Ramein komen dan vote. Di KBM dan KK udah bab 11. Tinggal subscribe aja. Masih gratis.
***
9 SCdHP
Kemarahan Farihah kepada putranya berdampak pada buteknya raut wajah Hakim ketika keluar kamar dan bertemu sapa kepada Yasinta. Hakim bahkan sempat melengos dan memilih untuk keluar rumah. Meski begitu, dari Farihah dia tahu kalau Hakim kemudian memilih untuk mencuci mobil tidak peduli saat itu matahari berada di puncak kepalanya. Mungkin, pikir Yasinta, sinar matahari yang terik bisa memanggang otak Hakim dan kekesalannya hari itu bisa menguap begitu saja yang mana, membuat Yasinta tidak bisa menahan geli karena sikap suaminya tersebut.
Bahkan, hingga akhirnya Farihah memutuskan untuk pulang, putranya masih mengunci mulutnya rapat-rapat dan hal tersebut tetap menjadi pantauan Yasinta hingga akhirnya pria itu menutup pintu rumah, menguncinya, dan hilang ke lantai dua tanpa bicara apa-apa lagi kepada Yasinta.
Mungkin mau nelepon si Mal, mau minta maaf dipaksa putusin dia, Yasinta menahan geli di dalam hati. Dia sendiri tidak mau repot-repot mengirim simpati. Biar saja suaminya menangisi perpisahan mereka. Toh, memang kenyataannya dia sudah punya istri. Sungguh aneh kalau sebelum menikah, Hakim tidak meminta perpisahan itu. Bukankah, surga ada di bawah telapak kaki ibu? Tidak peduli Okta suka meledek, surga dunia para pria sebenarnya ada di dalam celana bininya. Sungguh petuah yang tidak ramah jomlo dan perawan.
Yasinta sendiri merasa senang hidupnya tidak lagi dimandori oleh suami sok perhatian yang menurutnya sedang berpura-pura baik demi kelancaran nasibnya di dalam keluarga dan supaya hak warisnya tidak terganggu. Dia juga tidak butuh pertolongan pria itu. Ketika perutnya lapar, dia memesan via pesan antar dan meminta pengemudi ojek online menggantungkan pesanannya di gagang pintu karena kemampuan berjalan Yasinta masih amat lambat. Dia merasa bersyukur bisa berdiri setelah berjam-jam duduk. Pantatnya terasa amat kebas dan dia takut bakal menjadi tipis bila terus-terusan berbaring.
Meski begitu, dia mengakui saat telapak kakinya digerakkan, rasanya dia ingin menangis saking ngilunya. Tapi, bukankah dia adalah perempuan hebat yang tidak cengeng? Urusan ngilu-ngilu ini harus mampu dia tahan demi sekotak martabak cokelat kacang keju yang amat dia sukai.
Yasinta jelas-jelas tidak memesan satu menu saja melainkan beberapa dan ketika turun dari lantai dua menjelang azan Asar, Hakim menemukan bagian tengah rumah dipenuhi kotak-kotak plastik kemasan makanan berikut aroma yang bercampur aduk.
“Kamu lapar? Kenapa nggak kasih tahu?” Hakim mendekat dan meneliti menu makan sore istrinya kala itu. Ada beberapa plastik yang sudah habis isinya, beberapa masih tersegel.
“Lo mau? Ada mi ayam, ada i fu mie, ada juga cakwe sama lumpia. Habisin aja. Gue masih ada martabak.” jawab Yasinta dengan mulut penuh. Bibirnya belepotan saus merah yang terlihat mengerikan.
“Kamu makan apa?”
“Seblak, level empat. Belum berani gue level lima. Mau coba?”
Walau Hakim tidak memberikan jawaban, Yasinta dengan penuh percaya diri mengangsurkan sesendok topping seblak yang dari bentuknya adalah sosis ikan. Hakim sendiri sebenarnya sudah menggeleng, namun, dengan tatapan setengah melotot, Yasinta memaksa suaminya ikut makan.
“Nggak perlu. Aku masih kenyang.”
“Lo, mah, gitu. Mentang-mentang gue, wanita yang nggak lo cintai tapi terpaksa lo nikahi, makanan dari gue aja lo tolak, takut gue pelet. Padahal tadi, yang lo masak sempat gue makan sebelum disingkirin Ibu. coba kalau si Mal itu yang nyuapin, langsung merem-melek. Dikasih sianida sama dia, pasti lo bakal telan tanpa pikir panjang.”
Sebenarnya, salah besar menyinggung nama Sarina saat hati Hakim sedang kacau seperti ini dan Yasinta yang sadar bakal membuat pria itu kembali merajuk kemudian mencari adegan drama Korea paling sedih yang pernah dia ingat supaya air matanya bercucuran. Tapi, hatinya masih terlalu gembira melihat betapa buruknya perasaan Hakim saat ini sehingga air matanya seperti enggan keluar.