Ramein ya gaes.
Di KK dan KBM udah hampir tamat. Mungkin bakal bareng PO-nya sama OlaHans.
Kalian nabung, ya. Eke bakal kasih gift cakep buat bundel.
Apa?
Entahlah. Si Ola kan punya Bra.
Si Hana, suka Babik. Kalian doyan babik ga?
***
19 SCdHP
Herman Syafei, kepala dinas gedung Arsip dan Perpustakaan Kota adalah orang yang agak sedikit terkejut ketika Yasinta Aurahana datang menemuinya dengan membawa sebuah berkas. Ketika dia membuka dan membacanya, perlu beberapa kali pria berusia lima puluh tiga tahun itu melirik ke arah surat pengajuan izin tugas belajar Yasinta kemudian kepada sang penulis itu sendiri.
“Ini benar, kamu yang menulis.”
“Yaelah, Pak.” Yasinta menahan rasa gondok di hati, memangnya siapa lagi yang bisa dia suruh? Okta atau Adli? Yang ada mereka bakal menertawakannya. Tidak perlu jauh-jauh, waktu mengutarakan keinginan buat belajar di Korea saja, Ruhi Karmila menjadi yang paling pertama heran atas keputusan itu.
“Keponakanku yang paling nggak suka belajar? Serius mau kuliah lagi?”
Jika motivasinya bertemu dengan Oppa Korea, maka Yasinta yakin dia akan semangat. Amat semangat, malah. Karena itu juga, walau dongkol karena lagi-lagi ada orang yang kembali meragukan kemampuannya. Dulu, dia memang pemalas dan Yasinta tidak ragu melabeli dirinya sebagai juara satu gadis paling malas di dunia. Namun, dunia sudah berubah dan dia punya cita-cita amat mulia, jatuh cinta dengan pria idamannya di negeri gingseng tersebut.
“Saya ngetik sebenarnya. Jadi, nggak bisa dibilang nulis juga. Cuma, formatnya, kan, sudah ada. Tinggal isi doang sama data-data saya.” Yasinta menjawab dengan diplomatis.
“Kalau itu juga Bapak tahu.” Pak Herman berdeham, “Maksudnya, kamu sendiri yang mengajukan izin belajar? Nggak mabok?”
Bahkan kini Pak Herman pun meragukan kemampuan Yasinta. Ingatkan dia, siapa pegawai yang rela lembur menyortir dan menyusun buku-buku baru datang, menjadi yang paling sibuk saat ada pelatihan calon kepala perpustakan, serta kadang menjadi juru bicara saat ada banyak tim yang datang dan memerlukan data perpustakaan seaktual mungkin.
“Sekalian jalan-jalan, Pak.” Yasinta menjawab jujur dan kemudian jawaban terakhirlah yang membuat Pak Herman tertawa, “Nah, yang itu baru khas Yasinta.”
Pak Herman kemudian memberi tanda tangan di bagian surat rekomendasi dan sempat membuka-buka profil universitas yang disertakan oleh Yasinta saat dia menyerahkan kumpulan berkas tadi.
“Ada jual nasi di sana, Yas?”
“Ih, Bapak! Jelas ada. Wong orang Korea juga makan nasi.”
Pak Herman masih menggoda anak buahnya itu dengan mengatakan beberapa hal remeh-temeh yang mungkin tidak bakal dia temukan di negara produsen drama laris tersebut yang dibahas Yasinta dengan kekehan sebelum menjawab, “Tenang aja, Pak. perut saya udah dilatih sejak bertahun-tahun lalu.”
Ketika akhirnya Yasinta pamit, dia menunjukkan surat rekomendasi izin belajar kepada Okta dan sahabatnya itu hanya menanggapi dengan sebuah gelengan. Wajah Yasinta jelas sekali bahagia dan dia tidak terlihat bersedih padahal melanjutkan kuliah tidak pernah bisa sebentar dan dalam waktu minimal dua tahun, semua hal bakal terjadi, termasuk mungkin, kandasnya sebuah pernikahan yang umurnya baru seumur jagung.
“Gue baru sekali ini lihat orang mau LDR malah senang banget.” Okta menatap Yasinta dengan wajah sendu. Dia sendiri sudah merasakan efek berpisah dengan suami dan rasanya amat buruk.