Bab 23 Akhir Peperangan

201 6 0
                                    

Selamat Membaca!


DUA MAWAR || Bab 23 Akhir Peperangan
🥀🥀


Isabelle tercengang. Dia melihat dari menara Greenhouse atas permintaan Harlord. Dia bilang, akan menyelesaikan masalahnya dengan Nafa. Tapi, yang dia lihat justru Nafa yang menangis dan kekasihnya yang tertunduk seperti menahan tangis juga.

Perempuan manis itu semakin tak mengerti. Saat Harlord memutuskan kerja samanya dengan Putri Selena, Isabelle merasa jika Harlord sedikit berubah. Dia menjadi pria asing yang tak dikenalinya.

“Putri Selena. Boleh aku bersamamu?”

Karena itu, dia memilih untuk meninggalkannya. Harlord yang sekarang sudah tak bisa lagi melindunginya. Harlord pasti akan mengusirnya jika dia sudah berpihak pada Nafa. Sebelum hal itu terjadi, Isabelle lebih memilih pergi.

Meninggalkan pria yang sudah mencintainya selama beberapa tahun.

“Tapi, kenapa? Bukannya kau mencintainya?” tanya Putri Selena.

Isabelle terdiam. Cinta? Entahlah. Mungkin Isabelle selama ini hanya memanfaatkan Harlord. Dia bertahan hidup dengan cara bergantung pada orang lain. Karena dia tidak punya siapa-siapa lagi.

“Cinta saja tidak cukup untuk bertahan hidup, bukan? Yah, putri yang serba berkecukupan sepertimu tidak akan mengerti,” sarkas Isabelle mengingat rumor sang putri yang masih panas.

“Kau juga tak mengerti rasanya punya keluarga tapi tidak dianggap. Mungkin lebih baik tidak punya saja sekalian. Wajar dong, kalau aku cari orang yang menganggapku meski itu bukan bangsawan.” Putri Selena membalas.

Kedua perempuan itu justru beradu nasib. Namun, pada akhirnya, keduanya saling memahami jika mereka sama-sama mencari cinta dan bertahan dengan lepas dari status yang membelenggu.

Kenapa seorang putri harus menikah dengan bangsawan? Kenapa perempuan yang memiliki latar belakang tanpa orang tua dipandang rendah hingga tak boleh meraih mimpinya?

***


“Aku akan mundur dari pemilihan perdana menteri.”

Tangis Nafa terhenti, digantikan oleh rasa kejut yang menyebar sebab pernyataan mantan musuhnya. Wajah pria itu bahkan masih terlihat sangat bersalah meski Nafa sudah memaafkannya.

“Aku tidak pantas. Lebih baik aku merelakan posisi ini pada orang lain yang lebih baik. Jika aku mundur, kematian Naufa tidak akan tersebar, bukan?” imbuh Harlord melirik ke arah Aroon. Dia lebih merasa bersalah atas semua perbuatannya. Harlord pun memilih merelakan ambisinya agar menembus rasa penyesalannya.

Plak!

Yang didapatkan justru tamparan Nafa yang membekas di pipi Harlord. “Setelah tobat menjadi berengsek, kau sekarang ingin menjadi pengecut?!”

“Benar. Pemilihan DEPARA juga sudah berakhir. Kau sudah tak bisa mundur. Pemilihan perdana menteri hanya tinggal beberapa minggu. Yang menentukan kau bisa menjadi perdana menteri atau tidak, bukan kau.” Aroon menepuk pundak Harlord. Memberikan kekuatan sekaligus persaingan terakhir dari keduanya.

Pemilihan perdana menteri diambil melalui anggota DEPARA yang sudah dipilih dari masing-masing perwakilan partai secara demokrasi oleh rakyat. Setelah itu, anggota DEPARA yang berisi lima ratus orang, akan memilih satu kandidat perdana menteri yang mana akan dinyatakan sah jika berhasil mendapatkan suara sebanyak dua ratus lima puluh satu atau setengah ditambah satu dari total anggota.

Saat ini, pemilihan DEPARA sudah dilakukan. Kini, tinggal selangkah lagi bagi kedua orang itu untuk menentukan siapa yang akan menjabat sebagai perdana menyeri yang baru.

“Soal kematian Nau, itu bukan rahasia yang akan selamanya tertutup. Jadi, ada baiknya segera dipublikasikan. Kau tak perlu memikirkan itu, Harlord.” Nafa menambahkan itu sebelum akhirnya membalikkan badan tanpa peduli apakah Harlord akan berubah pikiran atau tidak.

Namun, itu sudah cukup bagi Harlord untuk kembali melanjutkan peperangan mereka. Benar, dia juga punya janji yang harus dilunasi. Melarikan diri tentu bukan sebuah solusi.

***


Hari Jumat adalah hari penentuan. Bulan Agustus sebagai bulan bersejarah sebagai bulan pergantian perdana menteri yang baru. Semua prosesnya terekam oleh kamera. Disiarkan ke seluruh negara bahkan dunia. Agar warga tahu dan menghindari kecurangan. Mereka semua bersaksi, demi calon pemimpin Negara Tora.

“Kau yakin tak bersamanya?”

“Tentu. Harlord juga menginginkannya. Dia sudah tak peduli lagi dengan rumor.”

Aroon melirik ke arah Nafa. Perempuan yang menutupi wajahnya dengan topi dan kacamata. Pakaian gaun gelap yang panjang jelas untuk menutupi identitasnya. Keduanya duduk bersama di tempat pemilihan berlangsung. Hanya terdiri dari anggota DEPARA dan keluarganya saja. Dan Aroon beralasan dia membawa sang adik sebagai penyamaran.

“Lagipula, kau yang lebih membutuhkan dukungan, bukan?” imbuh Nafa tersenyum ke arahnya. Mengalihkan pandang ke arah Harlord yang duduk sendiri tanpa pasangan. Hanya terdapat teman satu partainya yang setia menemani.

Aroon membalas senyuman itu, “Yah, kau benar, Naf. Harlord pasti akan mendapat banyak pernyataan selamat setelah ini.”

Setelah itu, terdengar suara perwakilan pengawas pemilihan yang membawa pengeras suara dan selembar kertas untuk dibacakan olehnya. “Dengan ini, saya akan mengumumkan calon perdana menteri Negara Tora selanjutnya. Dengan total suara dua ratus delapan puluh lima dari total anggota DEPARA, jatuh kepada ... Harlord Amartya!”

Suara sorak dan tepukan tangan menggema. Semua orang melepas ketegangan dengan rasa kegembiraan. Harlord yang nampak tak percaya meski sudah ditempuh pundaknya berulang kali. Justru teman satu partainya yang menangis haru.

“Tuh, kan. Mana bisa aku memenangkan lawan yang sudah memiliki jejak kepemimpinan sepertinya? Wilayah Itya cukup berkembang berkat Harlord. Sedangkan aku? Hanya penjual barang-barang,” komentar Aroon yang seolah mengetahui hasil akhir pertarungan ini.

Toh, sejak awal, dia masuk ke dunia politik hanya untuk memanas-manasi Harlord saja. Aroon tak memiliki ambisi sebesar itu untuk menjadi pemimpin negeri. Meskipun setelah ini dia harus menerima omelan ayahnya karena melanggar janji.

“Kau menyesal?” tanya Nafa seakan membaca pikirannya.

“Tidak.” Aroon dengan cepat mencium pipi Nafa untuk mengusir kekhawatirannya. “Aku kan sudah bilang akan melakukannya demi dirimu. Soal Ayah, paling dia cuma marah sebentar. Mau bagaimanapun, aku ini anak lelaki kebanggannya, tahu?”

“Ya kan adik-adikmu semua perempuan!”

Keduanya tertawa lepas. Melepas semua penat serta masalah pelik yang membelenggu. Masa lalu yang terbayang kini mulai memudar. Bukan untuk dilupakan, melainkan sebagai pembelajaran. Melepas demi berjalan menuju masa depan yang diharapkan.

Sudah tidak ada lagi penyamaran, akting, topeng, ataupun persembunyian. Mereka berdua sudah bisa menunjukkan diri sebagaimana mestinya. Bukan sebagai Naufa, melainkan Nafa Alraisha. Perempuan Indonesia yang hidup di Tora.

“Ngomong-ngomong. Kau suka aku dengan rambut panjang atau tidak?”

“Kenapa? Kupikir kau akan tetap cantik selagi tidak merubah namamu lagi,” jawab Aroon yang sepertinya masih tak suka jika harus terus memanggil Nafa dengan nama yang lain.

“Aku mau memotong rambutku. Toh, peranku sebagai Naufa selesai. Aku ingin kembali menjadi Nafa yang bebas!” Nafa memegang rambutnya lalu melipatnya seolah menunjukkan bagaimana penampilannya ketika berambut pendek.

Aroon hanya tersenyum. Mungkin dia nanti tak bisa mencium ujung rambut Nafa seperti biasanya, tapi dia tetap bisa menyentuh rambut hitam itu dari dekat.

“Baiklah. Aku tak sabar dengan itu.”

***
End ...?

DUA MAWAR || 🥀🥀
© Nafa Azizah

Dua Mawar [END Masih Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang