Andai Saja

2 0 0
                                    

Hari berlalu begitu cepat, tak terasa kini Nahida dan seluruh teman seangkatannya mulai memasuki detik-detik sebelum ujian Nasional. Semua murid kelas tiga mendapatkan kelas tambahan setiap pulang sekolah, terutama pada mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris. Bahkan, setiap harinya Nahida beserta yang lainnya harus pulang sekolah satu jam lebih terlambat dibanding biasanya.

Pulang sekolah, Nahida menyempatkan diri untuk mampir ke taman kota, tempat dimana tahun lalu dirinya dan Rangga mulai berpacaran. Bukan untuk nostalgia, namun dia hanya ingin membeli batagor favoritnya saja. Ia pun duduk di sebuah bangku yang ada di sana, di bangku yang sama saat dia dulu menyaksikan matahari tenggelam bersama Rangga. Ia memang sengaja duduk di situ, hanya saja kini tidak ada lagi kenangan-kenangan masa lalu yang terbesit dipikirannya. Kini, Nahida benar-benar melupakan sosok Rangga.

Setelah beberapa saat duduk bersantai, Nahida dikejutkan oleh kedatangan Ivan yang tiba-tiba datang menyapa. Ia sudah jarang sekali berbincang dengannya, kelas yang terpisah dan dirinya yang putus dengan Rangga seolah membuat mereka berdua tidak ada alasan lagi untuk sekedar nongkrong bersama.

"Van?" ucap Nahida heran.

"Ngapain lo sendirian aja di sini? Kaya orang ilang."

"Lo juga sendiri."

Nahida menggeser tubuhnya, mempersilahkan Ivan untuk duduk di sebelahnya.

"Denger-denger lo mau pindah sekolah?" tanya Ivan basa-basi.

"Nyatanya gue masih satu sekolah sama lo kan? Lagian itu juga gue kepikirannya udah hampir setahun yang lalu ... Ehh, lo tahu gue mau pindah sekolah darimana anjir?"

"Siapa lagi kalo buka Nayla yang cerita ... Eh tapi malah Rangga yang keluar dari sekolah."

Bayang-bayang tentang apa yang terjadi satu tahun yang lalu tergambar kembali di pikiran Nahida. Ia teringat moment dimana dirinya mengucapkan kata putus pada Rangga di kediaman Vivi waktu itu.

"Van, gimana pandangan lo soal open BO, sex di luar nikah, atau sesuatu semacam itu?" tanya Nahida.

Ivan sedikit terkejut dengan pertanyaan yang terlalu tiba-tiba itu.

"Sorry kalo omongan gue barusan bikin lo jadi keinget kenangan buruk di masa lalu, tapi apa yang bikin lo tanya kaya gitu?"

"Entahlah ... Gue cuma pengen tahu gimana cara lo mandang perempuan."

Ivan terdiam sejenak, ia memikirkan bagaimana kata-kata yang tepat agar kenangan masa lalu Nahida tidak terbesit dipikirannya kembali.

"Gue gak tahu gimana yang bener, dan ini cuma opini pribadi gue aja, mungkin ada banyak orang yang nggak setuju sama pemikiran ini ... Tapi satu-satunya hal yang mungkin bisa gue bilang adalah mereka itu orang-orang bodoh," jawab Ivan.

"Begitu, kenapa?"

"Gue tahu, setiap orang punya alasannya masing-masing kenapa mereka melakukannya ... Tapi untuk kasus seorang anak SMA, khususnya Rangga, gue mikir apa pelajaran pendidikan agama selama bertahun-tahun di sekolah itu sama sekali nggak masuk di otaknya?"

Nahida terdiam, dia mulai merasa apa yang dikatakan Ivan itu cukup masuk akal.

"Dan seingat gue, waktu SMP kita mulai diberi pelajaran tentang pendidikan seksual, dan disitu dijelaskan tentang bahaya dan resiko yang bisa terjadi ... Dan mereka masih tetap melakukannya, bukankah itu bodoh?"

"Apa yang mungkin bakal lo lakuin ke orang-orang yang kaya gitu? Menghujat? Jujur setelah kejadian itu, banyak video tentang open bo yang gue lihat di Tiktok atau instagram, dan banyak banget komentar-komentar yang gak enak dibaca di sana" tanya Nahida.

"Enggak, gue gak sepeduli itu sama mereka ... Selama mereka itu mau sama mau, bukan pemerkosaan, dan juga bukan orang-orang yang bisa di bilang temen dekat gue."

"Terus gimana sama Rangga? Dia temen deket lo kan?"

"Gimana ya, sekalipun gue bukan orang yang punya kapasitas buat ngajak mereka ke jalan yang lebih baik, tapi seenggaknya gue bisa ngasih tahu kalo itu jalan yang salah ... Mungkin dibanding ngehujat, gue lebih suka kalo ngasih edukasi, kalau itu bukan hal yang seharusnya dia lakuin, apapun alasannya ... Ya walaupun harus dipukul kepalanya dikit, hehe."

"Hah?"

Nahida benar-benar kaget mendengarnya.

"Lo mukul Rangga? Kenapa woy? Dia kan temen lo?"

"Yaaa, habisnya ngeselin sih ... Dia juga bukan tipe orang yang bisa sadar kalo cuma dikasih motivasi-motivasi manis."

"Anjir ... Bisa-bisanya."

Kali ini, Nahida membayangkan apa yang terjadi jika sosok dirinyalah yang memukul Rangga. Apa yang akan terjadi? Apakah akan marah, atau yang lainnya. Itu menjadi sedikit pertanyaan iseng yang ada di pikirannya.

"Sebenernya kenapa gue mukul bisa mukul dia, kalo gue boleh jujur ... Gue ada perasaan tertarik sama lo waktu pertama kali ketemu, pengen kenal lo lebih deket ... Tapi sayangnya, Rangga juga sama," jelas Ivan.

"Kapan?"

"Kelas satu, waktu lo ngagetin gue di pintu kelas ... Kurang lebih beberapa waktu setelah itu gue mulai nyari-nyari informasi soal lo, bersamaan saat temen gue gak bisa ikut naik gunung, dan gue kepikiran kenapa nggak ngajakin lo aja? Tapi waktu itu gue ngajak Rangga."

"Gue inget, habis kita naik gunung ... Gue ngerasa kalo waktu itu lo agak menghindar dari gue, kenapa?

"Selain ngerasa bersalah karena gak bisa ngapa-ngapain waktu lo sakit, gue juga ngerasa kalo lebih baik Rangga yang deketin lo ... Jadi, ya gitu lah, gue ngalah aja."

Sekilas, Nahida membayangkan bagaimana jika Ivan lah yang menjadi pacarnya selama ini. Setelah mendengarkan penjelasannya tentang sex diluar nikah menurut pandangannya, Nahida berfikir bahwa mungkin kehidupan masa-masa SMA-nya tidak akan seburuk apa yang selama ini dialaminya selama setahun terakhir.

"Kalau aja lo jujur sama perasaan lo waktu itu, dan lo mau bersaing dikit aja sama Rangga buat deketin gue ... Sekalipun ada kemungkinan lo bakal nyakitin gue atau malah sebaliknya, atau mungkin malah bahagia, tapi yang jelas akan lebih baik dibanding gue pacaran sama Rangga."

"Kenapa?"

"Karena gue juga tertarik sama lo waktu itu, dan andai kata lo gak menghindar dari gue ... Mungkin kita bisa pacaran, dan sampai sekarang masih."

Ivan terlihat tidak percaya dengan apa yang baru saja Nahida katakan.

"Seriusan?" tanya Ivan.

"Serius, dan kenapa sih lo harus ngalah sama Rangga? Insecure, kah?" balas Nahida dengan pertanyaan pula.

"Insecure sih enggak, cuman waktu gue tuh habis buat bantuin abang gue dagang sama sekolah doang ... Dan gue jarang punya waktu buat main atau sekedar ngobrol di luar sekolah lewat chat atau telfon, sementara Rangga punya ... Dia juga lebih ganteng dan kaya dari gue."

"Point pertama masuk akal sih, tapi untuk yang kedua, emang kenapa kalau menurut lo dia lebih ganteng dan kaya? Bukannya lo barusan bilang kalau 'insecure sih enggak' gitu?"

"Gue gak tahu sih lo mandang cowok dari gantengnya dia atau seberapa kaya dia atau keluarganya seperti kebanyakan cewek SMA di luar sana ... Tapi waktu itu gue cuma mikir kalau dengan kaya gitu, dia punya kesempatan yang lebih besar buat bikin lo bahagia dibanding gue."

Nahida hanya bisa menganggukkan kepalanya, mencoba memahami cara berpikir Ivan yang seperti itu.

"Gue pikir cukup masuk akal juga kenapa lo bisa mukul Rangga, karena kalau gue jadi lo ... Gue mungkin juga bakal ngelakuin hal yang sama, atau mungkin bakal mukul dua atau tiga kali."

Nahida, Kucing, Dan Negeri Sakura (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang