Bab 1 Surat Perceraian

396 43 9
                                    

Selamat Membaca!


DUA MAWAR || Bab 1 Surat Perceraian
🥀🥀

"Apa jadwalku hari ini?"

Seseorang duduk dengan nyaman dengan tumpukan dokumen di ruangannya. Mata biru tuanya tak lepas dari deretan huruf yang datang tiada habisnya. Tangannya sibuk memilah, mengecap, atau membubuhkan tanda tangan. Dia bukan artis, tapi satu tanda tangannya bisa mengubah hidup banyak orang.

Sedangkan pria tua di dekatnya membawa sebuah papan berisi informasi yang diinginkannya barusan. Pria berkumis tebal itu menjelaskan dengan singkat, tapi berbobot.

"Selain itu, Anda mendapatkan surat dari Nona, Tuan."

Tangannya lantas berhenti. Tanpa melepas kacamatanya, dia melirik pada sang ajudan. "Nona siapa yang kau maksud?"

"Tentu saja, istri Tuan. Nona Alraisha."

Tuannya tertawa lirih. "Setelah lama tidak mengganggu, kupikir dia sudah mati. Ternyata masih saja mengirimkan surat dengan konyol? Dia masih saja ketinggalan jaman atau bertingkah sok romantis? Bakar saja kertas tak berguna itu, Frank."

"Tapi ... itu saya rasa sulit, Tuan."

Frank langsung membawa surat yang dia maksudkan ke hadapan Tuannya. Dia nampak gugup dengan respon sang tuan hingga seluruh tubuhnya bergetar.

"Apa ini? Surat perceraian? Apa maksudnya, Frank?"

Pria itu menatap Frank dengan tajam lewat matanya yang berwarna biru jenis biru mesir. Dia melepaskan kacamata untuk memberikan kesan intimidasi lebih mendalam.

"Se ... seperti yang tertulis di sana, Tuan. Nona mengajukan perceraian. Bahkan, beliau juga mengirimkan beberapa perhiasan yang nampaknya untuk membayar sanksi denda," terang Frank berusaha tetap berdiri meski tubuh tuanya sudah tak mampu.

Tawa terdengar di seluruh ruangan setelahnya. Frank tak bisa ikut tertawa karena tahu itu bukan tawa kesenangan. Justru aneh jika Tuannya yang selalu bertingkah dingin tiba-tiba tertawa.

"Frank."

"Ya, Tuan?!"

"Kapan terakhir kali dia bertingkah gila?"

Frank tahu yang dimaksudkan adalah menganggu Tuannya dengan senyuman sang nona, pemberian hadiah, permintaan minum teh, pendamping pesta, atau bahkan larangannya bertemu sang kekasih. Sebab itu juga sang Nona diasingkan di tempat paling jauh di Provinsi Itya.

"Sekitar sebulan, Tuan."

"Baiklah, siapkan mobil. Hapus semua rencana kunjunganku hari ini. Pergilah."

Sang ajudan langsung menjawab dan melangkah pergi dari ruangan. Meninggalkan Tuannya yang meremas surat perceraian tadi dengan murka.

"Kau seenaknya meminta pernikahan dan kau juga seenaknya meminta perceraian. Hidupmu memang harus kubuat lebih menderita, Naufa Alraisha."

***


Sebuah rumah sederhana berlantai dua menjadi tujuannya kali ini. Harlord, Tuan dari Frank menatap datar rumah pemberiannya dibalik jendela mobil. Rumah itu nampak megah sebab berada di ujung pulau dan dikelilingi beberapa pohon kelapa. Saat siang hari seperti ini pun, pemandangan di sekitarnya terlihat indah dengan suara ombak yang melambai-lambai.

"Rumah ini terlalu bagus untuknya. Harusnya kuberi kandang kuda saja," gumamnya ketika keluar dari mobil dan masuk ke pekarangan rumah.

Pengawal dan pelayan sudah menyambutnya. Harlord pun tanpa basa-basi langsung menanyakan keberadaan perempuan yang selalu mengganggu hidupnya itu.

"Di mana perempuan gila itu?"

Seakan sudah terbiasa, pelayan menjawabnya dengan tenang dan mengantarkan Harlord menuju kamar utama di rumah itu. Namun, seorang pelayan lain menghentikan langkahnya ketika dia sudah berdiri tepat di depan pintu.

"Maafkan hamba, Tuan. Nona tidak bisa dikunjungi untuk saat ini. Mungkin Tuan bisa kembali sore hari nanti."

Alis Harlord langsung menukik tajam. "Kau kira aku punya waktu sesegang itu? Jangan bertingkah bodoh jika tak ingin nyawamu melayang! Cepat panggil majikan gilamu itu ke hadapanku!"

Pelayan itu berubah ketakutan, bahkan bicaranya semakin tak jelas. Dan tentunya itu mengundang amarah Harlord. Dia lantas mendorong sang pelayan yang berdiri di depan pintu hingga dia terjatuh. Tanpa rasa, dia juga membuka pintu dengan paksa yang menyebabkan suara menggelegar di seluruh rumah.

Mata biru Harlord memindai. Mencari mangsa seperti seekor hewan karnivora. Dia lantas melihat ada pergerakan di atas kasur.

"Ehm? Scarlet? Bukannya aku sudah bilang padamu untuk tidak menganggu tidurku?"

Harlord seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar. Pria itu lantas menghentakkan kaki menuju kasur yang tertutup tirai itu. Melihat dengan dua matanya sendiri jika perempuan gila itu sedang mengigau di siang bolong.

Rambut hitam panjang yang tersebar di atas bantal, selimut yang terjatuh, air liur yang menetes, hingga baju tidur putih yang sesuai dengan kulit pucatnya. Harold bukannya bergairah, dia justru semakin marah melihat perempuan yang berstatus istrinya itu.

"Hei, bangun atau kubunuh kau sekarang," ancamnya.

"Ehm?" Perempuan itu bahkan tak berniat membuka mata. "Aku tak tahu siapa kau, tapi keluarlah. Jangan ganggu tidurku!"

"Kau ini ... sungguh-"

"Tunggu, Tuan!" Pelayan yang menghentikannya di depan pintu tadi kini kembali menghalangi tangannya yang sungguhan ingin mencekik leher mulus yang tak tertutup kain apapun. "Bi-biar saya yang membangunkannya."

Tanpa menunggu persetujuan, pelayan yang Harlord tebak bernama Scarlet itu langsung menepuk pundak sang majikan dengan brutal.

Pertama, dia akan menepuk punggungnya dengan kuat. Jika tidak berhasil, dia menarik bantal yang menahan kepalanya. Terakhir, dia mengambil air dan membasuh wajah majikannya dengan cepat.

"Astaga, Scarlet! Kau benar-benar membuatku marah!" Perempuan itu akhirnya membuka mata. Dia menarik rambut hitamnya ke belakang, memperlihatkan wajahnya yang tanpa tertutup poni.

Sebelum sempat mengumpat, dia tertegun melihat seorang pria di hadapannya. Scarlet tanpa dosa undur diri keluar ruangan kamar bernuansa putih itu.

"Sudah bangun? Perempuan Gila."

Sang perempuan meneliti wajah tampan di hadapannya. Dia tak memiliki banyak kenalan lelaki. Namun, pemilik bola mata biru dengan rambut hitam yang klimis itu terasa tak asing. "Ah, Harlord?"

Usai menebak, perempuan itu justru memperbaiki posisi bantal dan meraih selimut. Hendak kembali tidur.

"Hei!" Harlord berteriak tak terima. "Siapa yang menyuruhmu kembali tidur?!"

Perempuan yang menyadari rasa sakit di lengan kanan akibat cengkraman Harlord, tiba-tiba tersenyum. "Astaga. Kupikir aku sedang bermimpi. Melihat pria yang sudah membuang bahkan mengharapkan kematianku justru berada di hadapanku. Apakah waktu kiamat sudah dekat?"

"Konyol. Kau pikir aku ke mari karena mau?"

Perempuan tadi menahan tawa sembari bergumam, "Malu-malu ternyata."

"Sudahlah! Aku ingin bicara denganmu. Ganti pakaianmu!" timah Harlord melepas cengkramannya. Baru hendak memanggil pelayan, ucapan perempuan gila itu mengusiknya kembali.

"Memangnya dari tadi kita tidak berbicara? Lagipula kenapa dengan pakaianku?"

Bukannya bertingkah seperti wanita polos, istri Harlord itu justru sengaja melipat kakinya hingga menyikap baju tidurnya. Memperlihatkan paha putihnya dan memangku dagu dengan tangan. Memberikan seringai seperti seorang penantang.

"Kalau kau menerobos kamar perempuan seperti ini, berarti kau juga siap melihat pemandangan semacam ini, bukan? Jadi, mari kita bicara dengan nyaman."

Harlord tak berkutik. Dia terkejut dengan kelakuan sang istri yang semakin berani padanya. Padahal, sebelum ini istrinya selalu menatapnya penuh puja dan tersenyum manis.

Ada apa sebenarnya?

***
Bersambung ...

DUA MAWAR || 🥀🥀
© Nafa Azizah

Dua Mawar [END Masih Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang