Kalau rajin vote komen, eke rajin juga apdet. Kaga bayar, murah kali. Makanya kudu ramein.
Betewe makemak yang punya kartu tol ke karyakarsa bab 30 ama bab 32 pada girang, eke ga tau kenapa. Padahal biasanya abis girang pada nangis-nangis, kan? Betah amat baca cerita eke.
Polanya pun sama, bencik ama si laki, terus nanti pada nyuruh balikan ama si cewek.
Tuh kayak di sebelah, dulu marah2 ama Hans, sekarang nyuruh kawin ama si Ola. Duhai Netizen, sukak-sukak kaulah
Oh, iya, merk hedreyer Yasi itu dyson ye. Eke kaga tulis di situ, biasalah, kaga suka makai merk orang. Tapi kalo you pada mobeli, bisa tau harganya. Gugel aja ndiri atau cari di sopi, kalo ketemu, komen mau beli atau cukup pake anduk ama kipas paling gede kek eke, yang auto masuk angin kalo habis keramas🤣
***
13 Sebaris Cinta dari Halaman Pertama
Azan Magrib masih berkumandang ketika Hakim membuka pagar utama rumah keluarga Taufik Diponegoro. Angin bergulung-gulung kencang menerbangkan debu dan daun-daun kering. Dia sampai harus menutup sebelah mata karena kemasukan debu saat pagar berhasil dibuka. Waktu itu, Hakim ke mobil dengan mata terpejam dan minta diambilkan tisu kepada istrinya.
“Kemasukan debu.” Hakim menjelaskan. Dia berkedip beberapa kali ketika Yasinta mencoba menyeka air matanya. Bola mata Hakim memerah dan Yasinta mesti menahan bagian bawah kelopak mata pria tersebut ketika menemukan target yang dicari, seekor serangga kecil berwarna gelap.
“Aduh … duh.” Hakim mencoba mengelak dan menggunakan bagian lengan bajunya untuk mengelap mata yang kemudian dicegah oleh Yasinta.
“Jangan, dong. Nanti iritasi. Lagian baju lo dari mana-mana.”
“Pedih soalnya.” Hakim gemas karena rasa terbakar di matanya belum juga reda dan Yasinta melarangnya lari. Mereka masih berada di depan gerbang rumah yang terbuka.
“Sebentar. Tahan beberapa detik dulu.” Yasinta memberi perintah. Wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah Hakim, namun, dia tidak menyadari karena terlalu sibuk meraih serangga mati di dalam mata suaminya.
“Jangan gerak. Bentar lagi.” Yasinta bergumam kepada dirinya sendiri dan dengan ujung tisu, dia akhirnya berhasil mendapatkan serangga kecil itu dan menunjukkannya kepada Hakim dengan raut amat bangga.
“Gede, ih. Kutu atau ngengat, ya?”
“Masak kutu?” Hakim tidak terima kalau ada kutu mampir di matanya, padahal, dalam kondisi mati seperti itu, tidak ada satu pun dari mereka berdua yang paham.
“Gue nggak tahu juga.” Yasinta mengedikkan bahu. Dia memasukkan tisu bekas mengelap mata suaminya tadi ke tong sampah kecil yang letaknya di antara bangku penumpang dan supir. Setelahnya, Hakim melajukan mobil hingga ke bagian depan rumah dan baru saja pintu terbuka, mereka dikejutkan dengan suara geluduk amat keras dan juga hujan yang tiba-tiba turun.
Gara-gara itu juga, Hakim hampir berlari ketika dia membantu Yasinta turun, padahal, istrinya sendiri berkata kalau tidak apa dia ditinggalkan.
“Hujannya lebat.” Hakim memberi tahu dan dia menoleh ke arah Yasinta yang kini separuh rambutnya sudah basah kuyub.
“Iya. Makanya kudu cepat-cepat.” Yasinta mengambil kunci rumah dari dalam tas yang dia pakai saat ini.
Untung saja, suasana rumah tidak sekacau yang dipikirkan oleh Hakim karena tahu, selama hampir tiga minggu, Yasinta belum sempat mampir lagi. Saat dia menghidupkan lampu rumah, sofa-sofa di ruang tamu dipasangi kain putih seperti sprei. Tidak hanya itu, beberapa furnitur lain yang dia tahu harganya tidak murah juga diperlakukan sama.