Bab kemaren dikasih panjang, komen dan votenya juga panjang. Jadi bab ini, eke kasih 2, ya, asal kalian ramein komen dan vote lagi.
Di KK dan KBM udah bab 44, otw bab 45. Yang g sabar boleh ke sana. Yang mau bab panas kek kompor, mampirnya ke KK jangan KBM, kalo KBM versi anak baik.
Ada yang nanya, yasi ngurus berkas ke Korea sembunyi-sembunyi? Jawabannya iya.
Kenapa? Biar ga ketahuan dia ada main ama Kim So Hyun.
***
15 SCdHP
Entah karena dia memang punya inisiatif sendiri atau berdasarkan perintah dari Farihah Hadi, Iqbal Al Hakim bersikap makin aneh sehingga berhasil membuat Yasinta tidak bisa melanjutkan pekerjaannya, menyortir berkas pengajuan untuk cuti di luar tanggungan alias cuti izin tugas belajar. Sepanjang hari di akhir pekan mereka, Hakim tidak lepas berada di sisinya, bahkan dia juga membantu Yasinta yang saat itu hendak menyetrika pakaian kerja miliknya.
“Lah, lo ngapain, sih?” Yasinta mengeluh karena Hakim menyuruhnya berpindah dari meja setrika kecil yang dibawa Yasinta dari rumahnya. Padahal, ruang laundry berada di belakang, dekat kamar mandi. Namun, tidak ada yang mengalahkan nikmatnya menyetrika sambil menonton drama Korea.
“Aku nggak tega lihat kamu nangis-nangis gitu, Hakim menyingsingkan lengan baju. Tapi, air mata yang kini membasahi pipi Yasinta bukanlah air mata kesedihan melainkan karena adegan sedih yang baru dia tonton. Lagipula, aneh sekali melihat Hakim jadi sok baik. Biasanya, di hari Sabtu seperti ini dia sudah menghilang, alasannya hendak main golf atau ke rumah ibunya. Karena itu juga, kehadiran Hakim pagi ini bukannya membuat Yasinta senang, tetapi agak sakit kepala.
“Nggak. Nggak usah. Baju gue nggak sembarangan disetrika orang.” Yasinta mengusir Hakim, “Lo mending tidur siang, kek, ngapain, kek.”
Hakim tidak setuju dengan kata-kata Yasinta barusan. Mereka baru menyelesaikan makan siang bersama, sekitar tiga puluh menit lalu. Yasinta ingin makan nasi bungkus dan Hakim juga. Jadinya, putra semata wayang Rahadian Hadi tersebut mengajak Yasinta ke rumah makan Padang paling terkenal di dekat rumah mereka supaya istrinya bebas memilih menu mana saja yang dia mau.
Yasinta sendiri tidak mau menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Sebuah menu gulai kepala ikan kakap masuk dalam list belanjaannya berikut cumi goreng tepung yang tidak biasanya ada di dalam menu. Dia juga seperti melupakan kesedihannya pagi tadi sehingga saat makan, Hakim hanya mampu memandangi istrinya yang amat ajaib tersebut.
“Nangis gue paling lama lima menit. Habis itu, gue mesti ngerjain tugas seabrek. Yang penting gue udah nangis, itu aja. Kalau dipendam, lama-lama ntar jadi tumor.”
Hakim pada akhirnya tidak tidur dan memilih membantu melipat pakaian yang baru saja diangkat dari jemuran. Hal tersebut membuat Yasinta mau tidak mau teringat kepada orang tuanya. Papa dan mama juga seperti itu saat mereka memiliki waktu luang. Biasanya kedua orang tuanya akan bercengkrama dan membahas apa saja yang terjadi dengan anak-anak mereka sepanjang akhir pekan.
“Ada duit, dua puluh ribu.” Hakim menunjukkan selembar uang kertas berwarna hijau yang dia ambil dari saku pakaian Yasinta. Wanita muda itu serta merta meraih uang tersebut walau Hakim kemudian menarik uang yang dia pegang menjauh dari tangan istrinya.
“Duit gue.”
“Tapi aku yang nemu.” Hakim membela diri. Kata-katanya membuat Yasinta melotot, “Tapi, lo ambil dari kantong baju gue. Balikin.“
Hakim yang yakin kalau tadi Yasinta tidak akan menyerangnya, langsung kaget begitu melihat keponakan Ruhi Karmila itu mengacungkan moncong setrika ke arahnya.