Malam minggu, Nahida keluar rumah tanpa izin ke ibunya. Karena dia pikir, lebih baik pulang dimarahi dari pada izin tapi tidak diperbolehkan. Ibu Nahida masih ada meeting di kantornya, jadi dia bisa keluar dari rumah begitu saja tanpa kendala apapun.
Di kamar Vivi, kini mereka bertiga berkumpul untuk membahas apa yang akan mereka lakukan nanti saat Rangga tiba.
"Ran, lo udah beli minumannya kan?" tanya Nahida.
"Udah dong," jawab Rania antusias.
"Vi, cctv aman?"
"Aman, gue juga udah taroh mikrofon nyala di deket pintu kamar Rania."
"Lo udah nyembunyiin motor lo kan?" tanya Rania ke Nahida.
"Udah gue titipin ke temen gue yang tinggal di daerah sini,"
"Oke, berarti udah aman semua kan?"
Rania ini memang suka sekali minum minuman keras, jadi dia tahu minuman keras merk apa yang cocok untuk rangga nanti. Maksudnya, agar Rangga tidak terkapar dan masih bisa diajak bicara setelah minim miras nanti.
Dan Vivi, demi rencana kali ini, dia memasang cctv baru yang secara disengaja menyorot dengan jelas arah depan kamar yang akan dipakai Rania nanti, agar muka Rangga terlihat dengan jelas nantinya. Kamar itu adalah ruangan yang belum ada penghuninya, dan mereka bertiga diizinkan untuk menggunakannya untuk malam ini oleh tante Vivi, karena sebenarnya dirinya juga sedikit tertarik dengan rencana ini.
Setelah itu, waktu menunjukan pukul sembilan malam, itu adalah waktu perjanjian antara Rania dan rangga untuk bertemu. Dan benar saja, Rangga datang tepat waktu. Rania sudah menunggunya di depan pintu kamarnya, sementara Nahida dan Vivi bersembunyi di balkon lantai dua.
"Buset, tepat waktu gak tuh," ledek Rania.
"Harusnya malah lebih cepet kalo tadi gak macet."
"Sini masuk, ada yang mau gue ceritain."
Sebenarnya, Rania mengajak Rangga untuk nongkrong di kamarnya dengan alasan curhat. Ada masalah percintaan yang cukup serius yang membuatnya perlu seseorang untuk diajak bercerita. Ya, walaupun itu hanya alibi saja, karena cerita yang akan dikatakannya nanti pada Rangga hanyalah cerita pengalaman teman Rania, atau bisa dibilang cerita karangan saja.
Sementara itu, setelah melihat Rangga dan Rania masuk ke kamarnya, Nahida mundur dan menyenderkan badannya ke tembok. Pemandangan yang baru saja terjadi membuat tubuhnya lemas hingga tubuhnya merasa kesulitan untuk berdiri.
"Da, lo gak papa?" tanya Vivi penuh rasa khawatir.
"Lo punya rokok gak?"
"Lo mau ngerokok?"
"Iya, biar agak tenang dikit."
Vivi langsung pergi ke kamar Rania yang asli, barangkali dia masih punya rokok yang disimpannya di sana. Dan benar saja, ada bungkusan yang masih sisa setengah.
"Sebenernya gue gak mau lo ngerokok, tapi buat kali ini terserah lo aja," ucap Vivi sambil menyodorkan sebatang rokok dan korek.
Nahida mengiyakannya, lagi pula dia juga memang berniat hanya merokok satu batang saja. Dan setelah satu tarikan panjang, Nahida langsung batuk, tentu saja, karena ini adalah kali pertama dia menghisap rokok.
"Buset, gak enak gini kok banyak yang suka."
"Yaaaaa, hehe, gue juga gak tau Da."
Setelah tiga puluh menit berlalu, sesuai rencana, Nahida langsung beranjak pergi ke tempat dimana Rania berada, sementara Vivi diam di tempat dan mengatur kameranya. Seketika, bayang-bayang masa lalu dimana dia dan Rangga pertama kali saling mengenal satu sama lain muncul di pikirannya. Nahida juga mengingat bagaimana dia dan Rangga saling bercanda, bertukar cerita, saling bantu satu sama lain, dan juga rencana-rencana mereka yang belum terlaksana di kemudian hari nanti. Hal itu membuatnya sedikit terbesit pikiran untuk memaafkan dan memulai semuanya dari awal lagi. Namun, semua itu terhenti ketika dirinya sampai di depan pintu kamar yang ditujunya.
"Oke, Nahida, lo bisa lalui semua ini," ucapnya dalam hati.
