Hikmah

14 2 0
                                    


Beberapa bulan yang berat telah berlalu kini saatnya melangkahkan kaki pada anak tangga berikutnya, mau tidak mau kehidupan mendorong kita untuk terus naik, sampai menemukan ruang untuk menetap. Suara isak tangis Fiony telah berganti menjadi senyum kecut, dia telah belajar banyak hal mengenai kehidupan.

Fiony berdiri mengenakan rok merah dan baju putih, dia menghela nafas panjang untuk melawan kembali perasaan takut yang masih menggeliat, dengan perlahan kaki mungilnya bergegas. Di sebelahnya ada Katrine menggenggam jemari Fiony dengan begitu erat, Katrine tersenyum dengan begitu tulus seperti berisyarat untuk tetap semangat.

"Lo bisa kok ngelewatin ini, gue percaya sama Fiony," ucap Katrine sambil menepuk pelan pundak Fiony.

Katrine mencium tangan ibunya, lalu berjalan ke kanan menuju kelas 5 sedangkan Fiony berjalan menuju ruang kepala sekolah bersama ibu Sri, kemudian mereka ke kelas 3, Steven hari ini tidak ke sekolah karena harus ikut terapis. Suasana terasa agak sedikit familiar, ruang kelas yang riuh dengan bisikan-bisikan kecil menunjuk ke arah murid baru yang diajak masuk oleh wali kelas. Terlihat kursi dan meja kayu yang mulai keropos termakan usia, dinding tersusun dari kayu, dan lantai dibalut semen. Ibu guru berdiri di depan papan tulis kayu berwarna hitam, senyum manis wali kelas yang mengenakan kerudung dan baju pegawai negeri sipil.

"Ini teman baru kalian namanya Fiony Dinda Putri,"

"Ih, ketemu dimana ibu guru. Kok mukanya kayak orang hutan sih ?" cetus salah satu anak.

Bermula dari celetukan kecil membuat riuh sekelas, mereka berbisik-bisik mengenai fisik Fiony. Bisikan itu dapat terdengar dengan jelas ditelinga Fiony, gadis kecil itu menarik nafas dalam-dalam untuk menahan rasa sedih dan kesalnya. Kemudian siswa sekelas mulai terlihat jijik dan mengatai Fiony dengan frontal, " Ih, monyet."

"Hentikan ! Fiony sama seperti kalian, dia manusia. Tuhan kasih dia spesial makanya engga sama kayak kalian, bagaimanapun kalian harus belajar menghargai, Allah tidak suka dengan sifat seperti itu." Cetus wanita itu menghentikan semua keramaian.

Fiony duduk di bangku paling belakang, tidak ada seorangpun yang ingin duduk di sebelahnya. Rasa diasingkan kembali bergeming, rasa tidak pantas dan tidak layak menggerogoti seluruh pikirannya. Sampai bel istirahat pertama membuyarkan segala lamunan Fiony, semua anak-anak sibuk saling berbincang dan bertukar bekal makan siang, Fiony hanya mencoba menenggelamkan kepalanya pada tangan yang dilipat diatas meja.

"Steven, hai." Sapa orang-orang yang ada di dalam kelas, tampaknya mereka semua mengenal Steven, sedangkan anak itu hanya tersenyum tipis menuju bangku Fiony.

"FIONY KU, LO UDAH SEKOLAH," teriak Steven menuju meja Fiony, sontak semua orang kaget melihat sifat Steven yang mendadak menjadi sangat ceria tersebut.

Fiony terkejut, sontak mengangkat kepalanya melihat ke arah sumber suara tersebut, seketika bibirnya tersenyum lebar melihat kedatangan Steven, semua anak menatap ke arah mereka berdua. Steven spontan langsung mencubit pipi Fiony, setelah melepasnya dia membelai rambut Fiony, dahi Steven berkerut memperhatikan bola mata Fiony yang terlihat berair.

Steven meletakkan tangannya pada bahu Fiony, "jangan menangis, lo harus kuat."

Mata coklat Steven menyipit melirik ke kanan dan kiri, "ada yang berani ganggu Fiony dan bikin dia nangis, nanti habis dikasih pelajaran sama Steven, awas ada yang berani macam-macam !"

Seketika anak sekelas memasang wajah terkejut, begitu pula dengan Fiony, melihat reaksi orang-orang membuatnya menjadi ingin tahu sebenarnya siapa Steven, kenapa semua orang merasa takjub dan juga takut kepadanya. Tanpa aba-aba Steven menarik tangan Fiony berjalan menuju ke kantin, disana Fiony melihat teman-teman yang telah dikenalnya. Steven membelikan makanan dan minuman untuk teman-temannya, Katrin berjalan lalu melihat adiknya tengah duduk dengan Steven dan teman-temannya.

Skizofrenia : Sinking de HumanityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang