10

5.5K 1.2K 175
                                    

Di KK ama KBM app otw bab 17  malam ini ya.

Yang di Wattpad banyakin komen dan vote biar trending.

***

10 SCdHP

Tidak seperti pasien lain yang butuh waktu agak lama setelah pemasangan gips, Yasinta pada akhirnya bisa bernapas lega saat dia "dibebaskan" di akhir minggu kedua setelah kakinya terpenjara. Untung juga insiden di perpustakaan masih tergolong ringan dan hanya retak tipis saja di kakinya yang barangkali hanya seperti sehelai alis mata, yang mana hanya bisa diketahui oleh dokter bukan Yasinta atau juga Hakim dan bahkan Ruhi Karmila yang langsung datang di hari saat keponakannya mesti dibawa kembali ke IGD. 

Di akhir minggu pula, Yasinta hanya perlu menggunakan ankle strap berwarna hitam yang untungnya terasa amat nyaman di kaki. Sampai kakinya benar-benar pulih, Yasinta hanya boleh melakukan pergerakan ringan dan untunglah, dia juga akhirnya diizinkan kembali ke kantor walau kemudian mesti mematuhi sederet aturan. 

Yang memberi peraturan bukanlah Iqbal Al Hakim, suaminya, melainkan tante cerewet yang langsung merasa jadi ibu kandung lantaran saat Yasinta kecil, dialah yang paling getol mengasuh keponakannya itu mulai dari mengganti popok sampai menceboki Yasinta. Cuma satu hal yang tidak bisa Ruhi lakukan, yaitu menyusui keponakannya, sehingga kemudian Yasinta kadang masih jadi pembangkang bila perintah Ruhi tidak sesuai dengan kemauannya. 

Ketika mereka bertemu lagi lewat pukul empat sore di hari Jumat, di sebuah kedai kopi paling terkenal dekat area perpustakaan, Ruhi yang saat itu duduk dengan secangkir kecil espresso melirik kedatangan Yasinta yang masih tampak berhati-hati berjalan menggunakan tongkat kaki tiga. Ada Pak Didin yang berjalan di sampingnya, membukakan pintu ketika Neng kesayangannya masuk hingga akhirnya dia duduk di samping sang tante yang menciumi pipi keponakannya tanpa peduli kalau saat itu mereka berada di tempat umum.

“Gimana, udah bobol?” tanpa basa-basi Ruhi Karmila menanyai keponakannya. Untung saja saat itu suasana kafe tidak terlalu ramai dan Ruhi telah memilih area pojok supaya mereka bisa bebas berbagi kisah.

“Ih, selalu, ya, yang ditanya itu kalau ketemu. Bosen, tau?” Yasinta menjawab dengan bibir maju. Memang agak kurang se-ons tante satu-satunya yang dia punya tersebut. Tapi, mengingat dia tidak memiliki anggota keluarga lain, Yasinta memilih menerima kelakuan sinting sang tante dan berdamai dengan kelebihannya tersebut sejak dulu.

“Penasaran aja.” Ruhi kembali duduk dan kini mengambil cangkir espresso di hadapannya dan mulai menyesap.

“Masih segelan aku, tuh.”

Untung saja kopi yang diminum Ruhi tidak tersembur ketika mendengar keponakannya bicara demikian. Menikah sudah dua minggu lebih, namun masih perawan? Padahal sejak awal, Yasinta tidak mengalami masalah apa-apa dengan Hakim. Jika pria itu mau meng-”unboxing” istrinya, Yasinta sudah siap sedia. Toh, dia bukanlah seperti wanita di dalam cerita sedih Indonesia yang bila dijodohkan, memilih menangis dan meratap, lalu tidak mau disentuh.

“Kamu sok alim, kali. Makanya dia illfeel.” Ruhi menunjuk Yasinta saat tangan kanan lentiknya masih memegang cangkir kopi. Yasinta sendiri tidak mau kalah dan membalas, “Enak aja. Udah digoda juga, handukan doang, tapi, memang dasarnya dia kayak disfungsi ereksi.”

Kali ini tidak ada ampun, kopi yang diminum Ruhi bahkan meloncat langsung dari lubang hidungnya begitu dia mendengar kata disfungsi ereksi. Yang benar saja, putra madunya tidak perkasa? Apakah itu karma? Ruhi ingin tertawa saking hal tersebut amat lucu. Dia sampai mengabaikan fakta kalau sebelah hidungnya jadi hitam dan Yasinta sudah mengulurkan dua helai tisu kepadanya, “Tante, serem, ih. Kayak Mak Lampir nggak sikat gigi. Hapus ingusnya juga.”

“Yang benar dia letoy?”

Sebenarnya Yasinta tidak tahu persis. Tapi, beberapa kali kejadian di kamar mandi jelas menunjukkan kalau Hakim sepertinya memang tidak punya minat kepadanya. Mungkin, kalau dia adalah Raden Sarina, lain lagi kondisinya. Kenyataannya, dia adalah Yasinta Aurahana, wanita yang tidak sanggup membuat suaminya sendiri memiliki nafsu terhadapnya. 

