22

5.4K 1.3K 220
                                    

Gaees, pan di sebelah dah tamat.

Kalian kalo pengen peluk Hana dan Hakim, siap2 nabung, yes.

Ntar PO-nya bareng Ola ama Gendhis juga.

Gendhisss?

Hooh.
Iparnya Desi. Dah kawin dia. Update lengkap di KK, ya. Tapi nanti dia jadi novela, bukan novel. Ga terlalu tebal. Paling tebal 200 halaman. Cuma eke ga yakin segitu. Harganya juga murce.

Biar rame. Kapan lagi eke open PO 3 judul.

Dapat hadiah ga, Mak?

Dapat. Hadiahnya makasih🤣

Tar eke pikirin dulu dah.

Ramein komen kalo mo apdet terus yaaaa.

Jangan males.

Mak ada esek eseknya ga?

Astoge, kalian emak-emak, ngapa mikir gituan? Kan bisa praktek sendiri apa Papa di rumah. Ckckxkx
***

22 SCdHP

Seperti hari sebelumnya, Yasinta sudah kembali menemukan sosok Hakim menunggu di lobi gedung arsip dan perpustakaan. Waktu itu hampir lima menit sebelum azan Magrib dan Hakim sempat minta izin untuk menunaikan salat terlebih dahulu di musala yang letaknya tidak jauh dari parkiran kantor dan dijawab dengan anggukan oleh istrinya. Yasinta memutuskan untuk berjalan menyusul Hakim dan ikut melaksanakan salat usai azan berkumandang. Mereka bertemu kembali saat Hakim sedang memasang kaos kaki dan dia menemukan Yasinta sudah duduk di selasar musala sambil membaca sesuatu dari laman ponselnya.

Wajah Yasinta tampak serius dan dari penglihatannya, Hakim tahu kalau saat ini dia sedang membaca pesan-pesan pribadi dari aplikasi Instagram. Apakah Sarina dan komplotannya kembali beraksi dan menyerang Yasinta?

“Aku sudah selesai.” Hakim memberi tahu dan Yasinta yang sadar segera menyembunyikan ponsel di saku baju kerjanya. Dia tersenyum gugup dan berusaha berdiri sebelum akhirnya memasang sepatu. Mereka berdua berjalan beriringan saat hari mulai gelap dan sesekali Yasinta tersenyum saat beberapa anggota pelatihan mengenali dan mengucapkan salam kepadanya.

“Hati-hati, Bu.” Yasinta melambai. Karena itu juga, Hakim menanyainya, “Kayaknya bukan pegawai sini. Seragamnya beda. Peserta pelatihan, kan? Kamu kenal?”

“Nggak.” Yasinta menggeleng, “Tapi, mungkin Ibu itu sering lihat gue.” 

Raut wajah Yasinta masih tegang dan dia tidak bicara lagi bahkan saat mereka berdua berada di dalam mobil. Namun, ketika sepuluh detik kemudian, suara perut Yasinta terdengar hingga Hakim berusaha memastikan pendengarannya tidak salah.

“Lapar? Kita makan, yuk?” ajaknya. 

Yasinta tidak pernah menolak bila berhubungan dengan makanan apalagi jika yang menawari adalah Hakim, seolah memang pria itu berkewajiban memberi makan Yasinta hingga perutnya penuh dan itu adalah salah satu keuntungan menjadi bini, ada seseorang yang siap menafkahi.

“Maulah gue makan. Dari tadi nungguin lo ngomong begitu.” Yasinta menoleh ke arah suaminya sementara Hakim sudah menjalankan mobil. Hakim sendiri membalas dengan tawa kecil sebelum akhirnya mereka meninggalkan parkiran gedung arsip dan perpustakaan kota untuk mencari penganjal perut mereka malam itu. 

***

Yasinta dan Hakim tiba di rumah pukul delapan. Ketika mobil berhenti, Yasinta tertidur dan tidak sadar kalau posenya saat ini membuat Hakim menahan tawa. Kepala Yasinta tertunduk dan dia mendengkur dengan suara cukup keras hingga sentuhan Hakim di bahu kanannya membuat Yasinta terbangun dan menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung.

Sebaris Cinta Dari Halaman PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang