkan pundak Maple dengan kasar.

Ben menatap mereka berdua, kemudian melerainya.

"Mulai sekarang, Tuan Maple akan tinggal bersama saya. Brother tidak punya hak lagi untuk memilikinya. " kata Ben sembari tersenyum dengan lebar.

"Apa! Dia istriku! Kenapa kau berani macam-macam, hah! Kau sudah merebut warisan ayah, dan sekarang... " ucap Louis geram sambil melirik Maple.

Maple sendiri hanya menunduk, tidak berani menatap mereka berdua.

(Ben mencibir Louis) .

"Ups, kau lupa? Surat perceraian kalian kan sudah ditangan ayah tadi pagi dan Maple sudah menandatanganinya. Aku bermaksud baik pada adik iparku ini. Yah, aku hanya ingin memberikannya tempat bernaung saja. Hehe. " Ben kemudian tertawa cekikikan.

Maple yang melihat Ben sedikit bergidik ngeri. Kelakuan lelaki itu tidak dapat di prediksi.

"Aku belum menandatangani surat cerai itu! Aku mengurungkan niatku! Kenapa kau memutuskan bahwa aku sudah menceraikannya?!" Louis memukul pintu tinggi itu dengan kepalan tangan kanannya. Raut wajahnya memerah dan otot lehernya mulai terlihat. Sorot mata Louis terlihat seperti serigala yang menemui seekor musuh yang memasuki wilayahnya. Dengan samar-samar, kabut hitam dan keungan muncul dari mereka berdua. Kabut tipis warna ungu milik Ben berbau sangat tajam. Bau whiskey dengan hint cinnamon cukup mencolok. Sedangkan kabut tipis warna hitam milik Louis berbau musk, sedikit bau hujan, dengan bau khas kayu agarwood yang lebih menonjol.

Asisten Louis, yang merupakan seorang alpha resesif dengan bau feromon rendah, tiba-tiba mual-mual merasakan dua kekuatan alpha dominan.

Bau dari feromon mereka berdua lantas menyebar sampai ke lantai dua, dimana Rudolf sedang tidur. Rudolf seketika bangun dari kasurnya, sesaat setelah mencium bau feromon kuat yang bercampur antara keduanya.

"Sialan, uh feromon siapa ini?! " ucap Rudolf  berjalan ke meja riasnya, mengambil beberapa obat penekan heat. Ia kemudian memakai choker omega di lehernya dan memakai mantel bulu berwarna pink. Rudolf segera  turun dari lantai atas sembari menutup hidungnya.

"Ada apa ini! Ada omega disini, bisakah kondisikan feromonnya? Tidak sopan mengeluarkan feromon sembarangan di rumah orang lain dan mengganggu ketenangan orang!" Rudolf mencak-mencak.

Ia kemudian menghampiri Louis, betapa terkejutnya ketika melihat Maple datang berasama Ben.

"Apa-apaan ini!" Teriak Rudolf.

"Diamlah! " Bentak Louis kepada Rudolf.

Wajah Rudolf bergerak-gerak tidak terima, ia hendak memukul Maple, namun di cegah oleh Ben.

"Aku disini, hanya ingin mengambil beberapa barang milik Maple. Ia sudah menandatangani surat perceraian yang disetujui oleh Ayah. Tolong Tuan, permisi." ucap Ben dengan serius, tatapannya mengintimidasi Rudolf sehingga ia tidak dapat berkutik.

Ben menyelonong masuk ke rumah mewah itu, sembari mengulurkan tangannya. " Ayo Maple, kau harus berkemas, hari sudah mulai malam, badai salju kemungkinan akan turun sebentar lagi."

Maple menatap sekilas Louis. Dengan samar ia merasakan  raut kekecewaan dari wajah Louis.

"Maple," panggil Louis dengan lirih.

Maple menengok kebelakang sekilas, menatap wajah Louis yang samar. Ia sama sekali tidak bisa melihat apakah Louis sedang marah, atau sedih. Maple segera menggapai tangan Ben, kemudian memegangnya dengan erat.

"Pegang lenganku, Maple. " ucap Ben sambil meraba tangan Maple dan meletakkannya di lengannya. Hal ini menjadikan tubuh Maple benar-benar menempel dengan lengan Ben.

🦋🍁🦋

"Peii, Peii angan ergii!" Rheu sudah bangun dari tidurnya. Ia dengan tergopoh-gopoh berlari. Kaki kecilnya menapaki anak tangga yang baginya cukup banyak itu. Berulang kali bocah gempal itu memanggil namanya.

Bocah itu menangis sejadi-jadinya, mencoba mengikuti Maple yang sedari tadi menghiraukannya. Maple benar-benar meninggalkannya tanpa berpamitan, hingga akhirnya Rheu rewel dan terpaksa digendong oleh Louis. Keluarga kecil itu menyaksikan Maple yang membawa pet cargo di tangan kirinya, dan Ben membawa koper lusuh itu memasukannya ke dalam bagasi mobil.

"Peiii,,, Peiii  dengar Euu! Maaaf jika Eu salaah, Peii angan egii, Eu janji engga nacal! ( Pei, Pei, dengar Rheu! maaf jika Rheu salah, Pei jangan pergi  Rheu janji engga akan nacal lagi!)"

Rheu menangis dan berteriak dengan keras, namun Maple dengan berat hati memilih menghiraukan bocah itu.

Sedangkan Louis menatap hampa ke arah mobil. Entah kenapa di hatinya merasakan sesuatu hal yang hilang.

Bibir Maple bergetar, dan matanya berlinang. Ia memalingkan wajahnya dan menutup telinganya rapat-rapat enggan mendengar teriakan Rheu.

"Maple, siap untuk pergi?"  ucap Ben seraya menutup pintu mobil  Porsche itu.

Maple menghela napasnya, kemudian mengusap pipinya yang penuh dengan air mata.

"Ya, mari kita pergi dari sini."

****

[BL ABO] All The Lonely HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang