[PTP] 9. Satu Rasa

1.8K 285 90
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy weekend, gaes 💜

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy weekend, gaes 💜

🍂

Selesai memasukkan beberapa baju ke ransel, Hanin beralih ke rak buku. Ia butuh membawa beberapa novel dan buku-buku medis ke rumah Ilham agar pikiran ruwetnya bisa-sedikit-teralihkan. Bagaimana pun, hanya diri sendiri yang bisa menolong agar ia menemukan kenyamanan tinggal di sana.

Lalu, Hanin terdiam kala jarinya menarik satu novel berjudul Not a Perfect Wedding karya Asri Tahir. Novel itu ... pemberian Adrian bulan lalu. Laki-laki itu tahu kalau wishlist bacaan Hanin satu itu belum sempat Hanin beli karena kesibukan di klinik membuatnya belum sempat berkunjung ke toko buku.

Seraya menatap sendu novel dalam gengamannya, Hanin menghela napas lesu. Ia teringat pertemuan dengan Adrian siang tadi.

"Sejujurnya, saya nggak tahu harus mulai dari mana." Adrian tertawa kecil---sekilas tampak putus asa. Ia duduk berhadapan dengan Hanin di sebuah rumah makan yang sebagian pengunjungnya mulai pergi karena jam istrahat hampir habis. "Banyak yang mau saya tanyain sama kamu, Nin."

Hanin hanya mampu bergeming seraya menatap embun di dinding gelas es teh manis miliknya. Tak jauh dari sisi gelasnya, ada mangkuk soto Betawi yang masih tersisa banyak. Pertemuannya dengan Adrian bikin Hanin kesulitan menelan lebih dari tiga sendok meskipun belum makan apa pun sejak pagi.

"Saya harus kasih kamu selamat dulu nggak, sih?"

Hanin menarik napas dalam-dalam, semampu yang ia bisa. Sebab sejak bertemu Adrian di klinik, seperti ada yang menyekat jalur pernapasannya. "Mas boleh tanya apa pun."

"Saya suka sama kamu, Hanin. Kamu tahu itu, kan?"

Hanin memejam sejenak seraya menghela napas. Kali ini agak berat dan menyiratkan lelah penuh sesal.

"Saya pikir kita satu rasa, Hanin."

Mendengar kelanjutan ucapan Adrian, dada Hanin sesak bukan main. Sejak lama ia menantikan saat-saat Adrian mengakui perasaan padanya, yang ternyata tidak membuat cintanya bertepuk sebelah tangan. Namun, ketika semua itu terjawab sudah, Hanin tidak bisa bersorak bahagia.

PUKUL TIGA PAGI [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang