Bab 12 : Aku Sudah Terbiasa

9.2K 789 7
                                    

Ben tersenyum lebar. Ia terlihat sangar karena memakai tindik di telinga dan wajahnya. Ia juga memakai pakaian serba hitam kecuali syalnya yang brwarna merah. Ben terlihat tertarik dengan Maple. Ia terus memperhatikan Maple, karena baginya adik iparnya itu menggemaskan.

Tiba-tiba Ben tidak sadar lalu mencubit pipi kiri Maple.

Hati Ben tiba-tiba berdesir ketika melihat muka adik iparnya itu yang memerah seperti buah peach karena bekas cubitan itu.

🦋🍁🦋

Aku menepis tangan Ben yang sembarangan mencubit pipiku. Aku menjadi merasa sangat kesal dengannya.

Dengan samar kulihat Ben sedang tertawa menampakkan gigi putihnya melihat ke arahku.
"Mari adik ipar, kita kerumahmu sekarang! Kita ambil barang-barang mu disana. " ucap Ben dengan sumringah.

Aku mengrenyitkan dahiku terkejut.
"Apa?! Ti.. tidak usah Tuan Ben.. Saya takut merepotkan anda, apalagi jika Louis menegerti masalah ini, akan menjadi rumit. Saya tak masalah mencari tempat singgah sendiri, saya sudah terbiasa. " ucapku menunduk, enggan menatap wajah Ben.

Ben melihat ke sekeliling lalu memainkan jari-jarinya. Sepertinya ia tidak mendengarkan ucapanku. Namun tiba-tiba, ia menggandeng dan menyeret tanganku hingga kami keluar dari toko optik.

"Woah! Tuan Ben! Tolong lepaskan saya, saya bisa jalan sendiri." ucapku.

Ben tersenyum sontak melepaskan tangannya.

Tubuhku yang terlepas tiba-tiba menjadi tak seimbang dengan pandanganku yang buram. Aku mencoba mencari sebuah benda untuk berpegangan karena panik. Hingga akhrinya aku tak sengaja menubruk seseorang di di sampingku dan aku jatuh tersungkur.

"Hei, hati-hati! Kalau berjalan pakai mata! " ucap pejalan kaki yang tidak sengaja ku tabrak.

"Maaf-.. " Kata-kata ku terhenti.

Pejalan kaki barusan mendekatiku dam mengamati kedua bola mataku yang terlihat berbeda. Ia tiba-tiba teringat pada seseorang yang dulu duduk di bangku SMU.

"Aha! Ternyata kau si mata bajak laut!" ucapnya.

Aku terkejut dan kaget, dari mataku sebelah kanan aku hanya bisa melihatnya menggunakan jaket dengan warna kemerahan.
Aku mundur perlahan, tubuhku gemetaran berusaha untuk bangkit.

"Wah, bagaimana kabarmu, Bajak Laut? ahaha... Ups, sayang sekali aku tidak bisa bermain denganmu lagi."

"Si.. Siapa kau!"

Pejalan kaki itu menyeringai dan mendekatiku, tiba-tiba ia melayangkan tamparan ke wajahku, "Sialan! Aku, Liam. Masa tidak ingat? Bukankah kita dulu melakukan hal-hal seru! Aku ingin sekali menjadikanmu kantong samsakku lagi, hahaha!"

Deg!

Hatiku tiba-tiba berdegup kencang ketika mendengar namanya. Dia adalah nama seorang pembully sesaat setelah aku sembuh dari kecelakaan itu. Dia juga yang sejak dulu memiliki rasa iri denganku, sehingga ia menjatuhkan ku ketika aku sudah tidak sempurna dan miskin.

Ben mendengus kesal, ia kemudian meninju salah satu mata Liam dengan sangat keras.

Liam berteriak kesakitan disertai matanya yang membengkak besar dan kebiruan. Ben tampak tersenyum kegirangan, ia kemudian meninju lagi pipi kanan milik Liam. Hingga seluruh wajahnya bonyok dipenuhi darah. Raungan minta tolong mengundang perhatian orang-orang. Mereka sedikit demi sedikit berdatangan untuk melihat kejadian tersebut.

Aku masih dalam posisi menekuk kedua lututku dan perpegangan dengan tiang lampu di tepi jalan. Aku mulai merasakan banyak masa yang mengelilingi kami dan melihat, seakan hal yang dilakukan Ben adalah sebuah pertunjukan.

"Hey ladies and gentleman, lihatlah dia pembully adik iparku, ini bukti videonya!" ucap Ben seraya memperlihatkan cuplikan video ketika aku ditampar. Ben tertawa cekikian penuh dengan kemenangan.

🍁🦋🍁

"Tuan Ben, jangan lakukan itu lagi. Berbahaya jika keluarga Axelsen mengetahui kejadian ini." Ucapku sambil kedua tanganku berpegangan dengan lengan Ben.

Ben melengkungkan mulutnya seperti mencibirku.

"Aku tidak peduli. Toh, aku bukan bagian dari keluarga kandung. Kehidupanku yang asli lebih keras dibanding keluarga kaya raya ini." ucap Ben terkekeh.

Aku menghela napasku. Sebagian rambut, kuturunkan menutupi mataku
agar tidak terlihat. Aku malu memiliki mata yang tidak sempurna ini.

Aku berjalan beriringan dengan Ben, sedikit menunduk dan mempererat mantelku. Memang benar katanya, udara sudah mulai terasa dingin. Aku harus cepat-cepat pergi kerumah Louis dan mengambil Meo dari sana. Aku juga ingin berpamitan dengan Rheu. Hatiku merasa sedih, dan sedikit khawatir jika nantinya tidak ada yang membuatkannya bubur tim kesukaanya lagi.

"Maple?" ucap Ben membuyarkan lamunanku.

"Eh, ya?!" ucapku terkejut ketika Ben mengendus wajahku. Ku pikir ia memiliki sikap yang aneh daripada Louis.

"Hmm... Apakah kau tidak apa-apa?" ucap Ben sesaat kemudian sambil menyentuh wajahku.

Aku tersenyum canggung. "Tidak apa-apa Tuan Ben, tenanglah. Aku sudah terbiasa."

Ucapku sembari menepis tangannya.

****

[BL ABO] All The Lonely HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang