Lima belas menit berlalu dengan keheningan antara Nayla dan Nahida, keadaan ini sangat berbeda dengan ekspetasi mereka berdua saat masih di bawah tadi.
"Da, lo masih kuat jalan gak?"
Tak ada sedikitpun jawaban yang keluar dari mulutnya.Tidak berselang lama setelah itu, ada satu rombongan empat orang yang lewat dan melihat mereka berdua. Dua orang laki-laki dan dua orang permpuan.
"Permisi, Kak."
Mereka menyapa Nayla dengan ramah, namun Nayla hanya mengiyakannya dan tetap fokus pada Nahida yang menyandarkan kepala di pahanya.
"Itu kenapa kak?" tanya salah satu dari mereka.
"Kecapekan kak, gak tau kok bisa separah ini."
Mereka pun menghampirinya, menawarkan air mineral dan melihat wajah Nahida.
"Saranku sih bawa turun aja kak, ini kakaknya kena penyakit ketinggian," ucap salah satu perempuan yang Nayla tidak tahu namanya.
Nayla sangat terkejut mendengarnya, ia sama sekali tidak tahu ada yang seperti itu di dunia pendakian.
"Serius kak?" tanya Nayla dengan ekspresi yang sangat tidak biasa.
"Iya kak, bisa bahaya kalo dibiarin terus."
Ia pun membangunkan Nahida kembali, terus menerus hingga akhirnya dia terbangun dengan lemas. Karena sangat panik, Nayla langsung meraih tangan Nahida dan membopongnya.
"Sini kak, aku bantuin," ucap perempuan yang tadi bertanya.
Setelah itu, mereka berdua pun berjalan turun sambil merangkul Nahida, menuju ke pos tiga yang baru saja mereka lewati. Perempuan itu bergantian dengan teman-temannya saat merangkul Nahida dan meminta Nayla juga bergantian agar tidak kelelahan, akan tetapi Nayla tidak mau dan terus berjalan. Ia benar-benar khawatir dengan sahabatnya itu.
Sampailah mereka semua di pos tiga, dan hanya ada raut wajah kelelahan pada muka Nayla dan yang lainnya.
Baju yang dikenakan Nayla menjadi sangat kotor karena saat di perjalanan tadi ia sempat terpeleset dan jatuh, Nahida pun ikut jatuh, hanya saja ia terjatuh di atas badan Nayla.Salah seorang dari mereka menyodorkan air mineral ke arah Nayla, ia pun menerimanya, serta sebotol untuk Nahida saat ia terbangun nanti.
"Kakak namanya siapa?" tanya Nayla.
"Aku Cindy, kalo cewek yang itu namanya Dewi, terus yang cowok itu Adam sama Ari ... Kita datang jauh dari Bekasi," jelasnya.
"Kalo aku Nayla, Kak ... Dia Nahida, kita dari Magelang, salam kenal," balasnya memperkenalkan diri kembali.
"Salam kenal."
Mereka pun sedikit mengobrol sebelum mereka melanjutkan perjalanannya, sekitar dua puluh menit sejak mereka tiba di pos ini yang kedua kalinya.
"Kak, nanti kalo ada petugas, minta tolong ke mereka biar kak Nahida dibawa turun ... Dia udah gak mungkin buat naik ke atas."
"Baik kak, makasih banyak ya buat bantuannya,"
"Iya, santai aja ... Oh iya, ini sosmed ku, nanti kalo suatu saat kamu main ke bekasi atau jakarta, hubungi aja, nanti kita main bareng," ucap Cindy sambil memperlihatkan layar hpnya.
Nayla pun mencatat nama akun instagram itu di catatan, ia tak bisa langsung memfollownya karena di atas sini tidak ada sinyal sama sekali.
"Nanti kalo udah ada sinyal langsung aku follow kak."
"Kalo gitu, kita jalan dulu ya ... Salam buat kak Nahida."
Setelah itu mereka meninggalkan mereka berdua, di pos tiga yang hanya ada mereka berdua di sana.
"Oh iya kak, nanti kalo kalian ketemu rombongan tiga orang, cowok dua cewek satu, bilangin kalo kami berdua turun, ya?" ucap Nayla berteriak.
"Siapa namanya?"
"Ivan, Kaila, yang satunya lupa ... Tadi pagi baru kenalan soalnya."
Mereka pun mengacungkan jempol tanda setuju. Dan tak lama setelah itu, ada beberapa petugas yang sedang berjalan naik, Nayla pun memanggilnya, serta mengatakan pada mereka bahwa orang yang ada di hadapannya ini sedang tidak baik-baik saja.
Turunlah mereka semua menuju basecamp awal pendakian, Nahida dibopong menggunakan tandu dan Nayla berjalan mengikutinya dari belakang. Wajahnya lesu dan dipenuhi dengan rasa bersalah. Dirinya sama sekali tidak tahu tentang apa yang dialami oleh sahabatnya itu, dan juga tidak memprediksi sedikitpun bahwa hal seperti ini bisa saja terjadi.
Perlu tiga jam lebih untuk mereka sampai menuju basecamp, medan yang sulit dan beban yang sedikit berat membuat mereka kesulitan untuk turun ke bawah. Dan setelah sampai di tujuan, Nahida pun masih tidak sadarkan diri.
Nayla merebahkan tubuh Nahida dan meletakan kepalanya di atas pahanya, seperti saat di pos tiga tadi. Ia pun kemudian ikut memejamkan matanya karena perjalanan yang baru saja ia lalui sangatlah melelahkan.
Adzan maghrib berkumandang, Nahida pun sudah sadarkan diri. Hanya saja ia masih lemas dan juga masih terbaring diatas paha Nayla.
"Nayla," panggil Nahida yang sedang tidur, dan itu membuatnya terbangun.
"Iya, Da, sejak kapan lo bangun? Lo tidur lama banget," ucap Nayla sedikit lega, setelah melihat temannya lebih baik daripada sejak terakhir kali ia melihatnya.
"Baru aja, kenapa gue ada di sini?" tanyanya, dengan raut wajah datar.
"Lo pingsan tadi, dan udah nggak memungkinkan banget buat naik ke atas ... Jadi lo turun kesini sama gue."
"Enggak, tapi kenapa gue ikut ke sini."
Nayla sangat terkejut dengan apa yang diucapkannya, perasaan panik menghantuinya seketika, ia takut jika apa yang terjadi hari ini membuat sosok sahabatnya itu merasa kecewa padanya.
"Kalo tau bakal jadi kayak gini, mana mungkin gue bakal mau dateng kesini," ucap Nahida sekali lagi.
Seketika, mata Nayla menjadi sedikit berkaca-kaca. Perasaan bersalah memenuhi hati dan pikirannya.
"Sorry Da, gue sama sekali gak punya ilmu naik gunung yang cukup, tapi sok-sokan mau ngejagain di pendakian pertama lo."
"Bukan salah lo kok, sama sekali bukan," balas Nahida seraya bangkit dari tidurnya.
Ia pun mengambil tas kecil yang tergeletak di sebelah Nayla, lalu mengambil perban dan plester dari situ. Untung saja yang dibawa naik ke puncak hanya tas carrier Nahida saja, sementara tas selempangnya tidak ikut.
Setelah itu, Nahida menarik tangan kiri Nayla, lalu meneteskan betadine pada luka lecet dan membalutnya dengan perban.
"Mamah gue bilang kalo naik gunung itu jalannya sering licin, jadi buat jaga-jaga aja kalo misal kepleset ... Untung gue naruhnya di tas selempang, jadi bisa dipake sekarang."
"Makasih Da," ucap Nayla, dengan sedikit kebingungan.
"Gue yang harusnya makasih Nay, lo udah ngelindungin gue sampai sekarang ... Terlepas dari berhasil atau enggaknya kita sampai puncak, tapi lo bener-bener ngejagain gue kayak apa yang lo omongin waktu itu."
"Tapi lo jadi punya kesan pertama yang buruk soal naik gunung."
Nahida mengambil sapu tangannya, lalu mengusap kepala Nayla yang masih tersisa debu dan tanah yang menempel.
"Enggak kok, naik gunung itu seru, bisa ketemu sama temen-temen baru ... Ya meskipun ada kemungkinan kedepannya gue gak bakal naik gunung lagi sih, tapi makasih ya lo udah nemenin gue buat nyoba."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nahida, Kucing, Dan Negeri Sakura (Selesai)
Novela JuvenilSetelah lulus SMA, Nahida dan keluarganya memutuskan untuk pergi ke Jepang dan tinggal di sana. Akan tetapi, dirinya akan meninggalkan sosok Ivan yang dia kenal sejak kelas satu. Karena perasaannya yang begitu kuat dan sangat kecil kemungkinan merek...