Bab 6 Perempuan

207 19 9
                                    

Selamat Membaca!


DUA MAWAR || Bab 6 Perempuan
🥀🥀

Russell. Adalah keluarga kaya yang berasal dari Kota Butas, ibukota Provinsi Gewa, wilayah barat Negara Tora. Keluarga ini terkenal sebagai saudagar barang industri yang memiliki kualitas tinggi. Hampir setiap barang memiliki merek Phoenix, lambang keluarga Russell yang bergambar burung api legendaris tersebut.

Pusat perdagangan mereka berada di Kota Butas, tetapi toko milik keluarga Russell sudah menyebar ke seluruh negeri. Bahkan, beberapa produknya juga diekspor ke luar negeri. Memiliki empat anak, masing-masing mereka mengelola toko di ibukota setiap provinsi. Baru-baru ini, Aroon sang putra sulung meminta untuk menukar posisinya dengan adik bungsu yang berada di Kota Kulipa, Provinsi Itya.

Dengan seribu alasan logis yang dibutuhkan pebisnis, Aroon berhasil meyakinkan sang ayah dan mendapatkan izin untuk bertukar posisi. Walaupun Arifin, sang ayah tetap memantaunya secara langsung.

“Saya pernah bertemu dengan putra Anda di pelosok Itya, Pak Arifin. Lebih tepatnya, dua hari yang lalu.” Harlord menyadari jika hari sudah berganti. Apalagi riuh suara kembang api menyala-nyala di balik jendela.

Pria gempal itu mengangkat tehnya sembari mengingat-ingat. “Waktu itu Aroon berkata padaku jika dia ingin menyelidiki kepercayaan mistis asli warga Itya. Katanya untuk mengembangkan produk atau apalah itu.”

Harlord tertawa dalam benaknya. Menyelidiki apanya? Putramu sibuk berkencan dengan istri orang lain, tahu!

“Tapi, untuk apa Pak Harlord sampai di pelosok Itya?”

Pertanyaan Arifin membuatnya tertegun. Memang sungguh jiwa pebisnis, mereka terlalu berputar-putar pada hal yang tidak menguntungkan baginya. Justru, orang seperti Arifin ini akan terus menggali informasi yang bisa dia manfaatkan. Karena itulah, mereka juga jeli terhadap pergerakan penguasa daerah seperti Harlord.

Meskipun bukan gayanya, Harlord akan mengikuti alur yang dibuat oleh Arifin.

“Anda tahu Longak?”

“Hmm ... bukannya dia dukun?” tebak Arifin sok berpikir. Padahal dalam pikirannya jelas dia mengetahui pria tua yang tinggal di pelosok Itya, tak jauh dari rumah yang diberikan Harlord.

“Betul. Dia adalah dukun yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Bahkan dia juga membuat ritual yang konon katanya hanya dilakukan sepuluh tahun sekali. Bukan ritual yang berbahaya, tapi katanya sangat ampuh membuat orang yang sekarat hidup kembali.”

Arifin memasang wajah tertarik. “Wah, di pelosok sana tidak ada dokter, ya? Sampai-sampai orang semacam itu disebut dukun.”

“Saya sebenarnya juga tidak percaya,” ungkap Harlord menegakkan tubuh. Memberikan posisi percaya diri. “Tapi, tidak dengan masyarakat. Apalagi semenjak beberapa mahasiswa membuat film dokumenter tentang ritual itu. Kabarnya semakin meluas, itu membuat resah para pemuka agama.”

Arifin menganggukkan kepala. Memahami maksud basa-basi Harlord. Baiklah, pria tua yang memakai jas berwarna cokelat susu itu akhirnya memberikan jawaban atas pertanyaan Harlord.

“Ah, Aroon sedang keluar rumah, Pak Harlord.”

Harlord membeku. Mulai merasa perbuatannya sia-sia.

Arifin tersenyum melihat reaksinya. “Yah, ini kan malam tahun baru, Pak. Aroon juga orang muda. Dia pasti ingin bersenang-senang. Saya jadi berpikir apa dia punya pacar atau tidak.”

Ada, putramu sedang memacari istri orang!

Ingin rasanya Harlord mengatakan unek-uneknya itu.


***


“Aku melihat ada mobil asing di depan. Apakah ada tamu?”

Sesosok pria melepas sarung tangan hitam miliknya. Bersamaan dengan jas dan rompi tanpa lengan yang berwarna merah tua. Dia bertanya sembari memberikan barang-barangnya pada pelayan lelaki. Malam tahun baru itu, lagi-lagi hujan gerimis menjatuhkan diri. Beberapa sudut pakaiannya basah.

“Gubernur Harlord datang berkunjung, Tuan Muda.”

Senyum pria itu tak bisa ditahan untuk tidak keluar. Dia menyibak poni rambut ikal yang bergaya fluffy dengan wavy. Menyebabkan dahinya terlihat lebar dan menawan. “Wah, malam-malam begini? Kenapa?”

“Aroon! Kebetulan kau pulang!” seruan sang lelaki paruh baya dari pintu ruang tamu. “Ada yang ingin bertemu denganmu. Berbincanglah sebentar, Ayah ingin beristirahat.”

Tanpa mendengar persetujuan sang anak, Arifin langsung memutar kaki ke lorong rumahnya. Menuju kamar tidur yang berada di lantai dua. Menyisakan bayangan pria yang memberikan tatapan tajam di balik mata biru tuanya.

“Selamat malam, Tuan Harlord. Senang bertemu dengan Anda di awal tahun ini.” Aroon berjalan mendekat lalu menunduk hormat. Senyumnya sama sekali tak goyah terharap aura mematikan yang dipancarkan oleh lawan bicaranya.

“Tapi, tidak denganku, Tuan Muda Russell.”

Aroon tidak perlu bertanya, dia tahu kenapa pria itu menatapnya seperti seorang mangsa. Dia juga menahan diri untuk tidak tertawa lepas. Ekspresi pria yang konon katanya memiliki harga diri setinggi langit itu seperti anak kecil yang sedang merajuk.

“Aku takkan berbasa-basi.” Harlord sengaja berbicara informal. “Kembalikan apa yang sudah kau curi.”

“Heeh? Tapi saya tidak mencuri apapun, Tuan,” elak Aroon mengangkat bahu.

“Kembalikan selagi aku masih berbicara baik-baik!”

“Saya berkata sungguh-sungguh, kok. Saya tidak mencuri barang apapun milik Anda.”

Harlord mendesah. Aroon benar, perempuan gila itu pasti pergi sendiri. Dan Aroon hanya membantunya. Harlord mengubah pertanyaannya. “Bukankah aku sudah melarangmu bertemu dengannya? Kenapa kau malah membantunya bersembunyi? Untuk apa sebenarnya kau menurutinya?”

“Cinta? Aku akan membekukan rambut merah menyebalkanmu itu jika menjawab hal konyol semacam cinta,” ancam Harlord bersiap mengambil tongkatnya dibalik jas. Hanya berukuran 30 cm, tidak sulit untuk menyembunyikan benda yang meruncing ke ujung.

“Tidak penting apa motif saya, Tuan Harlord. Bukannya Anda lebih penasaran alasan istri Anda pergi? Setelah dua tahun lamanya dia mempertahankan diri untuk tinggal. Bahkan, jika tidak Anda usir hingga ke pelosok, istri Anda tidak mungkin keluar dari rumah. Kira-kira kenapa, ya, dia jadi berubah seperti itu?”

Alis hitam Harlord mengkerut. Ekspresi bingung sekaligus berpikir nampak dengan jelas di wajahnya. Selama ini dia tak pernah berpikir apa-apa tentang sang istri. Dia hanya menganggap istrinya penganggu, parasit, dan pengacau hidupnya.

Saat Harlord menginginkannya untuk pergi, perempuan gila itu bertahan. Saat Harlord menginginkannya untuk tinggal, perempuan gila itu justru pergi. Kenapa mereka tidak memiliki keinginan yang sama?

Kenapa takdir harus membolak-balikkannya semacam ini?

“Perempuan memang makhluk yang rumit, Tuan Harlord. Mereka bisa dengan cepat berubah. Keinginannya terkadang hanya hal yang sederhana. Namun, mereka tak membiarkan para lelaki dengan mudah menangkap apa yang mereka inginkan. Sengaja memberi teka-teki yang mungkin mereka sendiri tak bisa pecahkan. Karena para perempuan itu ingin lelaki memikirkan mereka sebanyak mungkin, setiap saat,” jelas Aroon tiba-tiba berbicara panjang.

“Sepertinya kau sangat memahami perempuan, ya?  Atau jangan-jangan kau memiliki banyak wanita? Aku bisa melihat jelas caramu menarik perhatian perempuan. Dasar buaya darat.” Harlord mendengkus tak suka.

“Haha, buaya darat,” tawa Aroon mengangkat tangannya ke arah dagu. “Padahal aku cukup lelah menghadapi tiga adik perempuan ditambah satu lagi. Mana sempat aku mengurus perempuan lain?”

“Kau mengatakan sesuatu?”

Aroon berbicara setengah berbisik. Apalagi bibirnya tertutup, Harlord pun tidak terlalu mendengar ucapannya. Meskipun dia juga heran kenapa pria muda itu menertawai cemooh yang dilontarkan.

“Saya berkata ....” Aroon memperpendek jarak. Melangkahkan kaki dengan tegap dan sedikit mengangkat kepala. Tubuh Harlord tinggi beberapa senti darinya, tapi Aroon tetap mampu mendominasi.

“Anda tidak cocok menjadi gubernur, Tuan Harlord. Apalagi seorang perdana menteri. Memahami satu perempuan saja tak mampu. Menyedihkan.”

***
Bersambung ...

DUA MAWAR || 🥀🥀
© Nafa Azizah

Dua Mawar [END Masih Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang