2

6.4K 1.6K 180
                                    

2 SCdHP

Makan siang yang seharusnya menjadi saat Janjian buat Hakim menemui keluarganya, kemudian berubah saat Pak Didin, sopir istrinya, menelepon dengan nada panik. Hakim sendiri sedianya baru selesai berkirim pesan dengan ibunya, mengabarkan bahwa tidak lama lagi dia akan berangkat menuju rumah ibunya, sedang saat ini, dia masih berada di hotel yang sama dengan tempat resepsi pernikahan antara dirinya dan Yasinta kemarin diselenggarakan. 

"Iya, kenapa Pak Didin?"

"Anu, Mas Hakim, Neng Yasi kecelakaan di perpus." suara gugup Pak Didin terdengar dan Hakim terpaksa mengerutkan dahi saat mendengarnya.

"Kecelakaan gimana? Dia, kan, cuma duduk-duduk doang di perpus?"

Hakim berdiri dari sisi tempat tidur dan dia berjalan menuju jendela. Disibaknya gorden yang menampakkan langit Jakarta siang itu. Suasana jalanan di hari Senin masih ramai, sekalipun matahari sedang berada tepat di puncak kepala. Tapi, gara-gara Yasinta, dia merasa seperti matahari telah diletakkan dj atas kepalanya sendiri.

"Itu, soalnya nolongin Neng Anno, ketiban … "

"Anno siapa?" 

"Anak yang senang sama Neng Yasi." 

Anak yang senang dengan Yasinta? Hakim sampai mendengus mendengarnya. Siapa, sih, yang rela berlama-lama dengan wanita singa itu? Memikirkannya saja sudah membuat kepala Hakim berdenyut-denyut. 

"Ya, sudah. Saya ke sana sekarang. Bapak tolong bantu bawa dia … "

"Anu, Mas, sudah dibawa sama Mas Rafli."

"Siapa lagi itu Mas Rafli?" 

Hakim baru saja hendak memutuskan sambungan ketika Pak Didin menyebutkan sebuah nama lain yang asing di telinganya. 

"Itu, papanya Neng Anno." 

"Ya, sudah. Susul saja. Ibu bisa ribut kalau tahu menantunya nggak jadi datang dan bilang kalau saya yang membuat-buat alasan." 

Sambungan telepon terputus ketika Pak Didin mengatakan dia akan segera berangkat menuju rumah sakit. Sedangkan, Hakim sendiri masih memandangi layar ponsel miliknya, setelah dia mendapati satu pesan dari Sarina.

Mas, doakan Adek. Semoga pengajuan penelitian ini diterima dan bisa melanjutkan S3 dengan lancar.

Hakim membalas pesan tersebut dengan ucapan Aamiin dan kemudian dia menonaktifkan layar. Hakim lantas bergerak ke arah nakas dan mengambil kunci mobil miliknya. Koper Yasinta masih berada di samping tempat tidur yang posisinya acak-acakan. Saat melihatnya, Hakim mengusap pelipis. 

Tidur kayak kebo. Kalau petugas room service lihat, pastilah mereka menyangka kita habis perang malam pertama. Nggak tahunya, si gila itu tidur kayak orang nggak pernah nemu kasur hotel. Mana yang katanya keponakan Ruhi Karmila? 

Mana dia ketawanya mengerikan, lagi. Nonton acara apa, sih, sampai jam dua pagi? Habis cekikikan, malah nangis. Sinting.

Hakim menoleh ke arah Ipad milik Yasinta yang tergeletak di nakas. Tadi malam istrinya memilih menonton daripada mengajaknya bicara tentang kelanjutan nasib pernikahan mereka.

"Gue cuma mau nolong Tante. Dia bilang ibu lo jahat."

"Wanita yang kamu bilang jahat itu adalah ibu mertuamu dan dia lebih pilih kamu daripada Sarina."

Awal mula petaka yang kemudian membuat mereka berdua hampir perang bantal. Yasinta teguh membela sang tante dan Hakim dengan kesalehannya sebagai anak dari ibunya yang menolak kehadiran Sarina mentah-mentah.

Sebaris Cinta Dari Halaman PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang