Yang rajin komen ama vote, eke doain rejekinya lancar, yang jomlo dapat pacar, yang bokek kelimpahan rupiah, yang males komen, makin jomlo aja gapapa, Tuhan. Komen aja males, apalagi ngurusin ayang.
***
24 SChDP
Herman Sayadi, S. Sos., M.Si memandang ke arah anak buahnya yang paling tengil yang di pukul enam lewat lima belas datang paling telat sekali ke bandara internasional Soekarno Hatta. Anak buahnya yang jelas-jelas dia panggil dengan panggilan Yayas. Begitu Yasinta menemuinya sambil memegang lutut dengan kedua tangan dan napas Senin-Kamis, Herman hanya bisa menggelengkan kepala.
“Disuruh datang jam setengah enam, malah telat. Untung aja pesawatnya delay.” sebelah alis sang bos naik tinggi, sedangkan Yasinta masih berusaha mengatur napas sebelum dia membela diri, “Maaf banget, Pak. suami saya mencret tadi pagi.”
“Yasinta yang mencret, Pak Herman.” sebuah suara menginterupsi dan tahu-tahu, tangan kekar Hakim mampir di pundak kanan Yasinta dan dia tersenyum amat lebar sebelum akhirnya mengulurkan tangan supaya dia bisa berjabat tangan dengan atasan sang nyonya.
“Nggak, Pak. Bukan begitu.” Yasinta menggeleng cepat dan kedua tangannya bergoyang tanda dia tidak seperti yang disebutkan oleh suaminya. Namun, Hakim lagi-lagi bicara dengan nada pelan, sambil menoleh ke arah Yasinta yang wajahnya kini seperti kena semprot cat Pilox, “Makan seblak setan level empat.”
Hakim masih ingat jelas insiden makan seblak yang membuat Yasinta malah kena percikan kuah karena dia punya niat amat jahil, ingin membuat Hakim mencret. Namun, dia berhasil selamat dan Yasintalah yang kena karma. Kini, dia mengulangi lagi perbuatannya dan sejak pukul sepuluh tadi malam, istrinya tidak berhenti keluar masuk kamar mandi.
Hakim hampir tidak mengizinkan perjalanan mereka pagi ini sampai Yasinta merajuk dan mengancam akan menelepon Farihah dan Ruhi lalu membuat video dia menangis tersedu-sedu dengan rambut acak-acakan untuk dikirimkan kepada mereka berdua yang membuat Hakim pada akhirnya menyerah. Dia juga kemudian mesti mengoleskan minyak kayu putih banyak-banyak ke perut dan punggung Yasinta yang terus merengek seperti bayi hingga akhirnya mereka siap berangkat dan Yasinta lari seperti orang kesetanan dan lupa pada masalah perutnya untuk menemui bos yang sudah siap menoyor kepala anak buah sablengnya itu.
“Dari dulu, kerjaan lo makan melulu. Awas aja, ya, di Yogya lo ngilang kayak kemarin-kemarin.”
“Siap, Pak. kalau ilang, marahin laki saya aja.” Yasinta memberi hormat dan mengambil tiket miliknya yang sudah dicetak oleh rekannya yang lain. Biasanya, Pak Herman selalu datang paling pagi lalu setiap anak buahnya diberi tiket dan mengurusi cek ini masing-masing walau sebenarnya mereka akan antre bersama. Tapi, karena kali ini para pegawai pergi bersama keluarga masing-masing, jadi kewajiban merekalah mengurusi rombongannya. Jatah subsidi dari bos berlaku untuk satu orang, sisanya membayar sendiri bila keluarga ingin ikut dan karena di saat yang sama koperasi kantor baru saja bagi-bagi SHU, maka ada banyak pegawai yang membawa orang-orang terdekat mereka. Sebagai tambahan, bos mereka juga membayar biaya homestay yang membuat semua orang amat bersemangat termasuk para lajang seperti Adli dan Okta.
Dua orang terakhir itu juga menjadi penonton yang paling khusyuk memperhatikan interaksi Hakim dan Yasinta yang masih berdebat di depan konter cek ini. Pagi itu, mereka berdua tidak sadar kalau terlihat amat serasi. Hakim memakai kaos polo berkerah berwarna putih polos dan juga celana jin berwarna krem serta topi yang senada dengan celananya. Dia hanya membawa tas ransel kulit amat keren dan di tangannya terdapat koper Yasinta yang berwarna pink metalik dengan motif babi Piglet yang membuat Okta selalu menertawakan rekannya itu. Umur boleh jadi dua puluh enam, selera tetap saja masih seperti bocah sepuluh tahun dan lucunya, Hakim yang menenteng koper itu ke mana-mana tampak biasa saja walau beberapa orang calon penumpang perempuan menoleh ke arahnya dan tersenyum simpul.