“Mungkin karena susuku kecil kali, ya, Tan? Makanya punya Hakim nggak bisa bangun.” Yasinta bicara dengan mata menerawang. Tangannya sendiri tanpa sadar sudah menyentuh dada miliknya, “Si Sarina kan mayan gede, soalnya suka pamer di sosmed dan di-repost sama penggemarnya, sambil nge-tag aku lagi.”

“Halah. Paling suntik silikon.” Ruhi melambaikan tangannya, seolah-olah dia sedang memberi penguatan kepada Yasinta bahwa miliknya jauh lebih baik dibandingkan dengan Sarina.

“Aku juga mau suntik kalau bisa bikin Hakim nafsuan.” Yasinta menjawab lagi. Wajahnya tampak sedikit bersemangat sewaktu mengucapkan hal tersebut, “Soalnya dianggurin mulu, takut kayak ayam tiren, Te. Laleran.”

Untung dia sudah tidak minum lagi seperti tadi. Ruhi merasa kali ini ingusnya bisa meloncat lagi seperti tadi jika terus mendengarkan ocehan keponakannya yang tidak sadar kalau saat ini mereka sedang berada di kafe. Untung saja para barista sedang sibuk dengan urusan mereka masing-masing sehingga tidak ada yang kepo memperhatikan kalau ada seorang istri rasa perawan yang sepertinya penasaran dia belum juga dibelai oleh suaminya sendiri.

“Suntik? Operasi juga mau? Tapi lo tahu, Say, bikin tetikadi jadi musuhan kayak Cikini ke Gondang dia.”

Saat itu, Yasinta sedang menyeruput frappe dan untunglah kelewat dingin sehingga dia meminumnya dengan hati-hati. Tapi, tetap saja bikin tatapannya kepada sang tante menusuk dan mencekam. Apa pula maksudnya suntik silikon atau operasi pembesaran payudara bisa membuat si kembar itu musuhan? 

“Fat transfer aja, mau, nggak? Diambil dari lemak. Bisa dari perut atau bokong.” Ruhi memberi solusi lagi yang membuat Yasinta bergidik. Meski dunia kedokteran sudah maju melebihi kecepatan cahaya, dia tidak bisa tertarik. Kakinya sudah merasakan dampak kemajuan itu dan walau Hakim serta Ruhi sudah mengupayakan pengobatan paling terbaik, Yasinta berharap kemarin adalah terakhir kali dia menginjakkan kaki ke rumah sakit dan kalau perlu saat mati saja dia kembali ke tempat itu.

Kalau mau beranak gimana, Yas?

Dahlah, nggak usah mikir gituan. Pisang si Hakim aja masih letoy lihat gue, ngapain gue kudu berharap lebih? Kecuali gue operasi plastik jadi si Mal, nah, pasti gue digarap tiap malam. 

“Nggak, ah, Tan. Ngeri. Cari yang cuma perlu dioles-oles aja. Minyak apa, kek, minyak bulus atau minyak lintah.” Yasinta menggeleng. Cukup sudah pembahasan tentang pabrikan susu ini. Dia ingin kembali pada topik pertemuan mereka hari itu dan Ruhi sudah mengangsurkan sebuah folder berisi berkas-berkas yang bakal Yasinta butuhkan untuk dia lengkapi sehingga nanti bisa dia gunakan untuk pengajuan izin belajar kepada atasannya. Jika biasanya ASN mendapatkan beasiswa, maka Yasinta sebaliknya. Walau, sebenarnya dia secara tidak langsung mendapatkan beasiswa sendiri oleh sang tante. Tapi, kuliah dengan dana dari tante sendiri atau dari pemerintah sungguh punya beban yang berbeda. Jika dari pemerintah, dia harus bertanggung jawab mengabdikan diri dan ilmunya kepada masyarakat meskipun, Yasinta tentu akan tetap melakukannya walau menggunakan dana dari kantongnya sendiri. 

Pengajuan cuti di luar tanggungan sudah harus dia siapkan masak-masak sejak sekaranga, pikir Yasinta. Tidak mengapa, selama kuliah nanti dia tidak mendapat gaji dan tunjangan. Yang paling penting, dia bisa kuliah di tempat yang paling dia inginkan, dengan bidang studi yang dia sukai pula, perpustakaan. 

“Ih, minyak apaan, itu. Oles minyak jelantah aja. Lebih sip.” Ruhi mengedipkan mata kiri sementara Yasinta menatapnya dengan wajah antusias, “Bisa, Tan?”

“Bisa.” Ruhi mengangguk mantap. Dia sudah menumpangkan kaki kanan di atas kaki kiri dan kini tersenyum amat menawan di balik lipstik merah cabainya yang amat merona, serasi dengan kulitnya yang seputih putri dari Shanghai Noon.

“Bikin tet*k lo dilalerin.”

“Tante kampret!” Yasinta memajukan bibir dan Ruhi bukannya marah, melainkan merespon lewat kekehan yang tidak berujung. 

***

Sebaris Cinta Dari Halaman PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang