Yang ga sabar silahkan ke sebelah.
Apakah ada unboxing di Yogya? Kagalah, wkwwk. Di Yogya kalo kata Hana, tempat makan, bukan tempat bikin anak.
Ramein komen, ya. Jumat barokah soalnya. Yang pelit, kuburannya sempit.
Ntar kalo yey mati, kaga bisa bacak Hana Hakim lagi.
Tungguin PO-nya. Nabung dari sekarang.
***
25 SCdHPKetika menuruni bus pariwisata yang disewa oleh pihak kantor untuk mengantarkan mereka semua ke homestay yang dipesan oleh panitia family outing, Okta menjadi amat sedikit terkejut karena mendengar suara Yasinta menjadi amat lembut dan menjijikkan padahal dia tahu betul, selama ini mana pernah keponakan Ruhi Karmila itu melakukannya.
"Bapak … kaki gue nggak kuat meloncat."
Memang, ukuran pijakan terakhir dari bus ke aspal cukup tinggi, sekitar dari telapak kaki hingga lutut. Okta saja mesti berpegangan dengan gagang besi yang menempel di tempat duduk kenek bus ketika melakukannya, daripada dia terjungkal. Tapi, rengekan super manja, walau dia cuma memanggil suaminya dengan kata Bapak, telah membuat Okta menggelengkan kepala karena sempat mengira, wanita itu memanggil Pak Herman.
Gue kira dia panggil lakinya, Yang, Mas, Abang, Papa, yang mesra-mesra gitu. Eh, tahunya malah manggil Bapak. Lah, itu laki atau bos sendiri, kaga ada beda. Apalagi kalo yang lewat Pak RT, malah kacau.
Meski begitu, dia ingat dengan jelas, setiap hari, Yasinta selalu membahasakan suaminya dengan panggilan Pak Hakim dan Pak Jaksa, sehingga kemudian, cukup wajar jika kemudian, Yasinta jadi terbiasa menggunakan kata-kata bapak. Tapi, agak aneh saja di zaman milenial seperti ini menemukan pasangan yang menggunakan panggilan bapak untuk suaminya sendiri, walau sebenarnya, masih ada banyak anak-anak yang memanggil orang tuanya dengan panggilan Bapak dan Ibu.
Terus, masalahnya di mana? Gue kagak mengerti, Okta memarahi dirinya sendiri sementara pasangan di belakangnya terlihat amat romantis. Hakim turun lebih dulu dan tangannya terarah ke atas dan Yasinta tanpa ragu melingkarkan lengan di leher suaminya yang membuat rekan-rekannya berseru nyaring.
“Yah, emang begitu kalau pengantin baru. Tahun depan mana ada kayak gitu lagi. Bininya jatuh ke empang, paling dibalas, mata lo ke mana?” yang membuat hampir semua orang tertawa, sedangkan Yasinta yang sejak tadi tidak tahu kalau dirinya sedang dibahas hanya memandang bingung ke arah mereka semua.
“Kenapa, sih?”
“Bikin ngiri, tahu.” suara Okta terdengar dan Yasinta menoleh ke arahnya demi memastikan telinga wanita itu tidak salah dengar.
“Ngapain ngiri? Nganan aja.” Yasinta menggoda. Semua orang yang memperhatikan interaksinya dengan Hakim pastilah salah duga. Kan, mereka tidak seakrab itu, pikir Yasinta. Hakim sendiri sudah berjanji akan mengurusi Yasinta dan perihal adegan rangkulan tadi, itu karena kakinya belum terlalu kuat dipakai menjejak dari lokasi yang cukup tinggi seperti tadi.
Hakim sendiri merasa santai saja saat ada yang menggoda mereka. Dia pikir wajar, karena mereka berdua adalah pengantin baru dan untungnya,Yasinta juga tidak terbakar emosi saat orang-orang kadang jahil kepadanya dan malah balik bersikap lebih mesra kepada Hakim walau cuma menerima genggaman tangan suaminya saja.
Mereka tiba di homestay Asri yang seperti namanya, terlihat amat nyaman. Bentuknya seperti paviliun dan memiliki beberapa rumah-rumah kecil. Ada juga satu rumah utama yang terdiri dari delapan kamar. Keluarga kecil dan juga para lajang tinggal di sana, sementara yang datang lebih dari tiga orang di dalam keluarga mereka mengambil tempat di paviliun yang letaknya paling jauh dua puluh meter dari gedung utama. Yasinta dan Hakim mendapat kamar di gedung utama, tepatnya di lantai dua, bersebelahan dengan kamar Okta dan juga seorang staf dari keuangan kantor bernama Ani. sewaktu Yasinta sempat keceplosan ingin bergabung dengan mereka, Okta menertawakannya dan kemudian, berbisik ke telinga Yasinta sehingga pipi sahabatnya itu menjadi semerah tomat.