36• Fakta

125 13 1
                                    

Aku lupa pada kenyataannya jika ini hanya sementara dan bersifat semu semata.

°°°

Langkah kaki Bara menelusuri area jalan pemakaman. Dengan kacamata hitam beserta baju hitam yang sering ia gunakan ketika berkunjung ke tempat peristirahatan sang Mama, tak lupa pula membawakan bunga tulip putih yang selalu ia bawa ketika berkunjung.

Langkahnya berhenti, ketika berhasil menangkap siluet seseorang yang tengah berdoa di sana. Tak berlangsung lama, karena seseorang yang Bara perhatikan merasakan ada seseorang yang turut datang.

"Bara?" Hans nampak terkejut, tak menyangka terpegok datang kesana.

Bara tak pergi tak pula mendekat. Namun seolah sadar kembali pada keterkejutannya pula, Bara mendekat pada makam Lia. Menaruh buket bunga itu di nisan Lia. Menatap pada Hans yang masih terkejut. Ucapan Bara selanjutnya berhasil membuat Hans tak berkutik.

"Seberapa sering Papa berkunjung?"

Hans menundukkan pandangannya, menatap nisan bertuliskan nama Relia Amalia itu.

"Kamu tahu?"

Bara ikut berjongkok sama seperti Hans.

"Aku pikir Om Erga."

Hans tak menjawab, ia pun sama bingungnya.

"Papa mencintai Mama?"

Hans memejamkan matanya dibalik kacamata hitam yang ternyata menyimpan begitu banyak kesedihan di sana.

"Selamanya akan begitu, Lia sosok yang begitu mudah dicintai siapapun."

Bara menatap nisan Mama nya seraya tersenyum tipis, sangat tipis.

"Mama pasti bahagia sekarang ya Pa?"

Ucapan Bara membuat Hans merangkul bahu Putranya, membuat Bara terkejut. Mereka dilanda kecanggungan. Ini kontak fisik ternormal yang pernah mereka lakukan setelah Bara beranjak dewasa.

Kedua pria itu sama-sama menunduk, Hans mengusap perlahan bahu Putranya.

"Mama-mu pantas bahagia, Bara," pelan namun Bara mendengar isakan yang tak sengaja keluar dari bibir Hans.

"Papa tidak tahu sampai kapan bayang-bayang kesakitan Mama-mu kala itu akan lepas dari kepala ini."

Bara menoleh cepat.

Hans meremat dadanya pelan, lalu tertawa pelan.

"Penyesalan itu selalu menghantui Papa setiap malam. Tapi, Papa selalu menutup mata dan menganggap itu hanya karena perasaan cinta itu masih ada. Semakin lama, kepergian Lia membuat P-papa..." ucapan Hans terhenti. Ia menangis sejadi-jadinya. Setiap orang punya kelemahan masing-masing kan?

Bara membalas perlakuan Ayahnya itu dan perlahan ikut mengelus bahu Hans. Kedua pria yang sama-sama kehilangan itu tengah saling menguatkan.

"Bar katakan pada Papa bagaimana cara menebus rasa sakit ini?"

Bara diam, ia pun tak tahu.

"Izinkan Papa peluk kamu sekali saja, apa boleh?"

Tanpa menjawab, Bara langsung memeluk Ayahnya. Pelukan yang sejak dulu ia tunggu dan berharap waktu itu akan tiba, akhirnya terjadi.

"Maafkan Papa jika malah akan merusak kebahagiaanmu lagi Bar. Benci Papa semaumu, tapi jangan pernah berkeinginan untuk meninggalkan Papa sendiri. Karena Papa hanya punya kamu."

Bara tak merespon, pelukan ini tak sehangat pelukan Lia, tapi Bara merasakan perasaan dilindungi.

°°°

Hening Untuk Bara [TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang