Bab 14 Putri Suci

133 8 6
                                    

Selamat Membaca!


DUA MAWAR || Bab 14 Putri Suci
🥀🥀


Melawa adalah ibukota negara Tora. Kota ini termasuk ke dalam wilayah utara yang bersinggungan dengan Provinsi Dandami. Sebagai ibukota, tentu pusat pemerintahan dan perekonomian berada di sana. Berbeda dengan Itya yang mayoritas masyarakatnya menjadi nelayan, masyarakat Melawa kebanyakan pekerja kantor.

Di sini juga pusat teknologi berkembang. Sebab itulah, kota ini lebih maju dibandingkan kota-kota lain di Tora. Pemandangan seperti kereta listrik adalah hal biasa. Padatnya penduduk juga membuat kota Melawa menjadi kota yang sangat ramai bahkan di tengah malam.

“Seratus Utra? Gila! Makanan macam apa ini?”

“Heh! Bisakah kau mengecilkan suaramu?!”

Semua perhatian di sebuah restoran tertuju pada meja pojok dekat jendela. Meja yang sangat tidak strategis dan seperti sedang menyembunyikan diri. Meskipun percuma akibat teriakan melengking yang terdengar dari perempuan yang mengangkat tinggi menu yang ada di tangannya.

“Tapi, kau yang akan membayar semuanya, kan?” tanya sang perempuan waswas sebab dompetnya tidak setebal itu untuk membayar satu makanan di sini.

“Iya. Jadi pesan saja lalu tutup mulutmu.” Sang pria menjawab dengan ketus. Wajahnya mencoba tetap tenang menghadapi perempuan gila yang langsung menyengir tanpa bersalah. Mulutnya juga segera mengatakan beberapa pesanan.

“Hmm. Aneh,” gumam sang perempuan yang memakai setelan formal seperti kemeja berwarna putih dengan rok span selutut dengan warna hijau sage. Jasnya sudah tersampir di kursi yang dia duduki.

Pria yang memakai kemeja putih dengan warna jas hitam bertanya, “Apanya?”

“Aku merasa tak nyaman makan malam denganmu. Kenapa kita tidak sendiri-sendiri seperti biasanya?”

Harlord menghela napas, perempuan itu terlalu jujur. Atau hanya sengaja? Padahal beberapa bulan yang lalu, dia masih merengek minta ini itu. Tapi, lihatlah sekarang, perempuan gila itu menatapnya datar seperti orang lain. Memangnya manusia bisa berubah secepat itu?

Meskipun curiga, Harlord tidak bisa sembrono. Dia tak memiliki bukti. Yang ada dia akan terlihat bodoh di hadapannya lagi.

“Jaga image. Di dunia luar, kita ini suami istri yang harmonis. Aku terlalu sibuk jika harus mengurus rumor tak jelas. Jadi, turuti saja. Toh, kita begini hanya saat di ibukota saja. Setelah ini kau kulepaskan.”

“Dih, memangnya aku hewan?” cebik Nafa yang diabaikan oleh Harlord. Namun, dia sedang tak ingin mengacau.

Pikirannya menerawang jauh pada alasan mengapa dia harus pergi ke kota yang jauh dari Itya ini. Sepucuk surat yang mendarat di kamarnya tidak bisa dibiarkan. Apalagi yang mengirimnya adalah orang dari kerajaan. Mengabaikannya bisa berakibat fatal baginya. Bisa-bisa dia diusir dari negara penuh sihir ini.

Bermula pada dua minggu yang lalu, Scarlet yang heboh membuka pintu kamarnya tanpa mengetuk pintu. Sebenarnya, Nafa bukan orang yang gila hormat, tapi siapa juga yang senang jika tiba-tiba orang menerobos masuk ke dalam ruang privasinya?

“Itu tidak penting sekarang, Nona!” kilah Scarlet masa bodoh dengan teguran Nafa. Mungkin perempuan itu harus lebih tegas mulai sekarang. Keberadaannya seperti tidak dianggap oleh Scarlet. Jika pelayan lain, Nafa tak peduli.

“Oke. Sebaiknya kau punya alasan baik karena berani membantahku, Scar.” Nafa melipat tangan di atas kasurnya. Sedikit mengelus lengan akibat angin pagi yang masih terasa dingin.

Pelayan itu membawa baki perak dengan sebuah kertas di atasnya. Kertas yang dihiasi cairan emas dengan stampel dari lilin merah dan cap singa bermahkota. Tidak ada orang bodoh yang tidak mengetahui cap itu. Itu adalah cap khusus yang berasal dari kerajaan. Yang boleh menggunakannya hanya Raja dan keturunannya. Sudah lama rasanya Nafa tak melihat cap itu.

“Putri Selena Andreas Gloucester mengirimi Nona surat!”

“Hah? Siapa itu?” Asing. Nafa pernah mendapat surat dengan cap yang sama, tapi bukan dari nama yang disebutkan oleh Scarlet.

“Astaga! Nona tidak mengenal beliau?”

“Jelaskan saja!” titah Nafa sedikit emosi.

Scarlet sedikit menunduk, ucapannnya barusan sedikit melewati batas. “Putri Selena adalah anak kedua setelah Pangeran Mahkota Martin. Saat ini berumur dua puluh tahun dan sedang menempuh pendidikan di bangku perkuliahan. Meski bukan penerus raja, posisi Putri Selena sangat berpengaruh di dunia sosial. Seperti sang Ratu, dia menguasai tren fashion, makanan, hingga budaya anak muda sekarang. Bisa dibilang, pusat pergaulan berada di tangannya. Beliau adalah perempuan muda paling berpengaruh di Negara Tora. Jika orang sehebat beliau sampai mengirimi Nona surat, bukankah itu luar biasa?”

“Tidak,” kata Nafa mulai tak acuh dengan penjelasan Scarlet. Dia mengambil pisau dan menyobek bagian atas surat itu. Mengambil lembaran kertas di dalamnya dan mulai membacanya. “Dia kan anak Raja. Wajar jika semua itu melekat padanya. Privillege itu kenyataan, tahu.”

“Justru dia harusnya bisa melakukan hal lebih, tapi, aku pernah dengar putri itu memiliki hubungan dengan rakyat biasa yang tidak berkemampuan apa-apa. Bukankah lucu? Percintaan antara keluarga kerajaan dengan rakyat yang bertolak belakang status sosialnya. Memangnya di dunia ini ada cerita Cinderella? Eh, kebalik posisinya,” imbuhnya yang teringat pembicaraan orang-orang.

Saat dia menjadi pelayan dulu, mencari informasi semacam itu bukanlah hal sulit. Apalagi jika orang itu adalah orang yang terkenal seperti anggota kerajaan. Gerak geriknya sudah pasti diawasi oleh rakyat.

“No-Nona!”

Nafa tertawa melihat Scarlet yang panik. Padahal dia hanya menghina seorang putri, bukan raja. Matanya lantas lanjut membaca deretan kalimat formal yang penuh pencitraan itu. Jika diringkas, isi surat itu tak lain mengundang Nafa –tepatnya Naufa—untuk bertemu.

“Di ibukota? Dia yang ingin bertemu, tapi aku yang harus bersusah payah? Menyebalkan sekali orang ini. Aku jadi semakin tak mau berjumpa. Di surat saja sudah terlihat sombong begini. Dasar Bocah.”

Scarlet sekali lagi berteriak. Dia memungut surat yang Nafa buang setelah selesai mengomel. Menasehatinya ini-itu hingga membuat Nafa memilih untuk bergabung dengan selimutnya lagi. Hingga sebuah ketukan pintu kembali membuatnya bangun.

“Kau ... hmm, siapa namamu, ya?”

Pria tua berkumis yang tingginya hanya 165 sentimeter itu menunduk hormat ketika dipersilahkan masuk. Nafa tahu siapa yang memperlakukannya sedikit sopan di rumah ini, hanya saja dia tak ingat namanya. “Frank, Nona.”

“Oh, iya. Ada apa, Frank? Tuan Berengsekmu itu memerintahkan sesuatu?”

Frank mengabaikan umpatan Nafa. “Benar, Nona. Tuan Harlord meminta Nona untuk menemaninya ke ibukota. Pengumuman kandidat perwakilan ke DEPARA akan segera digelar. Semua anggota partai diminta untuk hadir dalam acara tersebut.”

DEPARA adalah lembaga legislatif yang berisi parlemen perwakilan daerah dan pusat. Sistem pemilihan perdana menteri hanya bisa dilakukan oleh anggota DEPARA yang dipilih langsung oleh rakyat. Sebab itu, langkah pertama sebelum menjadi perdana menteri adalah menjadi anggota perwakilan partai yang akan dikirim ke DEPARA.

“Menemani? Memangnya dia anak kecil? Suruh datang sendiri saja. Untuk apa aku menemani orang yang mengutus ajudannya padahal kamarnya hanya berada di sebelah sana?” sindir Nafa.

“Tuan juga memberi Nona ini.” Frank keras kepala seperti Tuannya. Dia menyodorkan sebuah kertas yang mewakili dialog Harlord pada istrinya.

‘Akan kuberi lima ratus Utra jika kau menurut.’

Nafa tertawa di atas kasurnya. Terlalu kencang hingga tak menunjukkan tanda-tanda keanggunan. Dia meremas kertas pemberian Frank. Sungguh, kenapa dia banyak mendapat surat, sih? Orang-orang sudah lupa caranya berbicara?

Tapi, siapa yang bisa menolak uang?

“Oke. Aku akan mengikuti kalian!”

***


“Kau nggak deg-degan?”

Suara melantun dengan lembut. Sosoknya bersinar kuat tanpa harus dengan perhiasan mewah. Rambutnya sudah seperti perhiasan emas yang melekat. Tak seperti Isabelle yang seperti harta karun tersembunyi, perempuan ini adalah harta suci yang tak sembarangan orang bisa menyentuh.

Pupil mata ungu yang digadang-gadang paling pekat membuat kemampuan sihirnya sangat dikagumi. Penyembuhan, kemampuan yang sakral hingga setara dengan malaikat. Sekali mantera saja, orang sekarat bisa hidup bugar kembali.

Itulah sosok perempuan yang Nafa hadapi sekarang. Seharusnya dia menemani Harlord di aula bawah dengan anggota partai lainnya. Namun, posisi perempuan anggun itu lebih tinggi dibandingkan siapapun di tempat ini membuatnya terpaksa menurut. Harlord bahkan bungkam saat tahu siapa yang meminta istrinya pergi.

Putri Selena, orang yang Nafa caci maki beberapa hari yang lalu. Akhirnya, mereka bertemu usai dua hari Nafa berada di ibukota.  Pertemuan mereka cukup privasi mengingat betapa pentingnya sang putri.

“Tidak perlu dan tidak penting juga,” jawab Nafa santai meskipun berhadapan dengan keluarga kerajaan.

“Wah, kau sangat percaya dengan suamimu, ya?”
Putri Selena tersenyum lebar. Dia sangat antusias dengan acara ini dibanding Nafa sendiri. “Aku jadi tambah yakin untuk menjalin kerja sama denganmu, Nona Naufa. Ah, aku boleh memanggil nama depanmu?”

Nafa tahu itu hanya basa-basi. Putri itu berkata dengan lembut sopan seolah menghormati lawan bicaranya. Namun, kenyataannya dia berkata seperti itu untuk mengendalikan orang lain. Orang akan sungkan jika seseorang yang memiliki pangkat yang lebih tinggi justru bersikap rendah hati.

Sayangnya, Putri Selena salah memilih lawan.

“Tidak. Kita tidak sedekat itu sampai harus memanggil nama depan.” Nafa memotong daging steak yang tersaji dengan kuat. Tidak alot dagingnya, tapi dia sengaja melakukannya. Memberikan intimidasi pada lawan yang sudah berani meremehkan.

“Ah, atau Putri adalah orang yang mudah dekat dengan siapa saja? Apalagi rakyat biasa. Jadi, mungkin Putri sudah terbiasa, ya?”

Senyuman Putri Selena semakin lebar. Meski begitu, petakan kemarahan terlihat di sudut dahinya. Nafa menyindir perkara rumornya dengan sang kekasih.

“Baiklah, Nona Alraisha.”

***
Bersambung ...

DUA MAWAR || 🥀🥀
© Nafa Azizah

Dua Mawar [END Masih Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang