Berharga

1 0 0
                                    

Di kelas, Nahida bertanya-tanya tentang siapa diantara teman-temannya yang mempunyai kucing di rumah. Dan ternyata ada beberapa diantara teman sekelasnya yang memeliharanya, salah satunya adalah Sarah. Dia tidak cukup akrab dengan Nahida sejak awal mereka saling mengenal satu sama lain, atau lebih tepatnya sejak mereka masuk kelas tiga.

Ini adalah kali pertama bagi Sarah bisa mengobrol dengan Nahida cukup panjang, karena selama mereka sekelas, Nahida jarang sekali membaur dengan teman-temannya. Ia lebih suka tidur selama jam istirahat atau mendengarkan musik menggunakan headset, dan dia juga lebih sering pergi ke kelas Vivi atau kelas Nayla. Hal itu cukup bisa dimaklumi oleh teman-temannya, karena mereka semua mengetahui rentetan kejadian buruk yang dialaminya selama setahun terakhir.

"Eh, Da, ceria banget deh kelihatannya ... Lagi ngobrolin apa nih? Cowok baru kah?" ucap Lisa yang datang ke bangku Sarah secara tiba-tiba.

"Enggak lah, bukan cowok, tapi kucing ... Kemaren gue nemu kucing di taman, terus gue rawat, sekarang tanya-tanya deh cara rawat kucing sama pakarnya, hehe."

"Bukan pakar juga kali, gue juga masih belajar kok," balas Sarah merendah.

Melihat sosok Nahida yang ceria, ia pun tersenyum karena ini kali pertamanya setelah sekian lama ia tidak melihat hal itu. Setelah itu, obrolan tentang kucing pun berlanjut, Lisa pun juga ikut bergabung dengan mereka berdua, hingga akhirnya bel tanda kegiatan belajar dimulai pun akhirnya berbunyi.

Sepulang sekolah, Nahida mengajak Vivi dan Nayla ke taman untuk melihat kucing yang ia temukan kemarin. Keceriaan Nahida benar-benar terpancar di wajahnya, nembuat Vivi dan Nayla pun mengiyakannya walaupun mereka berdua sedang sibuk dengan persiapan ujian.

"Wahhhh, lucu banget sih ini," kata Nayla saat pertama kali melihat kucing itu.

"Kucingnya namanya siapa, Da?"

"Namanya Yuki."

"Bahasa jepang ya? Salju?"

"Iya," balas Nahida, sembari memeluk sosok Yuki yang berwarna putih itu.

Mereka memberi makan Yuki dengan sisa makanan yang dia beli kemarin, ia pun memakannya dengan lahap.

"Da, kenapa gak lo rawat di rumah aja?" tanya Vivi.

"Sama ibuku nggak boleh, dia alergi bulu kucing," jelas Nahida.

"Andai abang gue gak pelihara ikan sama burung, mungkin gue dibolehin buat pelihara kucing di rumah ... Jadi si Yuki bisa di rawat di rumah gue," ucap Nayla.

"Emang kenapa kalo lo pelihara kucing?"

"Waktu itu pernah sekali ada kucing nakal yang lompat dari genteng ke kandang burung punya abang gue yang di gantung, terus kandangnya jatuh terus rusak, burungnya terbang deh ... Mana itu burung mahal lagi katanya, dan sejak saat itu tiap kali ada kucing pasti langsung di usir."

Nahida dan Vivi menyimak cerita itu dengan seksama, dan sepertinya tidak ada harapan lagi untuk merawat Yuki di rumahnya walaupun Nayla benar benar-benar menginginkannya.

"Kenapa gak di Rawat di tempat lo aja, Vi?" tanya Nayla.

"Dulu pernah ada kucing liar yang sering banget buang kotoran di lingkungan kosan, gara-gara jengkel, terus kucing itu di bunuh sama om gue."

"Anjir, kejem banget sih om lo!"

"Yaaaa, makannya itu gue agak gak suka sama dia."

Nahida yang mendengar cerita itu, seketika langsung memeluk Yuki erat-erat. Tiba-tiba ia membayangkan apa yang terjadi pada kucingnya itu jika ia dirawat di kosan Vivi.

"Yahhh, kalo di sini dia aman mah mending di rawat di sini aja ... Toh juga deket dari rumah," ucap Nahida.

Mereka bertiga bermain-main dengan yuki setelah itu sembari bertukar cerita tentang apa yang mereka lakukan akhir-akhir ini untuk mempersiapkan Ujian Nasional. Lalu, tiba-tiba datang Ivan yang membawa martabak manis.

"Eh, Ivan, kok lo dateng ke sini?" tanya Vivi penasaran.

"Sebenernya yang nemuin Yuki tuh Ivan kemarin, cuman kebetulan gue sama Ivan lagi nongkrong bareng ... Terus gue minta sama dia buat rawat Yuki berdua, jadi wajar lah dia dateng ke sini," jawab Nahida

"Lo kemarin nongkrong berdua sama Ivan? wahhhhh," ucap Nayla dengan nada meledek.

"Kan udah gue bilang kebetulan doang," balas Nahida kesal.

"Udah-udah, udah bagus sekarang kalian ngumpul lagi kaya biasanya ... Eh malah pas ngumpul malah berantem gini," sahut Ivan.

Nayla dan Vivi sedikit heran, terlihat dari raut wajah mereka yang tiba-tiba berubah, bagaimana Ivan tahu jika sekarang mereka jarang berkumpul bersama seperti ini.

"Kok lo tahu kalo kita jarang ngumpul?" tanya Nayla.

"Yaaa, kemarin Nahida ngasih tahu sih."

"Ehhh, lo kemarin ngobrol apa aja sama Nahida, Van?"

"Yaaaaa, apa ya ...."

"Jangan-jangan kalian berdua lagi PDKT ya?"

Sontak, perkataan itu membuat Ivan terkejut mendengarnya, begitu pula Nahida yang sedang ada di dekatnya.

"PDKT apa sih Nayla yang cantikkkkk ... Bisa nggak sih lo sehari aja ngak mikirin soal pacar-pacaran," ucap Nahida sembari berusaha mencubit hidung Nayla, namun tidak kena.

"Yaaa ... Lo kan dulu pernah cerita kalo suka sama Ivan, siapa tahu sampai sekarang masih."

"Minimal kalo bahas yang kaya gitu, jangan diomongin pas ada orangnya, monyet!" balas Nahida memaki.

Ivan dan Nayla tertawa setelah itu, Vivi juga begitu, hanya saja tawanya tak seheboh mereka berdua.

"Ey, Vi ... Ngomong-ngomong, gue belom pernah denger kalo lo pacaran, lo gak kepengen kah?" tanya Nayla pada Vivi yang sedang bermain-main dengan Yuki.

"Emm ... Gimana ya cara ngomongnya?" balas Vivi dengan pertanyaan.

Dirinya berfikir sembari meletakan jari di dagunya dan menatap langit, seperti di adegan film.

"Ya mungkin gue sebagai temennya orang yang pacaran atau pernah pacaran kaya lo sama lo ...," ucap Vivi dengan menunjuk Nayla dan Nahida.

"Rasa pengen punya pacar tuh pasti ada, cuman ya ...," lanjutnya.

Raut wajah Vivi menjadi sedikit lebih serius seketika.

"Hubungan seperti pacaran atau semacamnya itu rapuh dan mudah hancur, dan gue gak mau kehilangan orang yang berharga lagi buat yang kesekian kalinya," lanjut Vivi sekali lagi.

Nayla, Ivan, dan Nahida mendengarkan penjelasannya dengan serius, karena ini adalah untuk pertama kalinya Vivi berbicara sesuatu yang berhubungan dengan pacaran.

"Dan gue rasa cukup lo berdua aja deh yang jadi sosok berharga buat gue, gak perlu nambah lagi ... Atau mungkin pacaran, tapi gak sekarang, karena gue rasa pacaran di SMA itu nggak lebih dari sekedar main-main aja."

"Ututututu, jadi gue sama Nayla berharga nih bagi lo, dan lo gak mau kehilangan kita berdua ... Sayang banget deh gue sama lo, Vi," balas Nahida penuh dengan senyuman, ia juga menerjang tubuh Vivi berusaha untuk memeluknya.

Di tengah-tengah suasana yang baper itu, tiba-tiba Ivan nyeletuk, "jadi cuma mereka berdua doang nih? gue gak di anggap berharga juga?"

Vivi tertawa mendengarnya.

"Apa yang bisa dianggap berharga dari cowok yang ngobrol dua kali setahun, cuma tanya 'liat Amanda gak?' ... Sama yang diomongin sekarang ini?" tanya Vivi.

Amanda adalah teman sekelas Vivi di kelas tiga, pernah sekali Ivan punya sedikit urusan dengannya dan dia mendatangi kelasnya saat itu.

"Anying, tajem banget omongan lo ... Hati gue sampe ke belah dua ini."

Vivi dan kedua orang yang dianggapnya berharga itu tertawa, atau lebih tepatnya menertawakan Ivan. Karena jawaban yang dia dapat dari Vivi seolah-olah telah menjatuhkan harkat dan martabatnya.

Nahida, Kucing, Dan Negeri Sakura (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang