Masihkah ada yang baca? Atau sudah pada tamat semua bacanya di KBM/KK jadi di sini sepi kayak kuburan?
Buku sudah sampai di penulis dan olshop. Yang ke penulis mungkin besok dikirim, aamiin. Tungguin aja ya.
Yang mau ke shopee, silahkan masih ada 5-7 bijik lagi. Habis itu tak ada lagi.
Ga mau cetak ulang. Capek.
Ramein bab ini kalau masih mau baca. Kalo ga mau, ya udah. Kaga maksa. Namanya juga gratisan. Suka2 yang baca mau lanjut atau kagak.
***
33 SCdH
Yasinta masih berada di dalam dekapan Hakim, ketika ponselnya bergetar dan dia terpaksa menoleh ke arah nakas. Namun, si tampan berwajah mirip Kim So Hyun menarik wajahnya dan kembali menyatukan bibir mereka, membuat perhatian Yasinta mudah saja teralihkan. Entah sejak kapan, aktivitas membuat anak jadi semacam candu dan mereka akan melakukannya bila bertemu setelah seharian memeras otak dan tenaga di tempat kerja.
Saat itu adalah hari Jumat malam, awal akhir pekan panjang yang memang ditunggu-tunggu Hakim sejak malam sebelumnya. Balas dendam yang paling menyenangkan itu tentu saja berakhir di atas tempat tidur dan keduanya masih menghayati kebersamaan itu ketika dering kedua terdengar lagi.
“Pak.”
“Jangan.” Hakim menggeleng sewaktu Yasinta meminta persetujuan agar dia bisa menjawab panggilan tersebut. Dia belum sempat melihat sang penelepon karena jarak tempat mereka berada dan nakas tempat tidur terpisah sekitar tiga meter. Apalagi saat ini Hakim melilit erat tubuhnya seperti ular sehingga amat sulit buat Yasinta untuk mengetahui.
“Siapa tahu dari kantor.”
Apalagi kalau sang penelepon adalah orang kantor. Apakah mereka tidak tahu definisi pulang kerja dan beristirahat? Apalagi waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Seharusnya, tidak ada lagi yang mesti dirapatkan atau malah dibahas. Cukup tunggu hingga hari Senin nanti.
“Orang kantor nggak bakal menelepon.” Hakim mencengkeram kedua lengan Yasinta. Dia tidak mau melepaskan momen intim mereka yang tidak selalu terjadi setiap saat.
“Kalau bukan orang kantor, berarti Tante.”
Sampai di situ, Hakim langsung menghentikan gerakannya dan dia menatap wajah Yasinta yang balas menantang menatap Hakim tanpa ragu. Sepertinya, Ruhi Karmila punya efek mengerikan yang posisinya berada di atas nama Farihah atau Herman Sayadi, karena bisa membuat Hakim tidak melanjutkan kegilaannya dan kemudian berjalan dengan santai mengambil ponsel Yasinta sementara sang nyonya sibuk mencari-cari selimut demi menutupi tubuhnya.
“Memang Tante.”
Meski begitu, interupsi dering telepon nyatanya tidak membuat Hakim berhenti melainkan kembali melanjutkan pekerjaannya, membuat Yasinta mesti sesekali memejamkan mata dan mengunci mulutnya selama beberapa detik sebelum menggeser tombol terima.
“Ya, Tan?”
“Duh, pengantin baru lama amat jawabnya. Apa kamu lagi bikin anak?”
Memang, sahut Yasinta di dalam hati. Dia sempat melirik Hakim yang sibuk menggoda bininya, mengabaikan tangan Yasinta yang mencubit-cubit hidung serta pipi pria tersebut agar tidak mengganggunya di saat berteleponan dengan Ruhi. Namun, Hakim tidak peduli dan dia malah senang ketika Yasinta berusaha tidak mengeluarkan suara aneh yang membuat Ruhi makin gatal menggodanya.
“Tante kepo? Nanti mau bikin juga, tapi nggak ada pasangannya, kan susah.”
Jawaban Yasinta malah memancing Hakim untuk balas mencubit pipinya hingga membuatnya mengaduh dan Yasinta segera saja melotot kepada suaminya, “Bapak, ih. Orang gue main-main.”