Jangan males vote ama komen, dong.
Ramein.
***
23 SCdHP
Meski terlihat cuek, Yasinta menyadari kalau Hakim terlihat agak mencurigakan akhir-akhir ini. Namun, tidak hanya dia saja, Pak Didin juga sama mencurigakannya. Sesekali, Yasinta memergoki Pak Didin lebih banyak sibuk dengan ponsel dan kadang menelepon seseorang yang tidak dia tahu. Ketika Yasinta bertanya, balasan Pak Didin adalah dia mendapatkan pesan dari keponakannya yang bekerja di Malaysia.
Agak sedikit aneh karena dia tidak ingat kalau Pak Didin pernah mempunyai keponakan yang tinggal jauh. Tapi, karena dia maat percaya kepada sang sopir kesayangan, Yasinta memilih bersikap santai dan hanya sesekali saja menjatuhkan pengamatan kepada sopirnya itu.
Ketika program pelatihan calon kepala perpustakaan sudah selesai menjelang penghujung minggu, kantor mereka kemudian melaksanakan program jalan-jalan bareng keluarga dengan dalih outing kantor karena ada tanggal merah yang kebetulan jatuh di hari Jumat dan tiga hari itu dijadikan hadiah oleh atasan mereka untuk mengunjungi Yogyakarta, yang mana hampir tidak pernah terjadi sebelumnya.
Yasinta tentu saja merasa amat senang. Acara jalan-jalan dan menginap seperti ini adalah hiburan yang selalu dia nanti-nantikan. Alasannya? Tentu saja karena sepanjang hari hingga malam dan kembali lagi ke pagi, dia tidak bakal sendirian. Ada teman-teman yang akan berada di sekelilingnya dan karena dirinya dan Okta sama-sama tidak punya pasangan, maka keduanya selalu menjadi teman sekamar yang amat akrab. Meski begitu, dia sadar kalau saat ini kondisinya sudah berbeda. Dia sudah menikah dan Hakim belum tentu akan memberi izin.
Ngomong-ngomong soal izin, Yasinta merasa amat yakin hal itu bukanlah menjadi suatu masalah. Dia bisa bebas pergi dan menjadi teman sekamar Okta karena tahu kalau Hakim sudah pasti memilih bekerja atau malah CLBK dengan Sarina. Yasinta, kan, merasa amat jenuh selama beberapa hari terakhir walau semua panitia juga kecipratan uang akomodasi pelatihan.
“Tenang aja, Mbak. Kita bestie forever. Gue tinggal bujuk si Hakim, pasti dia rela ngelepas gue. Ntar di sana gue mau ke pasar, mau jajan. Asyiklah. Lo belanja aja di sana, gue cuma mau makan.” Yasinta meyakinkan Okta saat mereka berdua mendapatkan kabar tersebut. Demi menghemat waktu, perjalanan akan menggunakan pesawat ekonomi pergi dan pulang.
“Yakin, lo jauh-jauh cuma mau makan doang?” tanya Okta dengan wajah tidak percaya. Kebanyakan orang yang datang ke Yogyakarta biasanya untuk berwisata.
“Bener, Mbak. Gue udah nontonin Youtube makan-makan, dah, nggak sabar mau wisata kuliner.”
Wisata kuliner, Okta sampai menghela napas ketika mendengarnya. Dia kira, setelah menikah, Yasinta bakal lupa dengan hobi makan dan menjadi wanita baik yang lebih suka masak makanan sehat untuk suaminya. Namun, Okta kemudian menemukan, setelah Yasinta dan Pak Didin, yang punya hobi jajan, kini Iqbal Al Hakim juga bergabung dalam tim. Tidak sekali atau dua kali dia datang ke kantor mereka membawa seplastik penuh gorengan yang membuat Yasinta selalu menyambutnya dengan senyum amat lebar.
Tapi, dugaan Yasinta tentang Hakim yang bakal setuju dengan mudah dan membiarkannya melanglang buana ke Yogyakarta hanya bersama Okta dan rekan sekantor ternyata tidak sesuai dengan harapannya. Hakim yang mendengar tentang rencana itu sepulang kerja merasa amat aneh karena melihat wajah istrinya tampak sangat bahagia.
“Memang family outing. Tapi, gue tahu lo sibuk. Jadi, gue bakal berangkat bareng Pak Didin dan …”
“Pak Didin? Bukankah suamimu bernama Iqbal Al Hakim?” Hakim bertanya kepada Yasinta dengan wajah pura-pura bingung. Tidak perlu diberitahu, hampir semuanya sudah paham siapa pria itu. Dasar Hakim suka melebih-lebihkan saja, pikir Yasinta.