Tok.. Tok....
Nahida mengetuk pintu, hanya dua kali saja, karena kali ini dia benar-benar merasa gugup.
Sementara itu, di dalam kamar, Rania menyenderkan badannya di sudut ruangan sambil merokok.
"Bukain dong, udah lemes gue," ucapnya pada Rangga.
Padahal sebenarnya minuman keras yang dia nikmati bersama Rangga itu belum memberikan efek apa-apa padanya.
"Emang siapa?"
"Paling temen gue dari kamar sebelah mau pinjem charger, udah biasa kek gitu."
"Oke, bentar."
Rangga berdiri lalu membuka pintu, dan seketika jantungnya langsung berdetak cukup kencang setelah itu. Dirinya melihat sosok Nahida berwajah datar namun dengan sorotan mata yang tajam.
"Nahida?"
Nahida hanya membalasnya dengan senyuman, lalu berjalan mundur perlahan ke arah cctv menyorot dan jangkauan kamera Vivi dari lantai atas sesuai rencana.
"Da, ini gak kaya apa yang lo pikirin ... Gue bisa jelasin," ucap Rangga sambil meraih tangan Nahida, namun Nahida menepisnya.
"Kalo gitu, kira-kira apa ya yang mungkin bakal dilakuin cowok sama cewe di kamar kos bebas kaya gini, selain kaya apa yang gue pikirin ini?"
Rangga hanya diam setelah itu, tidak ada jawaban yang bisa dia gunakan untuk mengelak dadi pertanyaan Nahida itu.
"Kok diem? Katanya mau jelasin?"
"Gue cuma nemenin temen gue minum, dia lagi punya masalah dan minta gue buat jadi temen cerita ... Udah cuma itu doang kok."
"Kalo yang minggu kemarin, ngapain?"
Sekujur tubuh Rangga langsung bergetar seketika, keringat dingin langsung membanjiri seluruh badannya, bersamaan dengan perasaan tak tenang yang dia rasakan setelah itu. Perkataan Nahida barusan membingungkan dirinya, bagaimana Nahida bisa tahu jika minggu lalu dia datang ke sini, atau ini hanya gertakan saja.
"Minggu kemarin gue main ke rumah Ivan, mabar, kan gue udah ngomong ke lo sebelumnya ... Ya kali gue ke sini."
"Terus ini apa?"
Nahida menunjukan layar ponselnya, sebuah rekaman cctv yang memperlihatkan Rangga datang ke tempat ini. Terdapat pula keterangan waktu di video itu, jadi kali ini Rangga tidak bisa mengelak sedikitpun.
Rangga hanya bisa diam kembali setelahnya, dirinya terlihat sangat ketakutan setelah melihat video yang Nahida tunjukan itu.
"Lucu ya, ketika lo bilang 'ini gak kaya yang lo pikirin, gue bisa jelasin semuanya' ... Padahal gue perhatiin semuanya," ucap Nahida.
Rangga masih tak bisa menjawab apa-apa, kali ini dia pasrah apa yang akan terjadi selanjutnya. Ditampar, dipukul, atau apapun itu, dia siap menerima semuanya.
"Kenapa lo gak percaya sama gue? Kenapa lo mengkhianati gue kaya gini ... Padahal tiap hari, tiap waktu, gue selalu berusaha buat ngelakuin hal yang mungkin bikin lo seneng, selalu berjuang buat jadi seseorang yang lo mau, tapi ... Tapi ... Kalo cuma kaya gini akhirnya, ngapain bangsat?"
Mata Nahida mulai berkaca-kaca dan air mata hampir mulai membasahi pipinya, dia menunduk, dengan nafas yang sedikit terengah-engah.
"Nahida...," panggil Rangga dengan nada iba.
Seketika, Nahida tertawa kecil lalu mengusap pipinya.
"Apa? Lo pikir gue bakal nangis? Bego," ucapnya dengan wajah yang berubah menjadi terlihat sangat serius.
Lalu, Nahida berteriak, sampai-sampai semua orang yang ada di sekitarnya bisa mendengarnya.
"JANGAN MAIN-MAIN SAMA GUE, ANJING!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nahida, Kucing, Dan Negeri Sakura (Selesai)
Roman pour AdolescentsSetelah lulus SMA, Nahida dan keluarganya memutuskan untuk pergi ke Jepang dan tinggal di sana. Akan tetapi, dirinya akan meninggalkan sosok Ivan yang dia kenal sejak kelas satu. Karena perasaannya yang begitu kuat dan sangat kecil kemungkinan merek...