Di depan cermin kamar

3 0 0
                                    

"Lo mau bilang kalo cewek kemarin itu kakak sepupu lo kan? Dan lo disana cuma mampir doang kan? Gue udah denger itu," ucap Nahida dengan nada datar dan cuek.

Raut wajah Rangga menjadi terlihat senang seketika, namun semua itu berubah ketika Nahida melanjutkan kata-katanya.

"Biar gue tebak, nama kakak sepupu lo Rania kan?" lanjut Nahida.

Tiba-tiba, badan Rangga bergetar, keringat panas dingin keluar dari sekujur tubuhnya. Dia tak menyangka alasan yang dia buat serapi mungkin itu bisa dipatakan oleh kalimat sederhana dari Nahida. Dan hal itu membuat Rangga tak bisa berkata apa-apa lagi selanjutnya.

"Lo kenal, Da?" tanya Kaila.

"Iya, gue kenal dia udah lama ... Tapi dia nggak pernah cerita soal itu, ya mungkin buat apa juga sih dia cerita soal adik sepupunya."

"Jadi beneran kan ini cuma salah paham aja?"

"Mungkin begitu."

"Emm, sebagai sesama perempuan, gue tahu lo masih sakit hati dan gue juga paham apa yang lo rasain sekarang, Da ... Tapi, setelah kita semua tahu kalo ini cuma salah paham, gimana kalo kalian berdua saling memaafkan satu sama lain dan perbaiki hubungan kalian, karena jujur gue gak bisa banget lihat kedua temen baik gue saling bermasalah begini."

"Ya, gue maafin, anggap aja sekarang gue sama Rangga nggak bermasalah lagi ... Tapi soal memperbaiki hubungan, jawabannya enggak, itu adalah pernyataan gue paling mutlak dan nggak bisa dibantah dengan alasan apapun."

Kaila terkejut mendengarnya, namun ia masih ingin meyakinkan Nahida bahwa memperbaiki hubungan mereka berdua adalah jalan yang terbaik.

"Ta ... Tapi, Da ... Lo yakin mau ngebiarin hubungan kalian ini berakhir gitu aja?" tanya Kaila.

"Lo masih punya telinga kan? Lo masih bisa denger kan tadi gue ngomong apa? Kalau lo lupa, lo bisa tanya cowok di sebelah lo itu ... Atau kalau dia gak denger, coba tanya Vivi atau Nayla."

"Ngomongnya biasa aja kali, Da."

"Lo kalo nggak ada urusan penting, mending lo pergi dari sini ... Karena sekarang gue gak butuh hubungan apa-apa lagi sama Rangga, dan jangan buat gue jadi gak suka sama lo juga."

Melihat situasi yang kini berubah menjadi sedikit tidak kondusif, Nayla dan Vivi buru-buru membawa pergi Nahida dengan mendorong kursi rodanya dengan paksa. Begitu pula dengan Rangga yang mengajak Kaila untuk kembali ke kelas, ia tak ingin keadaan ini menjadi tambah runyam, serta dirinya juga takut jika Nahida membongkar rahasianya secara tiba-tiba.

"Ah, elu Da, malah mau bikin masalah sama Kaila," ucap Nayla sedikit kesal.

"Gue cuma ngebayangin gimana reaksi dia waktu kebohongan Rangga akhirnya kebuka, setelah dia marah sama gue."

"Nggak perlu banget anjir bawa-bawa Kaila di masalah ini," sahut Vivi.

"Ya maaf, abis ngeselin sih, orang lagi makan malah diganggu."

Nahida tersenyum tiba-tiba, walaupun hanya sedikit ujung bibirnya saja yang naik ke atas.

"Tapi gue tahu kok, dia begitu karena itulah bentuk kepeduliannya sama gue ... Jadi agak seneng dikit gue, ya walaupun agak males harus ketemu Rangga sih."

"Pokoknya lo harus minta maaf loh sama Kaila," paksa Vivi

"Iya-iya, tahu kok ... Lagian gue sama dia juga temenan kan, lo juga tahu itu kan?".

Mereka bertiga pun kembali ke kelas, sementara itu Kaila dan Rangga juga demikian.

"Arggghh, ngeselin banget sih Nahida," ucap Kaila sembari menggebrak mejanya.

"Udah, udah, jangan emosi gitu ngapa sih?"

"Ya gue gak terima anjir, niat baik gue malah dibales jawaban nyolot kek gitu ... Padahal gue gak bermaksud nyuruh kalian pacaran lagi, gue cuma mau lo sama dia bisa saling berteman kaya dulu lagi walaupun sekarang udah putus."

"Yang penting lo sekarang udah jelas kan, kalo gue udah putus sama dia, dan udah nggak mungkin hubungan gue sama dia balik seperti semula."

Kaila yang kesal dengan Nahida, terbesit pikiran buruk bahwa dia merasa harus membalas apa yang dilakukannya.

"Rangga, lo bisa bantu gue gak?"

"Kenapa?"

"Gue mau bikin Nahida jadi nggak suka sama gue, sama seperti apa yang dia omongin tadi."

"Lo mau gue bantuin apa?"

Setelah membahas apa yang akan mereka lakukan itu, waktu pun berlalu begitu cepat hingga tak terasa bel pulang sekolah pun berbunyi.

Nahida dan seluruh temannya keluar dari kelas secara serentak, tentu saja, dia didorong oleh Vivi sahabatnya.

"Vi, sorry ngrepotin."

"Enggak, santai aja kali, kaya sama siapa ... Kalo misal lo gak dijembut mbak Anissa aja, gue anter lo sampe rumah."

Sesampainya di pintu gerbang, kakaknya sudah berada di sana, menunggu Nahida sejak satu jam yang lalu. Dengan sedikit perjuangan, akhirnya dia sudah masuk mobil dan saat itu juga ia melihat hal yang sedikit tidak mengenakkan hatinya. Nahida melihat Rangga dan Kaila berboncengan motor sembari bercanda dan tertawa.

"Kenapa?" tanya Anissa.

"Enggak, nggak ada apa-apa."

Sesampainya di rumah, Nahida keluar dari mobilnya dengan sedikit kesusahan, sama seperti tadi saat di depan gerbang sekolah.

"Da, gue ke jogja dulu ya buat jemput Lily dari rumah neneknya, soalnya dari kemarin anak gue rewel minta ketemu, kan lo tahu sendiri kalo gue udah 4 hari nggak pulang ... Nanti gue balik ke sini lagi, paling jam 9 nyampe"

"Okeyy, paling juga bentar lagi mamah pulang."

Anissa pun pergi, dan Nahida masuk ke dalam rumahnya. Setelah membuka pintu, ia disambut dengan sepeda motornya yang rusak dan belum sempat ia bawa ke bengkel. Dek motor yang penuh dengan bekas goresan aspal, kaca lampu yang bolong, serta stang motornya yang sedikit berubah posisi. Ia terus memandanginya, namun seketika ia teringat apa yang dilihatnya tadi, teringat dengan sosok Rangga yang mengendarai motornya yang terlihat bersih dan mulus.

Nahida pun buru-buru masuk ke kamarnya, karena ia tak ingin memikirkan tentang Rangga lagi. Namun sayangnya, saat di kamar pun sama seperti tadi. Ia disambut dengan cermin yang memantulkan sosoknya yang sedang duduk di kursi roda, lengkap dengan perban dan plester yang menempel di dagunya. Seketika membuatnya teringat sosok Rangga yang sehat-sehat saja dan masih bisa tertawa bersama Kaila.

"Kenapa jadi kaya gini?" ucap Nahida di dalam hati.

Dia memegang bekas luka yang ada di pipinya.

"Emangnya siapa yang salah di sini?"

Nahida memandangi kakinya yang dibalut dengan gips.

"Kenapa Rangga masih bisa ketawa, sementara gue harus kaya gini?"

Ia mencengkram pegangan tangan yang ada di kursi rodanya, seketika, air mata mengalir dan isak tangisnya pun tidak bisa ditahan lagi. Di depan cermin yang ada di kamarnya, ia menyaksikan betapa menyedihkan dirinya saat ini. Apa yang dia alami sekarang tidak pernah terbayangkan olehnya, serta ini benar-benar berbanding terbalik dengan hasil dari rencana balas dendamnya. Dan kali ini, pikiran Nahida benar-benar berantakan, jauh lebih kacau daripada yang pernah dia rasakan sepanjang hidupnya.

Tak lama setelah itu, Ibu Nahida pulang, dan dia dikejutkan dengan perkataan anaknya.

"Mamah, aku pengen pindah sekolah."

Nahida, Kucing, Dan Negeri Sakura (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang