Selamat Membaca!
○
○
○DUA MAWAR || Bab 22 Penyesalan
🥀🥀
Ada yang bilang, angin bisa menerbangkan segala masalah. Dengan pergerakannya yang lembut dan tanpa wujud, angin dengan mudah membawa hal-hal yang dirasa berat bagi manusia. Dengan menikmati angin sepoi, hati bisa menjadi tentram.
Ditambah dengan pemandangan alam yang memperliatkan pegunungan yang masih asri dan dipenuhi pepohonan. Burung-burung kecil yang terbang mencari makan dan sinar mentari yang hangat. Alam selalu punya cara untuk memberikan kedamaian.
“Mbak Nafa, kapan aku bisa keluar dari sini?” tanya remaja laki-laki yang berbaring dengan kepala di paha perempuan yang dianggapnya sebagai kakak itu.
“Kau benci tempat ini?”
“Tidak, tapi aku ingin bersama Mbak Nafa.”
Nafa duduk bersandar pada Aroon. Mereka bertiga berada di sebuah pohon rindang dengan beralas karpet putih. Di hadapan mereka terdapat beberapa makanan ringan dan minuman. Aroon sendiri sibuk dengan bukunya. Dia sudah lelah setelah berdebat lama dengan Andrew.
“Tunggu saja. Umurmu lima belas, bukan? Kemampuan sihirmu akan terkendali saat berumur tujuh belas,” kata Nafa sedikit mengusap rambut silver milik Andrew. Selain memiliki warna pupil mata yang berbeda, rambut Andrew juga yang paling berbeda dibandingkan keluarga kerajaan yang lain.
“Saat kau berumur tujuh belas nanti, kau akan mendapatkan kartu kependudukan. Sekilas, kartu itu seperti kartu biasa, tapi ada beberapa hal yang tidak kau temukan di kartu itu. Benar, kan, Aroon?”
Pria itu mengangguk. Lebih mengerti perihal kartu itu sebab salah satu cabang toko keluarganya membantu pembuatan kartu yang wajib dimiliki oleh warga Tora. Meskipun hanya membantu dalam pencarian bahan, Keluarga Russell salah satu keluarga yang memegang kerahasiaan besar yang ditutupi dari masyarakat.
“Mudahnya, kartu itu juga diberi sihir. Mereka mengekstrak bebatuan sihir sebagai bahan campuran. Masyarakat hanya tahu jika kartu itu bisa memberikan poin ketika mereka melakukan kebaikan yang lalu bisa ditukar dengan uang. Sistemnya sedikit rumit, karena kartu itu bisa mendeteksi semua pergerakan pemiliknya. Saat berbuat jahat pun, kartu itu juga akan bereaksi. Kartu kependudukan tidak akan hilang, karena kartu itu akan selalu kembali ke pemiliknya saat jarak antara kartu dan pemiliknya lebih dari lima meter. Bisa dibilang, kartu itu akan menempel padamu seumur hidup.”
“Ew, kok menjijikan,” komentar Andrew.
Aroon sedikit tertawa sinis. “Itu untuk menghindari kecurangan. Meskipun catatan kebaikan dan kejahatan ada, bisa saja dimanipulasi, tahu? Manusia lebih percaya pada benda mati dibandingkan manusia lainnya.”
“Ironis sekali. Itu juga berarti semua pergerakan kita diawasi oleh pemerintah. Makanya, tingkat kejahatan di Tora tak sebesar negara lain. Karena langsung terdeteksi dan diatasi,” tambah Nafa.
“Karena itu juga kau tak membunuh suami saudarimu, Mbak Nafa?”
Nafa membenarkan. Inilah alasan mengapa dia berbelit-belit dalam melakukan rencananya. “Betul. Kalau aku membunuh atau melukainya secara langsung, aku akan tinggal di mana?”
Andrew termenung. Andaikan dia sudah dewasa atau memiliki posisi penting di Kerajaan, dia pasti bisa membantu Nafa. Sayangnya, dia hanya anak yang dibuang dan tidak diharapkan. Kemampuan sihirnya yang berlebihan membuatnya dianggap sebagai monster bahkan oleh ayahnya, Raja saat ini.
“Lalu, bagaimana kartu ini akan mengendalikan sihirku?”
Nafa melirik ke Aroon, memintanya menjelaskan lagi. Toh, memang dia yang lebih mengerti perkara ini.
“Milikmu akan dibuat secara khusus. Diambil dari beberapa cairan tubuhmu yang pada akhirnya dicampur dengan batu sihir yang akan membatasi sihir di sekitarmu terserap. Kau sulit mengendalikan sihir karena tubuhmu menyerap semua sihir lalu akhirnya meledak-ledak.”
Itu juga menjelaskan mengapa Andrew dikurung dalam Greenhouse. Dia yang berbeda dari rata-rata warga Tora harus diteliti dan diberikan kartu yang berbeda. Sama seperti Nafa dan beberapa pemilik warna pupil mata yang gelap. Meskipun Harlord memiliki warna biru yang lebih gelap dibandingkan Nafa, dia masih bisa mengendalikan sihirnya saat kecil.
“Tapi, terlalu lama menunggu waktu dua tahun. Aku ingin membantu balas dendam Mbak Nafa saat ini,” gerutu Andrew bangkit dari posisi rebahannya. Dia salah satu orang yang mengetahui masalah pelik Nafa dengan Harlord.
“Balas dendam? Kepadaku? Memangnya aku pernah berbuat apa?”
Suara Harlord tiba-tiba muncul. Atmosfer di sana mendadak berubah. Lebih mencengkam, lebih dingin. Aroon sampai menutup bukunya demi mewaspadai pria yang menghancurkan hidup saudari kekasihnya itu.
“Kau berpura-pura bodoh?” Andrew angkat bicara. Bocah sepertinya lebih mudah berkata seenaknya. Hingga akhirnya Aroon memintanya untuk tidak asal ikut campur.
“Selama ini aku berpikir,” kata Harlord semakin mendekat, “Apa motifmu melakukan penyamaran? Alasan apa dibalik semua tindakanmu yang sembrono, mengancam, bahkan terasa ingin membunuhku kadang kala. Seakan aku sudah melakukan dosa besar padamu. Tapi, apa? Aku belum lama tahu tentang kau. Apa yang sudah kulakukan padamu?”
Harlord terlihat frustasi. Dia muak berpikir sesuatu di luar kapasitasnya. Dia stress dengan semua kebenaran yang didengarnya hari ini. Semakin dia dalami, dia semakin tak mengerti. Apa salahnya hingga harus menerima ini semua?
“Salahmu?” Nafa bangkit, dia berdiri mengarah pada Harlord dan menatapnya dalam. Memberikan pandangan tak percaya pada seseorang yang seakan melakukan kejahatan tapi tak mau mengakui.
“Kesalahanmu adalah bertemu dengan Naufa! Kau membuatnya buta dalam cinta dan akhirnya meninggal karena cinta juga. Dan, kau masih bertanya apa salahmu?! Satu-satunya kesalahan di sini adalah kau yang mengulurkan tangan untuk berkenalan! Seharusnya kalian tetap menjadi orang asing saja.”
Harlord menelan ludah. Baru kali ini dia melihat Nafa yang meledak-ledak karena emosi. “Meninggal? Siapa?”
Nafa tertawa. Begitu keras hingga membuat angin takut untuk bergerak lagi. “Naufa sudah mati, Berengsek! Menyusul anaknya yang kau bunuh juga!”
Pria itu tak malu untuk menutup mulut. Sekelibat ingatan tentang sang istri muncul. Saat malam kesalahannya, saat dia meminta bantuannya, saat Harlord mengusirnya. Semua itu terekam jelas dengan posisi tangan Naufa selalu di depan perutnya.
“Waktu itu ... dia hamil?!”
“Dan, lucunya. Aku bahkan tak bisa membencimu.”
“Hah?” Harlord tak mengerti. Itu tidak masuk akal atas semua perbuatan Nafa padanya. Apalagi jika memang Harlord melakukan semua itu, bukankah wajar dia dibenci?
Namun, Nafa mengingat pesan terakhir sang saudari, “Jangan membencinya, Kak.”
“Bukannya kau ingin membalas dendam?”
Pertanyaan Harlord membuat Nafa tersentak. Semua emosi yang dia tahan selama ini akhirnya meledak. Dia berjalan dengan tanpa alas kaki, menghampiri Harlord yang berada di luar bayangan pohon. Menarik dasi birunya agar tubuhnya yang tinggi itu setara dengannya.
“Aku terpisah dengan Nau sejak kecil. Dipaksa berada di tempat terpencil bahkan menjadi kelinci percobaan supaya dia hidup lebih baik. Karena dia ingin keluarga, ingin hidup normal seperti orang lain. Aku menahan semua rasa sepi dan sakit itu demi kebahagiaan Naufa. Tapi, apa? Setelah aku kembali, aku malah menemukan fakta dia jatuh cinta pada pria berengsek yang menyiksanya dengan dalih cinta! Kau membuatnya buta cinta, kehilangan buah hatinya, dan harapan hidup! Dia mati di depan mataku! Dan kau menyebut semua ini hanya untuk balas dendam?!”
Nafa mengguncang tubuh dan mental Harlord. Teriakannya menggema hingga jantungnya terasa dihantam palu yang besar. Suaranya terdengar marah, tapi ekspresinya menahan tangis.
Harlord ingin beralasan, tapi dia tahu bukan itu yang Nafa harapkan. Gadis itu, hanya membutuhkan satu hal yang membuatnya tenang. Membuatnya bisa lepas dari bayang-bayang sang kembaran.
“Maaf ... Maafkan aku. Aku tahu ini sungguh terlambat, tapi aku meminta maaf untuk semuanya.”
Air mata Nafa tumpah. Benar, hanya ini yang dia dengar. Ini yang dia ingin dapatkan sejak kematian sang saudari. Dia tak ingin memberi karma, tak mau membalaskan dendam, karena sejak awal pun, Naufa tidak menginginkan hal itu.
Nafa hanya ingin Harlord tahu apa kesalahannya, ingin dia menyadari keberadaan Naufa selama ini, dan memberikan permintaan maaf.
“Bodoh! Katakan itu pada Nau!”***
Bersambung ...DUA MAWAR || 🥀🥀
© Nafa Azizah
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Mawar [END Masih Lengkap]
FantasyNaufa meninggalkan semuanya demi cinta yang membutakan. Dua tahun bertemu, bukannya menyesal, Naufa justru bunuh diri di depan kembarannya. Nafa, sang kembaran merasa marah dan benci. Namun, tak ayal dia juga merasa sedih. Kebingungan, Nafa pun akhi...