Selamat Membaca!
○
○
○DUA MAWAR || Bab 10 Perempuan yang Dicintai
🥀🥀
Tanggal 19 November adalah hari yang terik. Terlalu terik untuk acara pemakaman. Cuaca memang tak selalu berpihak pada manusia. Justru, ia suka seenaknya sendiri. Seperti memberi panggung pada matahari tanpa ada awan sebagai pemeran figuran. Matahari bersinar begitu terang sebagai pemeran utama.
Berpakaian hitam tentu bukan ide bagus. Namun, dua orang itu tetap memakainya sebagai bentuk penghormatan terakhir pada jenazah. Berada di tanah asing sendirian dan terpencil mungkin tempat peristirahatan terbaik baginya. Kedamaian adalah hal penting saat ini.
“Selamat tinggal, Nau. Semoga kau tenang di sana,” ucap sang perempuan yang rambut pirangnya mulai pudar. “Yah, kalau belum tenang, aku akan membalasnya untukmu,” imbuhnya sedikit memelankan suara.
Tangannya yang tertutup sarung tangan renda hitam itu mengusap batu nisan bertuliskan Naufa Alraisha. Saudara kembar yang pergi meninggalkannya lebih dulu. Kematiannya yang dirahasiakan oleh semua orang. Demi sebuah balas dendam penderitaan yang dialami semasa hidup.
“Kau yakin tidak tinggal lebih lama? Aku bisa menunggumu, selama apapun itu.”
Perempuan itu melepas topi jenis pie hat miliknya. Membiarkan rambut depan yang tidak terkucir menari bersama angin. Sudut matanya sembab, tapi bibirnya tersenyum tipis pada pria yang berbincang dengan dirinya.
“Tidak, Aroon. Aku bisa kembali lain hari. Toh, hatiku justru semakin tak tenang jika berlama-lama di sini,” jawab Nafa berjalan menjauh dari makam.
Aroon menurut. Dia mengikuti langkah kaki Nafa dalam diam hingga ke mobil. Menyalakan mesin, lalu pergi tempat sepi itu.
“Aroon, kau masih ingat dengan perkataanmu?” tanya Nafa dengan tatapan masih melihat pepohonan eboni.
“Kau tahu aku berbicara banyak setiap harinya, Naf. Apalagi saat bersamamu. Namun, apapun yang kukatakan, aku pasti melakukannya untukmu. Jadi, katakan saja apa keinginanmu. Akan kuusahakan untuk terkabul,” jawab Aroon santai.
Pria itu selalu punya cara menyenangkan perempuan. Tidak asal mengubar janji, tidak asal mengiyakan hal yang tidak dia ingat.
“Kalau begitu, bantu aku balas dendam.”
Sesampainya di rumah, Nafa segera mengganti baju dan melempar dokumen ke meja. Kertas-kertas yang dia kumpulkan untuk mencari informasi. Tentu, dengan bantuan Aroon.
“Target kita adalah pria berengsek ini.”
“Wah, Pak Gubernur? Kenapa?”
Nafa berdecak. “Jangan berpura-pura, Aroon. Kau yang mengirimku ke sini. Berarti kau sudah tahu pasti apa hubungan Naufa dengan si berengsek ini, bukan?”
Nafa mengingat ketika dia butuh pekerjaan dan meminta bantuan pada Aroon. Walaupun awalnya Nafa berpikir dia akan diberi pekerjaan di toko milik Aroon. Namun, ternyata Aroon justru sengaja mempertemukannya dengan Naufa. Entah dia harus berterima kasih atau marah. Apapun itu, Nafa tahu Aroon melakukan itu untuk dirinya.
“Maaf, aku hanya bercanda.” Aroon tertawa pelan. “Lalu, apa rencanamu? Meminjam identitas Naufa dan membuatnya jatuh cinta, menyesal, lalu mencampakkannya?”
“Iih, gila. Rencana menggelikan apa itu?” Nafa mengernyitkan alis sambil menahan muntah. Kakinya diangkat ke meja dan bersilang. “Aku memang akan berpura-pura menjadi Naufa. Tapi, hanya meminjam namanya. Aku tidak akan meniru perilaku atau sifatnya.”
“Eh? Kenapa? Bukannya itu akan membuatnya curiga?”
Nafa tersenyum miring. “Aku ini bodoh, Aroon. Daripada menjadi sosok Naufa, lebih baik aku kacaukan pikirannya dengan sifatku. Toh, dia tidak bisa membuktikan jika aku bukan Naufa, kan?”
“Iya, sih.” Aroon mendekati Nafa. Menurunkan kakinya, lalu dengan sekali gerakan, dia memindahkan Nafa dalam pangkuannya. Kursi sofa itu dia duduki begitu saja. Tangannya menahan pinggang Nafa agar tetap seimbang dan hidungnya menyentuh dagu Nafa. Aroon menatap lurus ke arah bola mata biru Nafa.
“Tapi, aku kurang setuju dengan anggapanmu yang bodoh. Seharusnya aku yang bodoh, bukan kamu.”
Sedikit terkejut, Nafa berpegangan kuat dengan pundak Aroon. Wajah pria itu begitu serius ketika berbicara. “Kenapa?” tanya Nafa akhirnya.
“Bukannya banyak yang bilang jika orang yang jatuh cinta itu bodoh? Berarti aku bodoh sekarang,” jelas Aroon menenggelamkan kepalanya ke leher Nafa. Seperti anak kecil yang sedang merajuk. Tangannya bahkan memeluk pinggang Nafa dengan kuat.
“Astaga, anak ini!”
***
Kembali ke waktu sekarang, awal Januari setelah pesta tahun baru diselenggarakan.
Nafa menatap datar mainsion di hadapannya. Udaranya masih terasa sesak seperti saat pertama kali dia menginjakkan kaki. Apalagi, dia disambut lagi dengan para pelayan yang tunduk hormat. Bukan padanya memang.
Lirikan mata serta bisik-bisik mulai terdengar. Sungguh, para pelayan itu sangat tidak sopan. Apakah mereka pikir tidak ada yang mendengar gumaman itu?
“Anna.”
Wanita yang menjadi kepala pelayan itu maju dengan tubuh bergetar. Masih teringat wajah dingin Harlord yang memanggilnya tempo hari. Melihat Nafa yang dibawa kembali, tentu bukan kabar baik baginya.
“Berikan kamar untuknya. Kalau ada, kamar yang dekat dengan kamarku,” titah Harlord membawa keterkejutan bagi semua orang.
Nafa nyaris memprotes sebelum Anna melakukannya terlebih dahulu. “Eh? Kenapa tiba-tiba dia diberi kamar?”
“Kenapa juga kau mempermasalahkannya, Anna?” Harlord bertanya balik. Kini dengan wajahnya yang semakin dingin hingga Anna tak mampu mengalihkan pandangan.
“Kemarin kau tidak menjawab pertanyaanku. Sekarang kau berani bertanya padaku? Sejak kapan perintahku harus dipertanyakan olehmu, Pelayan?! Apa kau ingin pergi dari mainsion ini?!”
Bentakan Harlord membuat Anna dan pelayan lainnya menciut. Mereka biasanya mendengar suara tinggi itu, seharusnya mereka terbiasa. Suara tinggi yang awalnya ditujukan pada istri Harlord, saat ini justru ditujukan pada para pelayan.
“Ti-tidak, Tuan. Ma-maafkan hamba.”
“Lalu? Tunggu apalagi? Segera lakukan!”
Ketakutan, Anna langsung berlari ke mainsion tanpa berpamitan. Dia melupakan tata krama, memilih segera melakukan perintah sebelum nyawanya membeku.
“Berlebihan sekali. Bukannya dia sudah lama bekerja di sini? Kau yang rugi jika memecatnya begitu saja,” kata Nafa tergoda untuk buka suara.
“Justru karena dia sudah terlalu lama di sini. Dia beranggapan akan terus tinggal dan mulai kurang ajar. Sepertinya aku harus mendisplinkan mereka lagi.”
“Kau berkata seolah-olah semua ini untukku. Ingin membuat rumor, huh? Atau, memang itu kenyataannya?”
Tatapan tajam Harlord beralih pada Nafa. Perempuan gila yang juga kurang ajar. Bisa-bisanya dia beranggapan seperti itu. Harlord tidak mungkin jatuh hati pada perempuan yang membuatnya menderita dua tahun ini. Tidak!
“Jangan bicara omong kosong dan segera masuk!”
Nafa mengangkat bahu. Bukan urusannya juga jika Harlord ingin memecat semua orang. Sekarang, dia perlu melanjutkan rencana balas dendamnya.
Baru beberapa langkah, suara Harlord membuat Nafa berhenti. “Ingatlah, Naufa. Sekarang ini kau tidak bisa kabur atau bahkan keluar dari mainsion ini. Ini adalah kekalahanmu.”
Nafa melanjutkan langkah kakinya sembari menahan tawa. Ekspresi itu hanya dilihat oleh Scarlet yang sedari tadi mengikuti. Ekspresi seorang dealer yang berhasil menggaet penjudi untuk menyerahkan semua hartanya. Dia akan menjatuhkan Harlord seperti orang yang kecanduan judi.
“Apanya kekalahan? Permainan saja belum dimulai, Harlord Amartya.”***
“Harlord! Kau sudah kembali?”
Seorang gadis muda berambut pirang berlari mendekati pria dingin itu dengan langkah kecilnya. Tangannya menaikkan gaun merah muda yang sesuai dengan warna kulit putih.
Wajahnya berseri-seri. Senyuman yang manis dengan tatapan lembut yang menenangkan. Inilah perempuan yang berhasil meluluhkan semua pria, termasuk Harlord yang sedingin gunung es. Hanya pada perempuan inilah, Harlord bisa tersenyum senang.
“Isabelle. Aku merindukanmu,” kata Harlord lembut sembari memeluk tubuh mungil perempuan yang berwangi bunga dahlia itu.
“Aku juga. Beberapa hari ini kau tidak bisa ditemui. Menyebalkan! Memangnya apa yang kau lakukan sampai mengabaikan diriku?” sungut Isabelle mengurai pelukan dan bersedekap dada.
“Maafkan aku, Isabelle. Tapi, hari ini aku kosong. Bagaimana jika kita berjalan-jalan di kota? Kau butuh sesuatu? Akan kubelikan.”
Tawaran itu membuat sang perempuan berseri-seri kembali. Tanpa penolakan, dia menggaet lengan Harlord dan menuntunnya ke mobil.
Suasana penuh bunga-bunga indah itu disaksikan langsung oleh Nafa yang sedang menikmati makan siangnya. Dia makan terpisah dengan Harlord, berbeda ruangan dan tentunya berbeda waktu.
“Anjing. Mataku ternodai!” umpatnya melempar garpu. Steak yang baru setengah disantap terasa memuakkan sekarang.
“Menggelikan sekali ekspresi si Berengsek itu. Bahkan dia tidak mencoba menutupinya. Jadi, begini? Dia menyuruhku jauh dari Aroon tapi dia sendiri punya kekasih? Hah!”
Nafa bangkit dari kursinya, berjalan menuju kamarnya sendiri lalu menekan tombol pada telepon. Tidak perlu mendengar dering kedua, Nafa langsung tahu jika orang yang dia telpon akan segera menjawab.
“Nafa? Ada ap—“
“Aroon! Ayo, kita kencan!”***
Bersambung ...DUA MAWAR || 🥀🥀
© Nafa Azizah
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Mawar [END Masih Lengkap]
FantasyNaufa meninggalkan semuanya demi cinta yang membutakan. Dua tahun bertemu, bukannya menyesal, Naufa justru bunuh diri di depan kembarannya. Nafa, sang kembaran merasa marah dan benci. Namun, tak ayal dia juga merasa sedih. Kebingungan, Nafa pun akhi...