11

5.1K 1.3K 126
                                    

Ramein, Ses. Biar eke semangats apdetnya. Yang ga sabar silahken ke KBM atau KK. Udah bab 22. Tapi di sono judul babnya ngelebih, ya. Gara-gara ada prolog atau apa, eke kaga ngerti.

Judul asli ada di awal paragrap tiap bab.

***
“Kampret-kampret gini selalu lo kangenin, selalu nemenin lo ke Tanah Abang. Emang tante yang lain ada?”

“Ya kaga ada. Tante gue cuma situ.” Yasinta mendelik. Sesekali, kalau sang tante jahil, dia berani menggunakan kata gue-lo dan Ruhi sama sekali tidak keberatan.

“Tapi kalian tidur berdua.”

“Ya, iyalah, Tan. Kalau bertiga artinya ada setan.”

“Sudah pasti ada setan,” Ruhi nyengir, “Soalnya nggak ada yang dibunuh.” 

Tawa Ruhi pecah lagi sementara Yasinta dengan wajah polos mencoba mencerna kalimat itu dengan mengucapkannya ulang hingga beberapa kali.

“Apanya yang dibunuh?”

“Ya, setan, lah.” balas Ruhi lagi. Yasinta masih tidak nyambung sampai akhirnya sang tante melempar tisu bekas yang dia gunakan untuk mengelap ingus tadi, “Ih, jijik banget.” Yasinta mencoba menghindar.

“Gitu aja jijik. Ntar pas gue tua, lo yang bakal cebokin eek gue, Yasi Cantik.”

Sejak tadi, obrolan mereka tidak ada yang benar, pikir Yasinta. Dari minyak jelantah, belatung, dan kini sampai tahi. Yasinta sendiri tidak mengerti mengapa dia amat mencintai wanita yang ada di hadapannya ini sampai semua kemauannya dia ikuti. Tapi, gara-gara itu juga dia baru sadar, tidak seperti puluhan tahun lalu, Ruhi Karmila tidak lagi kepo terhadap Farihah yang selama dua minggu ini rajin menyambangi kediaman dirinya dan Hakim untuk merawat menantunya. 

Gara-gara itu juga, Yasinta berpikir dia jadi cepat sehat, meski kemudian merasa kalau pakaiannya jadi semakin sesak di bagian perut dan bokong. Farihah terlalu banyak memberinya makan dan melarangnya bekerja dan pekerjaan mereka berdua saat siang adalah menonton sinetron bersama lalu mengata-ngatai pemeran utamanya sampai puas. 

“Belum bisa bunuh-bunuh setan, Tan.” Yasinta bicara lagi, sementara Ruhi menggerutu, “Tan, Tan. ini tante lo, bukannya setan.”

“Iya, itu maksudnya.” Yasinta memberi balasan. Begitu saja sudah diprotes, pikirnya, “Dia masih kepikiran mantan pacarnya. Kemaren Mbak Okta bilang kalau Sarina galau dan bikin status nangis. Terus IG-ku rame difollow orang.”

“Masih dikunci?” Ruhi bertanya lagi dan Yasinta membalas dengan anggukan, “Ngeri, sih. Mereka follow cuma buat kepo dan ngatain doang. Bikin sakit hati, padahal aku nggak nyolong laki mereka.” Yasinta membalas. Sekarang dia sudah menyandarkan punggung ke jok bangku yang dia duduku. Setelah beberapa menit bicara, dia barulah bisa mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pak Didin duduk tidak jauh dari mereka dan sedang minum kopi hitam sambil menonton tayangan dari saluran Youtube favoritnya. 

“Biarin ajalah mereka ngata-ngatain. Sekalian aja kamu pamer susu kayak si Sarina itu, pakai baju tipis biar laki-laki ikutan follow.”

“Tante ngajak sesat. Terus ntar di-SS sama mereka, dilaporin ke Pak Herman.” Yasinta membuat lambang “sedeng” di jidat sambil menunjuk Ruhi kalau yang sedang dia lakukan itu untuk menyindir sang tante.

“Ngelaporin kenapa? Emang kamu korupsi? Makan duit rakyat? Si Herman juga kalau lihat anak buahnya seksi, kali mupeng. Kamu bisalah semalam dua malam sama dia terus bunting dan ngaku hamil anaknya Hakim.”

“Aku balik, ya, kalau Tante ngawur kayak gini terus.” Yasinta melotot. Jika dijodohkan dengan Oppa Korea ganteng idamannya, dia tidak bakal pikir panjang, sih. Tapi, kalau sama bosnya sendiri, amit-amit. 

Sebaris Cinta Dari Halaman PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang