Bakal jadi bab terakhir kalo emang komennya sesepi kemarin.
Bab 30 full cuma ada di KK, ga ada di KBM. Isinya cuma buat emak-emak. Anak-anak ga boleh mampir. Dosa.
Kayaknya Hana-Hakim bisa duluan PO dibanding Ola. Hampir kelar ngeditnya😅
Yang mau info, silahkan follow eke di IG. Jangan dulu kontak olshop. Eke belum ngapa-ngapain, dah ditanyain olshop.
Ntar eke buat no wa khusus pemesanan ya. Nomor baru. Nggak perlu ke Mbak Iik lagi.
***
28 SCdHP
Iqbal Al Hakim merasa ada sedikit perubahan sikap yang terjadi pada istrinya bahkan hingga di hari terakhir mereka berada di Yogyakarta. Meski begitu, saat Hakim menawari makan, Yasinta kembali menjadi dirinya sendiri dan kemudian jadi lebih banyak tersenyum dibanding hari sebelumnya. Untung saja, teman-temannya lebih sibuk dengan aktivitas jalan-jalan dan membeli oleh-oleh sehingga sikap pendiam Yasinta hanya bisa diketahui oleh Hakim yang telah menghapal sikap Yasinta selama hampir satu bulan kebersamaan mereka.
“Mau beli oleh-oleh?” Hakim menawari saat mereka semua berada di pusat oleh-oleh. Yasinta tidak seantusias yang lain ketika mereka membeli kudapan dan juga cinderamata khas Yogya. Yasinta hanya melirik etalase sekilas dan mengembalikan sesuatu yang dia pegang seolah benda tersebut tidak menarik perhatiannya.
Saat Hakim menunjuk ke arah toko yang menjual batik, respon Yasinta juga tetap sama dan dia baru bereaksi saat Hakim menyebut nama Ruhi, Farihah, dan juga Pak Didin. Dia kemudian mengambil beberapa bungkus makanan dan meletakkannya ke dalam keranjang.
“Ibu suka jamu-jamuan? Pak Didin doyan minum teh. Gue mau cari poci buat bikin teh.” Yasinta menjulurkan kepala dan mulai mencari-cari. Semangatnya segera saja terlihat berbeda dibandingkan sebelum ini dan Hakim yang melihatnya merasa agak sedikit lega. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi, namun rasanya dia yakin, selama di Yogyakarta, dia telah mencurahkan hampir semua perhatian kepada Yasinta.
“Tante?” tanya Hakim ketika mereka menyusuri lorong yang di dalamnya terdapat banyak jenis makanan kaleng berisi gudeg, krecek, sambal mercon yang daya simpannya jauh lebih lama.
“Tante nggak terlalu doyan manis. Katanya manisnya hidup sudah direnggut Ibu …” ucap Yasinta tanpa sadar dan seketika dia menutup mulut lalu mengucap kata maaf ketika dia menoleh kepada Hakim, “Sori.”
Hakim sendiri hanya mengurai sebuah senyum amat tipis. Dia tahu betul, Yasinta masih selalu dan akan selamanya berada di pihak Ruhi sedang dia sendiri, berusaha untuk bersikap netral. Siapa yang ingin dilahirkan dari rahim seorang wanita kedua? Tapi, Rahadian Hadi juga memperjuangkan pernikahannya dengan Farihah dan tidak begitu saja meninggalkan ibunya, begitu juga dengan Ruhi. Namun, jika harus jujur, wanita mana yang ikhlas diduakan sekalipun sang suami masih mencintai istri pertamanya?
“Nggak apa-apa.” Hakim mengusap puncak kepala Yasinta. Hari ini sang pustakawan muda menguncir rambut pendeknya itu dan dia jadi terlihat amat lucu. Bagaimana tidak? Hanya sejumput rambut yang masuk dalam ikatan, sisanya lepas di sana-sini dan Yasinta memakai baju overal dari bahan jin selutut serta kaos lengan pendek berwarna kuning muda. Yasinta juga memakai tas ransel berwarna putih dengan gantungan Piglet, babi favoritnya dan membuat Hakim mengingat-ingat, di kamar mereka, hampir semua pakaian rumah Yasinta memiliki tema Piglet dan Winnie The Pooh.
“Buat di rumah nggak beli?” Hakim menunjuk beberapa kudapan yang berbahan dasar cokelat yang membuat Yasinta bergidik, “Nggak, ah. Nggak doyan manis juga gue.”“Kenapa? Manisnya hidupmu sudah ada yang menghabiskan juga?” Hakim penasaran. Yasinta biasanya selalu memilih alasan yang sama dengan Ruhi.
“Bukan.” Yasinta menggeleng, “Gue udah manis.”